Feel Free For a Donation

Buku Grunge Indonesia




GRUNGE INDONESIA STILL ALIVE; Catatan Seorang Pecundang




Words : YY (Klepto Opera/Ballerina’s Killer)
Cover : Stolen from gig “D.I.Y. Grunge Still Alive”‘s Pamflet

KATA PENGANTAR
GRUNGE, KESEDERHANAAN SEBAGAI SIKAP PERLAWANAN
Oleh : Jc (Potpuri – Bandung)
“with rebellion, awareness is born” —(Albert Camus)
Mengawali sebuah tulisan adalah ternyata lebih sulit dibandingkan dengan mengakhirinya. Mungkin karena budaya menulis bagi masyarakat kita yang (tetap) belum populer. Masyarakat yang begitu terlena dengan berbagai kemudahan akses informasi dan teknologi yang begitu deras atau malah ternyata karena masyarakat kita yang terlalu capek menderita,too depressed, apatis, sehingga ia sepertinya terlalu capek atau dengan eufimisme yang lebih stylish—terlalu sibuk—untuk hanya mengeluarkan pendapat, ide, gagasan, dan pengalaman melalui bentuk tulisan. Menyebarkan propaganda dan agitasinya untuk memberitakan dan menyebar kalimat pemberontakan atau perlawanan (saya lebih suka menyebut perlawanan saja) atas kesewenangan sementara perlawanan secara fisik tak bisa dilakukan, tak mampu, atau takut,maka cara paling ideal, paling aman (setidaknya sampai hari ini), paling ekonomis adalah salah satunya melalui tulisan,apakah itu sebuah puisi, artikel, cerpen, essay, atau pun hanya melalui sebuah tulisan lirik sederhana di sebuah musik sederhana dari musisi yang sederhana.
Ya, grunge adalah salah satu dari sekian banyak penanda revolusi musik dunia yang massively spread by media in 90’s era. Dari berbagai literatur disebutkan bahwa grunge lahir dari suatu komunitas yang sudah jenuh dengan konsep musik industri (mainstream) yang ada saat itu, ditambah dengan kondisi represifnya politik dan ekonomi global masa tersebut menandai eksistensi grunge tidak hanya sebagai produk kebudayaan modern tapi “sumber kekuatan” baru bagi kaum muda dunia (awalnya hanya di scene underground Seattle).
Grunge, saya katakan, grunge bukanlah pionir, bukan perintis, bukan pelopor yang pertama kali membaca mantra besar dan mengagumkan bernama: Perlawanan. Mengapa perlawanan saya sebut sebagai mantra, karena kata mantra adalah sakral, suci, bahkan tabu, dan perlawanan hanya terjadi ketika barrier berupa norma yang membatasi mampu kita coba terobos dan kita pertanyakan atau pun kita dekonstruksi apakah untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik maupun ternyata lebih buruk. Tapi sebagai suatu daur kehidupan sejatinya pattern tersebut akan selalu bergulir. Dan mengapa saya sebut Perlawanan sebagai mengagumkan karena hakikatnya perlawanan adalah kondisi yang tak pernah puas untuk mencapai suatu kondisi stabil atau mapan,adalah bagaimana selalu mengkondisikan kegelisahan dan kecemasan mencapai pertanyaannya tentang hidup dan kehidupan, di mana tak selalu mendapatkan jawaban. Kadang dengan hanya bertanya kita sudah cukup mendapatkan jawaban dan itu buat saya sudah mengagumkan.
Perlawanan melalui musik bukan barang baru, bahkan definisi seni (art) sendiri adalah tak lepas dari upaya untuk memberontak atau melawan dari tatanan statis yang menjenuhkan sebagaimana Albert Camus (filsuf absurditas-eksistensialis Prancis) sampaikan sebelum ia mampus. Tapi sebagai salah satu cabang dari seni, musik adalah media paling efektif dan to-the-point dalam menyampaikan suatu “pesan” tertentu itu. Musik tidak dibatasi dimensi geometris. Musik sanggup “menyerang” langsung pendengarnya, menyusuri ruang-ruang, ”mencuci” pendapat, dan pemikiran. Oleh karenanya musik dijadikan media ekspresi yang sebenarnya paling lengkap. Sebagaimana blues menjadi medium ekspresi sosial kaum kulit hitam Amerika, sebagaimana punk menjadi ekspresi seni yang menakutkan bagi monarki Inggris, musik adalah karya seni terbesar manusia di dunia.
Grunge memberikan tawaran yang fresh ketika era rock, pop 80’s, metal, rap, bahkan punk mulai memberikan harapan yang kosong untuk menjadi penanda revolusi budaya dan sosial..lucunya grunge hadir ketika jaman-jamannya glam-appearance is everything…glamrock looks… Vanilla Ice looks… Debbie Gibson.. Axl Rose…etc.. tapi saat itu grunge malah hadir dengan kesederhanaannya.. grunge menawarkan semangat perlawanan dari kesederhanaan. Sebagaimana revolusi musik yang lain, (pada awalnya) grunge yang masih punya kekerabatan dengan punk ternyata memberi influence juga tentang fashion..tapi dalam tulisan ini saya tidak membahas tentang trend tersebut. Bahasan tentang sejarah “lahirnya” dan “matinya” grunge (if you called so) pun tidak saya bahas disini, karena yang saya bahas secara sederhana dan pendek disini adalah grunge sebagai produk budaya yang memberikan ruang perlawanan dengan caranya sendiri.. cara grunge.. simple.. efective.
Saya sendiri mengenal grunge adalah ketika televisi adalah satu-satunya “Nirvana” yang menyajikan Nirvana dengan hit globalnya “Smells Like Teen Spirit” dari album Nevermind. Televisi seakan satu-satunya jendela yang “membuka” corak-warna dunia saat itu..melalui televisi pada era 90an itu kita (kaum muda Indonesia) sebelumnya hanya disuguhi keseragaman dalam hal apapun (hampir semuanya) berbeda dengan saat ini pasca reformasi 1998 yang lebih banyak memberikan pilihan (walaupun saya merasa kebanyakan pilihan sekarang menjadi sampah !). Adalah televisi swasta yang akhirnya membuka keran masuknya kultur grunge saat itu ke Indonesia..walaupun saya yakin saat itu pun masih sedikit orang yang mampu langsung mengapresiasi dan menikmati musik yang diberikan Nirvana, Pearl Jam, ataupun Soundgarden di saat New Kids On The Block, Take That, Tommy Page, Metallica, Megadeth, Run DMC, bahkan Tommy J Pisa (haha) masih merajai kuping-kuping pendengar Indonesia. Perlu diketahui pada saat itu untuk memperoleh record album (kaset) ben luar negeri yang masih jarang didengar umum adalah sesuatu yang sangat keren atau hebat karena butuh perjuangan dan uang yang banyak untuk bisa memperolehnya atau membelinya di luar negeri/import.
Saya pikir Nirvana datang saat itu dengan musik yang sederhana, videoklip yang sederhana, kemasan kover kaset yang sederhana..tapi entah kenapa ada semacam energi yang terpompa dari uraian kesederhanaan itu..Nirvana memberi ambience yang berbeda soal ekspresi musik..energi liar..dan ia meresonansi dan mentranformasi emosi menjadi kesadaran bahwa memang revolusi musik waktu itu sedang terjadi ! dan euforia itu pun berlangsung.. Grunge menjadi fenomenal dan keniscayaan untuk kaum muda saat itu..Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lain memiliki scene grunge-nya masing-masing.
Jika Nirvana menyuguhkan kesederhanaan dan heavy distorted sounds sebagai elemen terkuat dalam ekspresivitas, adalah Pearl Jam yang kemudian memberi saya pilihan baru lain tentang kesederhanaan, sikap hidup, pandangan politik, aktifitas sosial dan konsistensi di luar batas musikalitas yang mereka berikan. Pearl Jam menjadi sebuah penanda grunge dunia yang mungkin agak sedikit berbeda dengan awal kehadiran Nirvana bagi diri saya pada awalnya. Tapi kedua-duanya telah memberi saya awal pencerahan baru untuk proses apresiasi diri dan hidup melalui media musik.
“let the song protest” (insignificance – Pearl Jam)— Benang merah uraian saya di atas adalah kembali bahwa musik adalah sebagai effort perlawanan dan ketika perlawanan itu tidak berhasil menjangkau tujuannya..bukan berarti gagal total..tapi setidaknya menjadi bukti bahwa kesadaran untuk “melawan” itu masih ada dan terjaga..itu adalah selemah-lemahnya iman. Sebagaimana ditunjukkan oleh Eddie Vedder pada lagu “Insignificance” tersebut menjadi sebuah ajakan mulia bahwa musik secara umum adalah menjadi media penyadaran dan koridor tepat untuk mengemukakan pendapat atau pun bentuk protes sosial dan politik kepada bentuk apapun yang menjadi tirani dan kesewenangan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Rage Against The Machine, sebagaimana Yusuf Islam, sebagaimana Iwan Fals, sebagaimana Slank, sebagaimana Jeruji, sebagaimana musisi kritis lainnya imani yaitu bahwa musik sebagai perlawanan adalah menjadi sesuatu yang pasti, saat sudah muak dengan kondisi pengabaian, keterasingan, kezaliman, kebohongan, atau disfungsi kondisi yang tidak bisa memberi keadilan..dalam sosial, politik atau aspek lainnya.
Menurut pendapat saya ada sesuatu yang sedikit berbeda dengan “perlawanan” yang diberikan oleh grunge.. kata kuncinya sebenarnya terletak di “kesederhanaan” grunge itself.. as it mentioned grunge muncul dengan corak musik yang jauh lebih sederhana (like punk but not aggresive), tapi dengan sound yang lebih unik, lebih melodius, sound gitar lebih cenderung menjangkau distorsi dan feedback.. grunge muncul dengan style musisi grunge dan komunitasnya yang berpakaian “nyeleneh”, “beda dengan yang lain” atau malah terlihat “keras” dan maskulin (kemeja flanel, sepatu boots, celana PDL) tapi tidak mau tampak seperti dandan atau dibuat-buat..sehingga dari tampilannya pun komunitas grunge adalah komunitas yang sederhana.. berbeda dengan scene atau komunitas musik lain yang “sepertinya” tampak akan lebih berupaya menunjukkan eksistensinya melalui atribut-atribut yang terkesan malah seperti “dibuat-buat”. Ah..tapi intinya adalah perlawanan melalui grunge adalah bagaimana transformasi pemikiran perlawanan itu mewujud yaitu salah satunya melalui kekuatan lirik yang kritis..lirik yang kritis adalah lirik yang bisa cukup sederhana dan mudah dimengerti tapi kandungannya adalah semacam peluru yang siap menyayat-nyayat kesadaran.. sedikitnya untuk band lokal grunge yang pernah saya dengar dan masih menunjukkan kesadaran ini adalah Navicula (Bali) dan DuaSisi (Jakarta).
Kini mungkin sangat jarang ada band lokal dengan genre musik grunge yang masih memegang teguh bahwa pada dasarnya grunge dengan kesederhanaannya ternyata tidak melulu hanya berkutat di lirik tentang depresivitas dan keterkungkungan (semacam otokritik), tapi juga kritis mengenai penyelamatan lingkungan, politik, sosial, pendidikan, filsafat dan lain-lain..walaupun sebenarnya grunge sebagai sebuah trend, sebuah revolusi musik dunia adalah telah “berakhir” karena sepertinya ternyata “dibunuh” sendiri oleh industri yang juga telah “membesarkannya”. Grunge kini, bagi saya sebagai salah satu generasi 90an, ternyata berkembang tidak hanya untuk diapresiasi kandungan musiknya saja, tapi grunge sebagai sikap perlawanan juga telah menjadi pola idealisme yang mungkin sulit dijelaskan.. grunge telah menandai sikap hidup dan pola pikir yaitu untuk selalu “berbuat kreatif” dan memandang segala hal secara kritis dan selalu tetap sederhana.. grunge tetap mewujud dalam interaksi di kantor, di keluarga, masyarakat sekitar, di pongahnya atasan, di keserakahan pejabat, di setiap ketidakadilan yang kita saksikan atau kita alami, grunge tetap mewujud di lirik-lirik lagu tak terdokumentasikan, grunge akan tetap mewujud melalui kesadaran dan ia akan tetap melawan. Betul, grunge akan tetap melawan dalam kesederhanaannya. Selamanya. Seharusnya.
Bandung, bulan kelabu masih awal tahun
PERSEMBAHAN
Aku persembahkan buku ini, sebagai ungkapan rasa terima kasih dan cinta kepada kekasihku Eka Rina Wahyuni, SH aka Uq (Noise! & Ballerina’s Killer) yang tiada henti memberikan dukungan semangat dan kepercayaan penuh, bahwa suatu hari nanti aku pasti bisa menuliskan buku ini yang telah mengendap sangat lama dalam kedalaman lumpur ide-ide di kepalaku, motivasi tiada henti telah membantu mengeluarkan ide-ide itu dari kubangan hidup sehari-hari.
Juga buat Saint Dandelion, yang kurang mendapat perhatian selama aku meninggalkannya dalam ego besar menuliskan buku ini, maafkan.
PRAKATA
Don’t do this to be cool. Grunge is a way of life, not a way to seem cool and better than others.
(www.wikihow.com; grunge tips) [1]
Berbicara tentang grunge, selain mengingatkan sisi musikal, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa grunge adalah suatu komunitas besar dari generasi muda indonesia. Di mana sebagai bentuk ekspresinya, komunitas besar ini terus aktif bergerak demi eksistensinya. Acara-acara musikal dengan puluhan band-band grunge sebagai pengisi acara, terus digelar tiap minggu di berbagai kota di Indonesia.
Komunitas yang pada awalnya terbentuk dari ketertarikan yang sama akan musik asal Seattle, WA tersebut terus membesar sehingga pernah dijadikan suatu komoditi bisnis menguntungkan di berbagai sektor perekonomian. Seperti yang diungkapkan oleh Jimmy Mahardhika, gitaris band noise asal Jogja, Seek Six Sick, sebagai berikut:
“Menurut saya (grunge) lebih ke arah sosial dan komunitas.
Awalnya adalah ketertarikan akan sebuah bentuk musik, kemudian membangun sebuah komunitas atas ketertarikan yang sama.
Saya melihat sedikit sekali unsur kejiwaan/psikologi apalagi religius.
Layaknya sebuah komunitas penghobi musik aliran dari Seattle.Sama seperti musik-musik yang lain di Indonesia, punk, metal, hardcore, etc
Mungkin ada segelintir yang benar-benar fanatik, tapi sebagian besar hanya memandang sebuah komunitas, eksistensi diri berdasarkan kesamaan selera musik.
Komunitas-komunitas inilah yg digarap oleh pemodal hingga bisa menjadikan sebuah produk gaya hidup.
Dibesarkan oleh media untuk kepentingan bisnis…
Just business..”
Selain dari apa yang telah dipaparkan oleh Jimmy diatas, hal yang menarik untuk diketahui kemudian, bahwasanya komunitas grunge tidak hanya beranggotakan orang-orang yang mencintai musik dan band-band asal Seattle tersebut, tapi berisikan orang-orang yang sebagian besar terikat oleh benang merah yang tak nampak, mereka terhubung oleh keadaan terasingkan dari hubungan sosial, yang tersisihkan, berasal dari hubungan keluarga kurang harmonis, orang-orang kalah dan kurang mendapat pengakuan atas eksistensinya dalam pergaulan sebaya maupun lingkungan dewasa. Orang-orang dengan latar belakang lingkungan sosial dan psikologi seperti demikianlah, yang akhirnya berkumpul, bersatu, membentuk komunitas, dan menjalin hubungan erat antar komunitas yang tersebar di hampir seluruh kota di Indonesia.
Seorang kawan dalam komunitas grunge ‘Bobrock/Jakarta’ (RIP) yang akrab dipanggil sebagai Billy, menuturkan mengenai hal ini sebagai berikut:
“Sebuah evolusi ide, bila perkembangannya relatif baik maka ia menjadi sebuah budaya/kebudayaan, yang otomatis akan menciptakan ruang dalam sebuah lingkup sosial. ruang dalam lingkup sosial ini lazimnya kita kenal dengan sebutan komunitas.
Ide itu sendiri lahir dan berkembang, awalnya hanya pada segelintir individu. sebuah ide menjadi mudah berkembang dan diserap dalam lingkup sosial karena ide itu memberikan hal yang barangkali tidak ada atau lidak lazim dalam lingkup sosial yang ada atau bahkan mapan, tambah lagi keberadaan individu yang melahirkan ide adalah individu yang welcome pada lingkup sosial, dan yang tidak lazim ini sangat menarik, relatif tidak merugikan.
Opini gw, pada perkumpulan anak2 grunge, pemahaman tentang grunge “bergerak” ke semua aspek yang disebutkan. catatan, untuk aspek religius sangat-sangat minim karena ide awalnya grunge hanyalah sebuah bentuk ekspresi, tidak secara spesifik ada unsur spiritual di sana. tapi pada perkembangannya, pengaruh psikologi melahirkan “bentuk-bentuk kebebasan” yang poetic/puitis. gw yakin hampir semua anak grunge setuju bahwa hampir keseluruhan lirik musik grunge , terutama lagu2 NIRVANA sangatlah puitis, mindly sane, meski psychologically insane. yang melahirkan penggalian-penggalian secara kejiwaan, bukan sekedar lirik yang berrima dan deret kata yang tidak lazim. Pada masyarakat Indonesia yang relatif religius, nilai-nilai, pemahaman-pemahaman, pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan religi menjadi sangat menarik untuk “diobrak-abrik”. asyiknya, pengobrak-abrikan ini sama sekali tidak satanic-oriented, tapi lebih kepada human-disclosure, penelanjangan, baik secara individu maupun sosial, pernyataan untuk jujur sejujur-jujurnya sampai kepada bentuk yang paling telanjang, jauh lebih dari sekedar skin and bone, sampai kadang malah terlihat atau terdengar super konyol wal tolol. tapi itulah, manusia itu makhluk, jelas-jelas lemah, pecundang !! siapa yang mau ngaku kalo dirinya lemah, tolol kan? atau tololkah? (pengakuan yang aneh..)
pengobrak-abrikan ini lebih untuk pemahaman diri, bukan menjadikannya heretic dalam sebuah religi, karena sekali lagi tidak secara spesifik ada unsur spiritual pada musik grunge.“
Lebih lanjut, pria yang bernama asli Qodam Umm ini menggarisbawahi pernyataannya dengan menuturkan sebagai berikut:
“yang menonjol sudah jelas, grunge (pernah) menjadi sebuah ikon budaya, terutama musik, karena (pernah lagi) menjadi komunitas musik secara universal (baca: mainstream). Dan sebuah kebudayaan tidak pernah hilang! ia hanya berkembang menjadi budaya baru karena selalu ada generasi baru dengan ide yang berkembang”.
Adalah hal yang sangat menarik untuk digali lebih dalam berkaitan dengan eksistensi komunitas yang terus membesar ini, membentuk suatu sub budaya tersendiri yang meliputi cara berpakaian, ritual komunitas, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Sebagai “komunitas yg tersingkir dari komunitas”, mereka melibatkan diri dalam segala bentuk aktivitas yang diharapkan mampu mendongkrak eksistensi komunitas tersebut.
Pengakuan tentang hal ini diakui sendiri oleh Yayan, aktivis grunge komunitas Blok M Jakarta (pendiri records grunge Blackmouse records, sekaligus gitaris band Northside) dalam pertemuan dengan saya di Stasiun Gambir Bulan Januari 2009 kemarin. Dalam pengakuannya, pria yg bernama asli Yayan Hidayat Ini menyebutkan alasan berdirinya Blackmouse records adalah karena kurangnya apresiasi dari komunitas musisi lainnya terutama yang sudah mapan, maka komunitas tersebut membentuk sebuah production house sekaligus record independen untuk menampung ide-ide atau menyalurkan kreatifitas anggota komunitas. Tercatat, Blackmouse Records telah merilis beberapa kompilasi serta sukses menggelar acara-acara komunitas grunge.
Hal ini secara langsung mengingatkan saya pada sekitar tahun 1998an saat saya mendirikan Boneka Tanah Records/Productions. Di mana saat itu teramat sulit bagi sebuah band untuk bisa tampil dalam sebuah acara, terutama bagi band grunge yang dituding sebagai musik ber-skill minim dan tentu saja tak lepas dari rumor tentang perusakan alat-alat panitia. Berita maupun rumor itu tidak sepenuhnya benar, namun juga tidak sepenuhnya salah. Beberapa band menonton penampilan Nirvana, meniru Cobain yang merusak alat di atas panggung, kemudian sebagai oknum yang kurang wawasan, band-band yang pada selanjutnya sering disebut borok ini, ikut pula dalam euforia perusakan alat-alat panitia, tanpa mau bertanggung jawab. Band-band inilah yang menjadi cikal bakal grunge begitu dibenci pada waktu itu. Tetapi tidak sedikit pula band yang merusakkan alat bawaan sendiri kepunyaan mereka, band Napkin dalam salah satu pentas komunitas grunge pada tahun 2000an di Surabaya, menghancurkan gitar bassnya sebagai klimaks saat membawakan lagu Mudhoney “Suck You Dry”, tidak terhitung pula saya membanting gitar waktu di atas panggung, bersama band lama saya Klepto Opera, bahkan salah satu penampilan di komunitas Sidoarjo saya menghantamkan bass di kepala saat trance dan membuat saya pingsan sesaat (anda bisa menyaksikannya di VCD Klepto Opera live, rilis tahun 2000), namun meskipun perusakan alat itu menggunakan properti band-band sendiri, rumor itu terlanjur meluas. Hampir semua acara musik yang digelar menolak untuk menampilkan band-band grunge. Salah satu acara musik yang digelar teman-teman sekelas saya di kampus, bahkan ketika acara tersebut bertajuk “Street Fest”, menolak band saya dengan dalih “acara ini hanya untuk band berkelas”. Tidak sedikit studio musik waktu itu menulis pengumuman “no underground, no grunge”.
Namun segala penolakan itulah yang memacu semangat saya, dengan dibantu semangat muda yang masih menyala, dan belum terlalu dipusingkan oleh urusan duniawi, waktu itu visi saya sangat jelas.. menyatukan seluruh band nomer dua di Surabaya, band-band potensial namun terpinggirkan dalam satu wadah manajemen dan records/productions, untuk segala aliran musik.
Maka bersama-sama dengan beberapa teman yang bermental militan, terbentuklah wadah bernama Boneka Tanah Records/Productions, di mana selanjutnya tak kurang telah membuat puluhan gigs dan juga merekam beberapa band potensial namun terpinggirkan di Surabaya, berikut juga beberapa kompilasi. Namun berdirinya Boneka Tanah sendiri tak kurang menimbulkan polemik tersendiri, berbagai permasalahan mulai melanda, mulai dari mismanajemen, semrawutnya pembukuan distro yang berujung pada kebangkrutan, serta yang tak kalah, bencana tak terduga, Base camp Boneka Tanah ditutup paksa oleh warga dengan disertai ketua RT setempat, karena dianggap bahwa perkumpulan ini meresahkan warga dengan segala dandanan anehnya, meskipun tidak pernah ada bukti bahwa warga menderita kerugian dalam bentuk apapun semenjak kami mengkontrak salah satu rumah di wilayah tersebut untuk dijadikan base camp.
Berbagai penolakan dari berbagai kalangan sosial, baik dari masyarakat maupun dari komunitas musisi sendiri, membuat kami selaku aktifvis grunge makin terpojok ke pinggir jurang lapisan masyarakat, untuk selanjutnya kamipun kembali ke habitat semula, berkumpul di tepian-tepian jalan, hanya agar tetap bisa berkumpul, membahas segala berita-berita terbaru, sekedar bertegur sapa melewati malam, maupun ke tingkat yang agak sedikit serius, membahas langkah-langkah selanjutnya demi eksistensi komunitas.
Adapun hal ikhwalnya bagi saya, grunge telah menjadi semacam kanker ganas yang berpacu dalam hitungan detik secara masif menggerogoti hidup saya. Dan tanpa pernah saya sadari sebelumnya, kanker grunge mengambil alih seluruh tubuh, termasuk jiwa saya. Tubuh dan jiwa saya mati. Betapapun saya seringkali mengingkarinya, Grungelah kehidupan saya selanjutnya setelah kematian tersebut.
Perkenalan saya dengan musik grunge dimulai ketika saya kelas satu SMA, saat itu sekitar tahun 1992an, di mana untuk pertama kalinya saya melihat sebuah video band aneh. Saya sendiri sejak awal mendirikan band metal bersama teman-teman satu sekolah, mulai dari membawakan lagu-lagu Metallica, Helloween, ataupun kalau lagu Indonesia, band kami membawakan Power Metal. Dan semuanya berubah ketika saya menyaksikan band aneh tersebut, saya sama sekali tidak mengetahui musik apa saat itu, sebuah band yang membawakan lagu “Smells Like Teen Spirit”.
Band metal sekolahan itu serta merta saya bubarkan, oke lebih tepatnya saya dipecat. Karena terlalu ngotot ingin membawakan lagu-lagu Nirvana periode album Nevermind. Dan saya baru tahu jauh kemudian hari, bahwa secara psikologis, grunge memang “bermusuhan” dengan metal, karena grunge dianggap merampas dengan cepat segala kesuksesan musik maupun gaya glam metal dalam perebutan lahan pasar mainstream. Bahkan kemunculannya yang mudah tanpa didukung skill bermusik tinggi, juga konon menjadi salah satu faktor kecemburuan metal di kemudian hari.
Ohya, ibu saya sempat memberikan dua buah baju flannel, karena demam flannel saat itu. Hampir semua anak-anak remaja waktu itu memakai baju flannel, dan baju itu hanya tersimpan satu, yang satunya, sebagai tradisi grunge Indonesia yaitu, bertukar flannel, saya berikan kepada Arip Napkin ketika akan beranjak ke Jakarta awal 2001an, saya sampai sekarang masih menyimpan beberapa flannel, yang saya dapatkan dari teman-teman saya diantaranya, Benny Klepto Opera, anak-anak band Drop Out, dan dari U’un mantan drummer Ballerina’s Killer sekeluarnya dia dari penjara.
Meskipun mencintai lagu-lagu Nirvana, band saya tak pernah sekalipun membawakan lagu-lagu Nirvana dalam penampilan panggungnya. Salah satu kesempatan band kami membawakan lagu Nirvana adalah saat acara perpisahan kelas 3 SMA, namun kesempatan itu kami lewatkan begitu saja, karena kami bertiga terlalu mabuk untuk tampil, bahkan berdiri saja sudah tidak sanggup. Sesuatu yang menjadi salah kaprah dalam komunitas grunge, adalah menelan mentah-mentah, tradisi grunge yang salah satunya adalah minum sampai mabuk. Tanpa melihat bahwa akar dari semua itu, alasan musisi grunge tidak berhenti minum alkohol, adalah cuaca di Seattle yang memang dingin dan kurang bersahabat.
Selepas SMA saya berkuliah, dan kembali membuat band grunge di tahun 1996. Namun karena terlalu banyaknya band grunge yang membawakan lagu-lagu Nirvana, maka agar tidak terlalu monoton saya mencoba mencari alternatif lagu-lagu band grunge lainnya. Saat itu informasi media sangat minim, dan sangat susah untuk mencari referensi kaset-kaset grunge. Karena membaca Kurt Cobain mengidolakan Iggy Pop, maka sayapun berburu kaset Iggy Pop, menemukannya di Aquarius Surabaya, dan jatuh cinta pada pendengaran pertama. Maka terbentuklah band saya waktu itu dengan diberi nama “The Stujist”, suatu kata yang berbunyi sama dengan nama band Iggy Pop “The Stooges”. kami berlatih tiga kali seminggu di sebuah studio murahan dengan biaya Rp 4.000,- perjam, mencoba membawakan lagu-lagu sendiri. Sempat merekam demo rehearsal album berisi sebelas lagu dengan judul “Abnomalous Escape”. Yang kemudian tenggelam dalam ketidakpastian karena kebingungan langkah. Dan terhitung sejak didirikan, band ini hanya sekali tampil pada sebuah festival dengan membayar biaya pendaftaran Rp 25.000,-. Lagu-lagunyapun terkubur, kecuali lagu “Sweet Revenge” yang dibawakan ulang oleh Ballerina’s Killer untuk kompilasi “NEAR DEATH EXPERIENCE; A Tribute To Klepto Opera”, serta lagu “Love Is Shit!” yang ditampilkan oleh band grunge asal Magetan, Sane Fermentation.
Saya sendiri sebenarnya hampir sampai pada titik untuk melupakan band tersebut, namun ada kejadian “mengharukan” yang memaksa saya teringat kembali. Suatu ketika ada acara reuni kampus, sekitar 10 tahun kami tidak saling bertemu. Dan karena kesibukan pekerjaan di kota lain yang berjauhan jarak, terpaksa saya tidak bisa menghadiri acara reuni tersebut. Namun ketika hari reuni tersebut, saya sedang di kantor, dan ponsel saya berdering. Rupanya seorang teman menelepon, memasang loudspeaker, agar saya bisa berbincang dengan teman-teman yang sedang menggelar acara reuni di ujung sana. Teman-teman kampus terdengar suaranya berteriak-teriak, “hoy, Yoyon Stujist!”. Dalam hal ini mereka lebih mengenal dan mengingat band pertama saya, melebihi daya ingat saya terhadap band tersebut.
Segera setelah merekam demo rehearsal pertamanya, Stujist bubar karena vakum terlalu lama. Dan gairah saya terhadap grunge agak menurun, melihat potensi musik ini semakin tidak diterima. Namun sebuah band rupanya menaikkan kembali motivasi saya. Waktu itu ada acara unplugged di kampus, ada sebuah band yang membawakan lagu-lagu Pearl Jam dan Alice in Chains, band itu dipimpin seorang kharismatik yang waktu itu juga dikenal sebagai gitaris dari band indie “Karpet” yang videonya memenangkan penghargaan video terbaik pada tahun 1995an, band grunge yang kembali bisa menggugah semangat saya tersebut bernama “Konsleting Kabel”.
Tahun 1998 kembali saya membuat band, yang telah bertekad kuat untuk membuat lagu-lagu sendiri dan menampilkan sekuat tenaga di atas panggung meskipun tidak ada yang menerima, dan mencibir. Beberapa lagu yang sering kami tampilkan diatas panggung saat itu antara lain, “Grunge is Dead” dan “Kutembak Cobain”, yang kemudian pada tahun 1999 direkam dalam sebuah demo yang dirilis pada tahun 2000, berjudul “Doll’s Emotion”. Penampilan kami dan Album tersebut menuai banyak permusuhan dari kalangan komunitas grunge sendiri. Kami pernah diturunkan dari atas panggung, diajak berkelahi oleh seseorang dengan alasan bahwa Cobain adalah Tuhannya yang tidak boleh di singgung-singgung. Tetapi tekad kami tetap membulat, meskipun dua anggota band mundur karena tekanan intimidasi yang tiada berhenti. Kekontroversialan kami berlanjut ketika tahun 1999an kami membuat sebuah pembelajaran tentang grunge melalui newsletter fotocopyan swadaya, bernama “Bangku Taman”. meskipun newsletter tersebut hanya bertahan tiga edisi, “Bangku Taman” sampai saat ini masih menjadi acuan di banyak blog grunge tanah air meski tak ada satupun yang mencantumkan nama saya sebagai pembuat tulisan tersebut. Jargon-jargon serta propaganda dalam newsletter tersebut yang telah banyak dikenal antara lain “Grunge is Soul” dan “I Hate Grunge, But I’m Grunge” (seorang teman dari sebuah komunitas pernah salah mengutip bahwa kata-kata “I Hate Grunge, But I’m Grunge” tersebut diucapkan oleh Kurt Cobain, dan kemudian menerima ralat). Bahkan bagian dari salam newsletter tersebut “Hail Undergrunge!”. kata Undergrunge menjadi dikenal luas oleh berbagai komunitas dari seluruh tanah air.
Waktu itu grunge benar-benar dalam komunitas yang terpojokkan, seluruh scene underground di Surabaya berkumpul di Delta Plaza. Komunitas Hardcore, Punk, Metal, dan Ska. Tak satupun band grunge yang ikut berkumpul di situ. Mereka berkumpul disebuah warung kopi pinggir jalan di belakang cafe Dewata Surabaya, salah satu tempat yang menerima band-band grunge atas prakarsa salah satu pentolan band grunge yang dianggap senior, Yonas Planet. Dan atas “dosa” saya menolak Nirvanaisme, Klepto Opera menerima imbasnya. kami terpojokkan oleh komunitas yang terpinggirkan. Di mana saat itu kami benar-benar tersisih secara musikal di kalangan komunitas musisi bahkan di kalangan komunitas grunge sendiri. Kami menerima segala bentuk pemboikotan dan fitnah. Tapi sesuai kata pepatah lama, apapun yang tak membunuhmu akan membuatmu semakin kuat. Kami bersama band-band dari scene musik lain yang juga mengalami ketersisihan, menciptakan tempat berkumpul sendiri di pelataran bioskop Mitra21 Surabaya. Waktu itu hanya sekitar 5 sampai 10 band saja yang berkumpul, dan kami satu-satunya band yang berasal dari scene grunge meskipun perlahan-lahan komunitas grunge mulai banyak band-band grunge bergabung, dan the Mumet menjadi band pertama yang bergabung dalam komunitas Mitra21 tersebut, setelah kami. Pada tahun 2000an, komunitas kami yang sudah semakin membesar tersebut, sering mendapat kunjungan dari band-band grunge luar kota untuk sekedar sharing ataupun silaturahmi. Salah satu band yang tercatat pernah berkumpul bersama kami, diantaranya Bolong, band grunge asal Tangerang yang akan tampil di acara Surabaya Grunge Community. Kami tampil dalam satu panggung keesokan harinya.
Buku ini mencoba menuliskan kembali semua peristiwa tersebut, sebagai sebuah buku semi biography tentang masuknya grunge ke Indonesia, dan menjadi komunitas yang masih tetap bertahan sampai sekarang, ditulis dari kacamata dan sudut pandang serta pengalaman-pengalaman para aktifis-aktifis grunge tanah air yang terlibat aktif sebagai responden.
Penulisan buku ini, melibatkan tak kurang dari 200 orang reponden yang masih aktif maupun yang pernah aktif dalam perkembangan komunitas grunge tanah air. Baik melalui penyebaran angket melalui situs-situs musik, komunitas, maupun dengan melakukan wawancara langsung.
Dalam penulisan buku ini, penulis masih menempatkan diri sebagai orang awam di kalangan komunitas Grunge Indonesia, dan masih merasa bukan siapa-siapa maupun berusaha menjadi pihak yang paling kompeten untuk menulis tentang “sejarah” sebuah budaya yang pernah dan masih menjadi besar di Indonesia. Katakanlah, buku ini mencoba bercerita dilihat melalui mata saya sebagai seorang pecundang, baik pecundang dari dunia musik indonesia maupun dunia musik grunge pada khususnya. Tetapi kalau kita tidak mengawali dari semangat dan diri kita sendiri, pertanyaannya “siapa yang akan menulis tentang sebuah fenomena budaya ini?” untuk saat ini, grunge bagaikan sebuah mutiara yang terpendam dalam kubangan lumpur jaman dan beraneka ragam trend musik datang silih berganti, sehingga makin mengendapkannya sampai mencapai endapan yang paling dasar. Tak seorangpun yang akan pernah lagi bisa melihat mutiara tersebut. Tapi saya, juga anda semua yang pernah mengalami masa-masa itu, pernah melihat dan menggenggam kilauan mutiara tersebut. Tugas kita semua untuk mencarinya kembali, mengentaskannya, atau setidaknya, menceritakan kembali ke semua orang tentang betapa berkilaunya keunikan grunge.
Sehingga pada akhirnya, buku ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa tambahan pengetahuan tentang sebuah subkultur di Indonesia pada umumnya, serta pembelajaran atas berbagai informasi demi kemajuan bagi komunitas grunge Indonesia pada khususnya.
Salam Undergrunge!
YY
Cheap Editor (Editor Murahan)
GRUNGE
  • SEJARAH GRUNGE
Wikipedia, mempermudah grunge dengan membuat rumusnya sebagai berikut:
1. Gaya grunge asli, berakar dari:
- Rock Alternatif
- Hardcore Punk
- Heavy Metal
- Indie Rock
2. Budaya asli, berasal dari:
- Pertengahan tahun 1980an, di Washington
3. Tipikal instrumen musik:
- Gitar elektrik
- Gitar bass
- Drum
- Vokal
4. Popularitas mainstream:
- Popularitasnya tinggi selama awal hingga pertengahan 1990an; rendah, namun tetap eksis semenjak itu.
5. Turunan:
- Menjadi musik yang dikenal kemudian sebagai Post Grunge
6. Wilayah scene:
- Seattle[2]
Grunge (seringkali disebut juga Seattle Sounds) termasuk dalam subgenre rock altenative. Mulai dikenal sepanjang pertengahan 1980an di Washington, lebih tepatnya di Seattle. Di dalam Wikipedia (Grunge Music; Origin of the Term) ditulis, menurut kata asalnya, grunge berasal dari bentuk paling belakang kata slang grungy. Di mana, pada sekitar tahun 1965 bentuk asli dari kata slang tersebut dapat diartikan sebagai kata penyebut sesuatu yang “kotor” atau “jorok”.[3]
Adapun, dipercaya dari berbagai sumber bahwasanya Mark Arm, vocalis band Green River dan kemudian berganti menjadi Mudhoney, adalah orang yang pertama kali menggunakan kata grunge untuk menyebut jenis musik tertenrtu. Mark Arm pertama kali menggunakan kata tersebut sekitar tahun 1981. Ketika ia menulis surat dengan memakai nama Mark McLaughlin untuk sebuah majalah Seattle Desperate Times, mengkritik band Mr. Epp dan the Calculations sebagai “Pure grunge! Pure noise! Pure shit!”.
Kemudian, Clark Humphrey, editor majalah Desperate Times memakai istilah grunge tersebut untuk menyebut band-band dari Seattle. Dan ini berarti bahwa Bruce Pavitt dari Sub Pop telah mempopulerkan istilah tersebut sebagai sebuah label music pada tahun 1987-1988, dengan mengkaitkan langsung pada Green River.
Arm memakai istilah grunge untuk mendeskripsikan bukan hanya terbatas untuk jenis musik tertentu, melainkan lebih untuk mendeskripsikan suatu bentuk baru percampuran antara punk dengan metal di scene musik Seattle.
Beberapa individu, dianggap berperan serta langsung terhadap perkembangan grunge. Mereka diantaranya, termasuk Jack Endino produser Sub Pop, dan juga para personil the Melvins. Bahkan grup band seperti “Kiss” dianggap juga turut memprovokasi grunge secara musikal.
Pergerakan awal grunge disatukan oleh salah satu record label independen bernama Sub Pop pada akhir 1980an. Kemudian grunge menjadi sukses secara komersial pada paruh tengah 1990an, seiring dengan dirilisnya album Nirvana “Nevermind”, dan Pearl Jam “Ten”.
Kesuksesan band-band tadi meningkatkan kepopuleran rock alternative dan membuat grunge sangat populer di kalangan musik hard rock pada masa itu.
Grunge berkembang dari scene punk rock lokal dan diinspirasikan dari band-band seperti: The Fartz, The U-Men, 10 Minute Warning, dan The Fastbacks
Sebagai gantinya, musik yang lambat dan berat ala The Melvins merupakan pengaruh yang signifikan pada sound grunge. The Melvins memainkan bagian-bagian yang mengendap dalam hard rock, menjalani tour dengan teman mereka Kurt Cobain, bersama mereka diatas roda-roda bus tour, sebelum Kurt membentuk Nirvana.
Di luar area tersebut, sejumlah artis dan scene musik terpengaruh oleh grunge. Band-band rock alternatives dari berbagai negara bagian Amerika, termasuk: Sonic Youth, The Pixies, dan Dionosaur Jr. adalah sejumlah nama yang sangat penting dan berpengaruh bagi genre ini. Sonic Youth menjadi perhatian yang penting dalam scene grunge. Yang mencerminkan sikap tanpa kompromi dan independen dari para musisinya. Pengaruh The Pixies, ditulis oleh Kurt Cobain dalam salah satu wawancaranya dengan majalah Rolling Stone, bahwa dia, “terhubung dengan band tersebut sangat erat, bahwa saya seharusnya berada dalam band itu” Nirvana menggunakan “verse lembut, dan chorus yang keras” dari The Pixies, dan mempopulerkan gaya bermusik tersebut ke dalam grunge dan subgenre rock alternative lainnya.
Sebagai akar bagian dari genre punk dan rock alternative, banyak band grunge yang sangat terpengaruh oleh band-band heavy metal awal 1970an.
Clinton Heylin, penulis Babylon’s Burning: From Punk to Grunge menulis tentang Black Sabbath sebagai “mungkin adalah pengaruh paling besar pada pre-punk di scene Northwest”. Black Sabbath, tidak bisa dipungkiri telah memainkan peranan dalam membentuk sound grunge.
Pengaruh dari Led Zeppelin juga dominan, terutama pada band Soundgarden, dimana majalah Q menulis, “pada pencerahan musik rock 70an,tetapi tidak menerima adanya sexism dan machism”.
Rekaman band hardcore punk asal Los Angeles, Black Flag pada 1984, “My War”, di mana band tersebut menggabungkan heavy metal dengan sound tradisional mereka, membuat pengaruh yang sangat kuat di Seattle.
Steve Turner dari Mudhoney berkomentar, “banyak orang di seluruh negeri ini membenci kenyataan bahwa Black Flag berubah menjadi pelan.. tetapi di sini itu sangat menakjubkan.. kami sangat menyukai ‘Yai!’ mereka sangat aneh dan mempunyai sound yang luar biasa”. Lebih lanjut Turner menjelaskan tentang integrasi grunge dari pengaruh metal, tidak lain, “Hard Rock dan metal tak pernah sebesar ini menjadi musuh punk, seperti halnya scene lain. Di sini, seperti inilah yang terjadi ‘hanya terdapat dua puluh orang di sini, kamu tidak dapat benar-benar menemukan grup yang saling membenci’”.
Kemudian, band-band mulai mencampur metal dan punk di scene musik Seattle sepanjang 1984, dengan perhatian yang besar terhadap fusi ini kepada band seperti: The U-Men.
Kementahan, distorsi, dan sound feedback intensif dari beberapa band noise rock mendapat pengaruhnya dari grunge. Di antara mereka adalah Killdozer dari Wisconsin dan yang paling mendapat perhatian, Flipper dari San Fransisco, band-band tersebut terkenal karena “noise punk” yang berubah-pelan dan menjadi gelap.
The Butthole Surfers yang mencampur punk, heavy metal dan noise rock menjadi pengaruh terbesar, terlebih pada karya-karya awal Soundgarden dan band-band grunge awal lainnya yang terpengaruh oleh British Post-Punk seperti Gang of Four dan Bauhaus, yang mana sangat terkenal pada awal 1980an di scene Seattle.
Setelah Neil young bermain di beberapa konser bersama Pearl Jam dan merekam album Mirror Ball bersama mereka, beberapa media memberi Young julukan “Godfather of Grunge”. Hal ini mendasari karya-karyanya bersama bandnya Crazy Horse dan penggunaan distorsi gitarnya secara reguler, perhatikanlah pada album “Rust Never Sleeps”. Pengaruh yang sama, yang belum banyak dilihat adalah pada album “Neurotika” oleh Redd Kross, dimana co-founder Sub Pop berkata, “Neurotika adalah pengubah hidupku dan untuk banyak orang di komunitas musik Seattle”.
  • PERKEMBANGAN GRUNGE
Mark Arm termasuk diantara beberapa musisi di Green River yang bergabung dengan band lain setelah grupnya bubar. Band Arm selanjutnya, Mudhoney, berfungsi sebagai band kapal pemimpin bagi record label asal Seattle, Sub Pop, di akhir tahun 1980an.
Rilisan yang meningkatkan perkembangan grunge adalah kompilasi di tahun 1986, Deep Six, dirilis oleh C/Z Records (kemudian dirilis ulang di A&M). Rekaman ini menampilkan multiple tracks dari enam band: Green River, Soundgarden, The Melvins, Malfunkshun, Skin Yard, dan The U-Men; bagi sebagian besar mereka merupakan penampilan pertama mereka dalam sebuah rekaman. Para artis memiliki “sound yang sangat berat, agresif, yang dilarutkan ke dalam tempo yang lebih pelan dari Heavy Metal dengan hardcore yang intensif” seperti yang dikatakan Jack Endino, “Orang-orang berkata, ‘well, musik seperti apa ini? ini bukan metal, bukan pula punk, apa ini?’ lalu orang-orang mengatakan ‘Eureka! band-band ini memiliki semua itu’”
Kemudian di tahun itu, Bruce Pavitt merilis kompilasi “Sub Pop 100″ dan EP Green River “Dry As a Bone” yang menjadi bagian dari label barunya, Sub Pop.
Katalog awal Sub Pop mendeskripsikan EP Green River sebagai “Grunge sangat-pecundang yang menghancurkan moral dan sebuah generasi”.Bruce Pavitt dari Sub Pop dan Jonathan Poneman, mendapat inspirasinya dari scene musik wilayah lain dalam sejarah musik, bekerja untuk meyakinkan bahwa label mereka mempunyai proyek sebuah “Seattle Sound”. Diperkuat oleh gaya yang hampir sama pada produksi dan packaging album.
Saat itu, penulis musik Michael Azerrad mengakui bahwa band-band grunge pertama seperti Mudhoney, Soundgarden, dan Tad, memiliki sound yang berbeda, ia mengingatkan, “sebagai peneliti yang obyektif, di sana ada persamaan yang jelas terlihat”.
Mudhoney, yang mana dibentuk oleh para pendiri Green River, berfungsi sebagai band pembawa bendera Sub Pop selama waktu mereka bergabung dengan label dan menyiarkan gerakan grunge Seattle. Sedangkan pecahan Green River lainnya membentuk Mother Love Bone, yang dipimpin oleh seorang vokalis utama flamboyan Andrew Wood, musik Mother Love Bone secara jelas mengindikasikan ambisi komersial band tersebut, dan setelah segenggam penuh pertunjukan, mereka mendapatkan kontrak dari PolyGram Records. Hal yang hampir mustahil untuk scene independen musik.
Setelah kematian Wood di tahun 1991 karena hal yang berkaitan dengan obat-obatan, anggota band yang lain menemukan bakat dari penyanyi asal San Diego, Eddie Vedder, dan membentuk Pearl Jam.
Sebagai kebalikan dari Mother Love Bone, Mudhoney membukanya dengan sindiran terhadap seluruh kerajaan bintang rock. Sound mereka dengan sangat kasar, bersama vokal sang pemimpin Mark Arm lebih mendekati berteriak-teriak sampai parau daripada bernyanyi.
Mengambil nama mereka dari judul sebuah film soft-core yang disutradarai oleh Russ Meyer, mereka memeluk pelanggaran-sexisme yang secara simultan merupakan lelucon dan merayakan betapa berlebihannya nama-nama besar band-band rock.
Soundgarden memenuhi suat tempat diantara keributan komersial Pearl Jam dan sound garage yang belum terpoles dari Mudhoney. Penyanyi utama Chris Cornell memiliki suara falsetto yang sangat kuat, mengalahkan Ozzy Osbourne dari Black Sabbath, pengaruh utamanya. Soundgarden membangun reputasinya sebagai band independen. Album grup ini di tahun 1989 “Louder Than Love”, dinominasikan mendapat Grammy, dan “Superunknown” dirilis pada 1994, memulai debutnya menjadi nomor satu di charts Billboard. Pada waktu itu, sound band tersebut mendekati Metallica atau Guns ‘N Roses (di mana mereka pernah sekali tour bersama) daripada Mudhoney atau Nirvana. Soundgarden bubar di tahun 1997.
Hal ini seperti bahwa band-band tersebut lenyap dengan cepat, atau mungkin bahkan tidak dibentuk sama sekali, jika bukan untuk Sub Pop Records.
Para pendirinya, Bruce Pavitt dan Jonathan Poneman mengenalkan kekuatan scene musik Seattle dan, seperti halnya BerryGordon, yang mana label Motown telah mempopulerkan pop dan rhytm-and-blues di Detroit pada 1960an, mereka merancang untuk mempromosikan band-band kota mereka. Sebagai awal langkah, mereka menunjukkan sebuah ambisi yang sebelumnya tak pernah absen dari label-label independen.
Rilisan pertama Sub Pop. sebuah kompilasi band-band yang sebagian besar, bahkan tidak berasal dari Seattle sama sekali. Mendeskripsikan labelnya sebagai “Hal yang baru, hal yang besar, ciptaan Tuhan: sebuah kumpulan multi-nasional yang berasal dari Pacific Northwest”. Hampir semua orang menganggap itu sebagai candaan, tetapi Pavitt dan Poneman tidak sedang bercanda.
Banyak label rekaman independen di Amerika telah merilis musik unggulan yang tidak pernah mencapai derajat kesuksesan komersial, tetapi Pavitt dan Poneman merupakan penjual cerdas dengan berkah tidak ada saingan bagi sebuah publisitas generasi. Mereka menyewa sebuah agen pers Inggris untuk mempromosikan band-bandnya, dan membayar jurnalis Everett True dari koran musik inggris Melody Maker untuk datang ke Seattle. Mereka percaya-dengan benar-bahwa cara terbaik untuk mempromosikan band-band mereka di Amerika adalah melalui reputasi yang dibangun di luar negeri. Segera setelah itu, kota tersebut terkenal sebagai salah satu pusat terkemuka dari musik independen dunia. Daya tarik grunge bagi media adalah bahwa itu, “menjanjikan kembalinya pendapat tentang sebuah wilayah, penulisan pandangan terhadap rock Amerika”.
Popularitas grunge di scene musik underground diawali ketika band-band mulai pindah ke Seattle dan mendekati penampilan dan sound dari band-band grunge asli.
Steve Turner dari Mudhoney mengatakan, “Hal ini sangat buruk. Band-band yang bertahan meledak disini, sesuatu tidak lagi berasal dari sesuatu di mana kami semua berasal”.
Sebagai reaksinya, banyak band grunge menganekaragamkan sound mereka, bersama Nirvana dan Tad dalam hal tertentu menciptakan lagu-lagu yang lebih melodik.
Heather Dawn dari fanzine Seattle Backlash mengatakan hal itu bahwa pada 1990an banyak band lokal lelah dengan publisitas yang mengelilingi scene Seattle dan sebagai awalnya berharap media-media itu segera terusir.
Namun demikian, pada awal 1991, Sub Pop mendekati kebangkrutan. Keselamatannya datang dari keseluruhan kesuksesan tak terduga album full-length pertama Nirvana, “Nevermind”. Ketika David Geffen dari label DGC mengkontrak Nirvana, dalam kontrak ditetapkan bahwa Sub Pop nantinya akan menerima royalti sebesar dua persen jika albumnya terjual lebih dari 200.000 copy. Kebanyakan peneliti menduga album ini akan terjual pecahan dari angka tersebut. Bagaimanapun, “Smells Like Teen Spirit”, single pertama album itu, menjadi anthem sepanjang malam. Menggabungkan riff yang menular dengan sound gitar yang berat dan lirik-lirik yang mengekspresikan tentang kemuakan akan keletihan dunia. Beberapa bulan sebelumnya, Nirvana hanya dikenal dalam lingkungan kecil musik independen; sekarang lagu mereka mengudara pada stasiun-stasiun radio top40 rock dan alternatif di seluruh dunia. Dalam satu tahun, “Nevermind” telah menjual empat juta album. Pearl Jam “Ten” dirilis pada bulan yang sama dengan album Nirvana, dan meskipun penjualan terlihat lambat, album tersebut menjual dengan nilai angka yang sama, selama satu tahun pertama.
Record label lain di Pacific Northwest yang membantu mempromosikan band diantaranya adalah: C/Z Records, Estrus Records, EMpty Records, dan PopLlama Records.
  • KHARAKTER MUSIKAL GRUNGE
Dalam situs Grunge 101 History, “dipermudah” untuk menjelaskan bagaimana musik grunge, situs tersebut menjelaskan, bahwa musik grunge adalah bentuk unggul persilangan antara progressif rock dicampur rock klasik, ditambah musik psikedelik, digabung dengan musik rakyat dari selatan, terakhir dikawinkan dengan musik hard rock.[4]
Situs tersebut juga mengakui bahwa band grunge generasi pertama yang dianggap telah menorehkan cetak biru terhadap musik grunge antara lain adalah; Green River, Mudhoney, dan yang menurut mereka terbaik, the Melvins.
- Gitar
Untuk lebih jelasnya, sebagai bahan perbandingan, anda bisa mendengarkan single dari Mudhoney yang berjudul “Touch Me I’m Sick”. Dalam lagu ini digambarkan bahwa musik grunge sebagai: tempo yang tingggi, riff pada gitar utama, penggunaan distorsi yang berat, dan drum yang dipukul gila-gilaan. juga penggunaan lirik yang menggambarkan perasaan tertekan ditulis dalam kata-kata sarkastik atau penuh kekerasan.
Grunge secara umum digambarkan sebagai permainan gitar yang kasar, kacau, menghantam, menggunakan distorsi pada level tinggi, efek gitar fuzz dan feedback.
Grunge menggabungkan unsur-unsur yang terdapat dalam hardcore punk dan heavy metal. Bahkan meskipun, bila beberapa band hanya menampilkan dengan lebih menekankan salah satu unsur tersebut atau unsur yang lainnya.
Musik grunge sendiri, hampir bisa disamakan dengan sound mentah yang biasa terdapat pada sound punk dan juga lirik-lirik yang menekankan pada hal-hal yang hampir sama. Akan tetapi, terkadang juga menggunakan tempo yang lebih lambat, harmonisasi yang tidak lazim, dan penggunaan instrumen-instrumen yang lebih kompleks lainnya, yang secara signifikan masih berkaitan dengan heavy metal. Musik grunge pada umumnya berkarakter gitar elektrik menggunakan efek berdistorsi berat, dinamisasi lagu yang sangat kontras dengan lagu pada umumnya, dan lirik yang berbeda ataupun penuh kemarahan. Yzii Otto Sebastian Arthur OzoR@ (gitaris Smoke n’ Coffe Club/Sn’CC) menuliskan hal menarik mengenai kharakter musik khususnya gitar yang dimainkan oleh gitaris=gitaris band grunge, dalam tulisannya “Artikel Grunge” sebagai berikut:
Bukan hal yang mudah menempatkan sebuah band dalam jenis musik grunge, karena setiap kali kita mendengar musik dari sebuah band yang dikategorikan sebagai grunge, maka akan SANGAT berbeda saat kita mendengar musik dari band lainnya yang juga dikategorikan sebagai grunge, dan ketika kita menempatkan sebuah band dalam aliran grunge, maka semakin sering pula kita menemukan perbedaannya dengan band grunge lainnya. Bingung akan penuturan gue? Gampangnya gini, dunia grunge mempunyai 4 tokoh legendaris yang kerap disebut sebagai Big Four of Grunge yaitu : Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden dan Alice In Chains (AIC). Jika berturut-turut kita mendengarkan musik dari 4 band tersebut, maka tidak sulit untuk mengatakan : mereka sama sekali berbeda!
Saat kita mendengar Nirvana (sebagai wakil grunge yang paling populer), kita akan mengatakan ‘grunge itu adalah berteriak sekeras-kerasnya tanpa peduli terhadap sound maupun skill musisinya, serta ancur-ancuran’ tapi pendapat itu dibantah oleh Soundgarden dan AIC. Chris Cornell dan Layne Staley tidak pernah berteriak sekeras-kerasnya, dan Kim Thayil maupun Jerry Canntrell tidak pernah sembarang memainkan gitarnya.
Permainan kedua gitaris itu cenderung eksplosif bahkan berskill tinggi. Lalu bagaimana dengan Pearl Jam? Eddie Vedder muda memang berteriak keras, namun Mike McReady dkk di bagian logistik (peralatan) tetap bermain konstan, tempo middle, dan tidak peduli terhadap ‘kegilaan’ Eddie Vedder. Selain Eddie, personel Pearl Jam lainnya nampak sopan dan terkesan kalem.
Lalu dimana ancur-ancurannya? Kalau sudah ga kompak begini, dimana benang merah yang menyatukan mereka sebagai grunge? Apakah jawabannya adalah Seattle, dimana keempatnya dilahirkan dari kota yang sama? Jika jawabannya adalah Seattle, akan lebih tepat jika kita mengkategorikan musik mereka sebagai Seattle Sound. Tetapi akan sangat blangsak jika kita mengkategorikan sebuah aliran dengan syarat band tersebut berasal dari kota yang sama. Bagaimana jika ada band lain yang memiliki warna musik yang sama dengan Soundgarden, namun band tersebut bukan berasal dari Seattle? Kasihan bukan? Kejanggalan lain adalah, ada banyak band yang berasal dari New York atau Iowa, tapi kenapa mereka tidak disebut New York Sound? Atau Iowa Sound?
Dengan demikian, gue adalah termasuk orang yang skeptis terhadap Seattle Sound. Tapi gue menghormati orang lain yang percaya adanya aliran Seattle Sound. Proses pencarian belum berakhir. Sama seperti orang yang mencari bukti keberadaan UFO, orang-orang seperti kita pun masih mencari bukti keberadaan benang merah (red hat) grunge.. where is the reds? Red Devils kah?
- Tema Lirik
Secara garis besar penulisan lirik grunge biasanya penuh dengan ungkapan akan permasalahan, kesengsaraan, kecemasan, ketakutan, dan hal-hal tentang absurditas kejiwaan. Meskipun seringkali juga bertemakan tentang keterasingan dalam sosial, apathy, keterkungkungan, hasrat untuk bebas merdeka bahkan juga tentang perasaan tidak nyaman akan diskriminasi dalam sosial. Untuk hal-hal seperti itu, erat kaitannya dengan tema-tema yang ditulis oleh para musisi punk. Tentang perasaan cemas dan sikap apatis terhadap masa depan ini dijelaskan oleh kritikus musik Simon Reynolds (1992) sebagai berikut: “Disana ada perasaan membara dalam sebuah budaya yang besar. Anak-anak muda tertekan dengan masa depannya”.[5]
Tetapi tidak semua lagu-lagu grunge mengangkat issue yang sama seperti itu. sebagai contoh, sebuah lagu satire dari Nirvana “In Bloom”, adalah salah satu contoh dari lagu yang ditulis dengan nada sindiran, humor satire. Beberapa lagu grunge dipenuhi dengan penulisan bergaya humor riang namun tetap bernuansa gelap. lagu dari Mudhoney “Touch Me I’m Sick” atau lagu Tad “Stumblin Man”. Meskipun lagu-lagu tersebut kurang mendapat perhatian masyarakat pada waktu itu. Humor pada grunge seringkali menyindir secara sinis glam metal dan juga musik rock populer sepanjang 1980an. Sebagai contoh, lagu Soundgarden “Big Dumb Sex”. Tetapi banyak pendengar yang kelihatannya melewatkan humor tersebut.
- Vokal
Pandoe dari band Smoke n’ Coffe Club, menuliskan hal-hal menarik dalam blognya tentang kharakter vokalis-vokalis band grunge sebagai berikut:
vokalis grunge pada umumnya:
1.Nyanyi apa adanya, ga terlalu mempedulikan skill apalagi keindahan & estetika vokal yang formal dan sebagainya.
2.Banyak yang jago menggunakan nada rendah
3.Sangat berkharakter
4.Hampir ga pernah ngerawat pita suaranya gw bingung mengkategorikan jenis vokal grunge, karena sangat beraneka. jadi di bahas per band aja yang agak-agak sejenis:
  • Chris Cornell, Blind Melon, dan sebagainya
1.Masih banyak terpengaruh sama gaya vokal rock yang populer sebelum grunge muncul. terutama Blind Melon (tipe suara melengking).
2.Chris Cornell muda (tahun 90-an) menguasai tipe suara melengking & halus.
3.Chris Cornell usia pertengahan (tahun 95-an) menguasai ketiga tipe vokal rock yang udah gw jelasin sebelumnya
4.Chris Cornell tua (tahun 2000-an) kehilangan 90% suara melengkingnya, tapi suara serak/kasarnya meningkat tajam, plus kemampuan tambahan, suara gahar!
5.Kalo dibilang mirip, mungkin Chris Cornell bisa dibilang tekniknya mirip sama vokalis Van Halen (ni vokalis jago juga neh), atau vokalis Extreme (tapi Cornell pake power lebih kuat)
6.Blind Melon mungkin jago banget di suara melengking, tapi Chris Cornell yang paling jago di tipe vokal rock ini (dia menguasai ketiga tipe vokal sekaligus!). lagipula power yang dipake sama Cornell lebih gede dibanding Blind Melon, kedengeran dari volume vokalnya yang tetap terdengar tebal & bulet meskipun nyanyi di nada tinggi.
  • Mudhoney, Nirvana, Foo Fighters, Silverchair, dan sebagainya
1.Banyak terpengaruh sama vokal punk, kesan “memberontak”-nya kuat. cuma kalo di grunge “memberontak”-nya punya arti yang beda sama punk, dan lebih berteriak dibanding punk. terus terpengaruh juga sama vokal rock ‘n roll.
2.Mudhoney, hampir di semua lagunya vokalisnya berteriak apa adanya bahkan tergolong ga jelas.
3.Kurt muda suaranya udah cukup serak tapi ga berat.
4.Kurt usia pertengahan s/d tewas, suara khasnya makin matang. dengerin aja Unplugged-nya atau lagu terakhir “You Know You’re Right”. suaranya susah banget diikutin sama tipe vokal melengking atau vokal halus. Dan kalo udah bisa ngikutin vokalnya Kurt, bakalan susah buat balik lagi ke vocal melengking atau halus.
5.Tipe vokal serak di grunge beda sama vokal serak di rock. di rock lebih ke memanfaatkan suara serak dengan penggunaan power yang hati-hati, hasilnya? serak tapi ga kasar. di grunge lebih ke penggunaan power buat menekan suara supaya bisa terdengar kasar di suatu nada atau bahkan di setiap nada, kecuali nada rendah (kalo kasar di nada rendah itu mah hardcore/grindcore).
6.Dave Grohl muda vokal-nya masih terdengar biasa-biasa aja.
7.Dave Grohl usia pertengahan s/d sekarang, vokalnya menonjol banget, terutama di teriakannya.
8.Dave Grohl pernah ngebawain “Stairway to Heaven”-nya Led Zeppelin di akustik-in, dia bisa nyanyi di bagian nada tingginya dengan menggunakan teriakan kasar ala grunge!
9.Daniel Johns suara aslinya sebenernya halus, tapi dia bisa “berpura-pura” bersuara kasar dengan baik dan kembali ke suara aslinya yang halus (ini hal yang sulit untuk dilakukan!)
10.Chris Cornell juga bisa berteriak dengan suara kasar di usia pertengahannya s/d sekarang, bahkan bisa dibikin gahar, dan cuma dia vokalis yang punya suara gahar macem itu (coba dengerin dia teriak “Shadow on the Sun…!” di akhir lagu Shadow on the Sun-nya Audiolsave)
11.Eddie Vedder juga bisa berteriak dengan suara kasar. tapi bedanya Vedder lebih banyak menggeram dibanding berteriak kaya Kurt. dengerin aja lagu “Lukin”, teriakannya selintas terdengar kaya Kurt, tapi sebenernya menggeram.
12.Scott Weiland di Velvet Revolver udah mulai jago melakukan teriakan kasar kaya di lagu “Illegal I Song” (tapi dia kan sering pake banyak efek, jadi mungkin aja itu ga asli)
13.Di tipe jenis suara kasar ini, Dave Grohl (usia pertengahan s/d sekarang) adalah yang paling jago (coba aja denger versi live akustik-nya). Dia jago banget kalo urusan berteriak!!
  • Pearl Jam, Bush, dan sebagainya.
1.Suara aslinya emang berat, terutama Vedder
2.Banyak kepengaruh sama the Doors & U2, bahkan Elvis Presley 3.Vedder tua jago banget nyanyi di suara rendah dengan karakter vokal berat (vokal beratnya bakalan susah banget ditiru sama vokalis-vokalis rock 80-an)
4.Vedder muda lebih jago di vokal-vokal yang menggeram kaya di kebanyakan lagu-lagu pearl jam, trus jago juga berteriak kaya kurt dengan cara menekan vokalnya (ini teknik yang susah ditemukan, tapi bisa gampang kalo udah ketemu caranya, kalo tenggorokan udah mencapai titik serak yang cocok)
5.Vedder juga cukup jago pake suara-suara palsu (agak-agak mirip suara falsetto tapi bukan, contohnya di lagu Jeremy bagian-bagian akhir atau Last Kiss bagian sebelum akhir)
6.Gavin Rossdale vokalnya lumayan berat tapi serak. sayang dia kurang melakukan penjelajahan nada. jadi terkesan biasa-biasa aja.
7.Scott Weiland, Layne Staley, Cornell juga sering pake nada rendah, tapi masih kalah berat vokalnya sama Vedder
8.Vedder jelas nomer satu di jenis vokal berat & rendah. meskipun vokalis-vokalis sekarang banyak yang suaranya berat juga macem Creed, Godsmack, Nickelback, Seether, tetep aja Vedder yang mempelopori. Diantara vokalis-vokalis grunge laen, beliau lah yang paling banyak ngasih influence ke vokalis-vokalis jaman setelah grunge..
  • Alice in Chains, Stone Temple Pilot, Smashing Pumpkins, dan sebagainya.
1.Vokalis-vokalis band ini bisa dikategorikan sebagai pemilik vokal bertipe aneh, unik, dan ga biasa
2.Staley punya keunikan dalam menggunakan vokal serak-serak sengau, dan yang paling penting adalah dia punya Jerry Cantrell sebagai duetnya dia. perpaduan mereka unik banget!
3.Weiland punya keunikan di penggunaan suara-suara palsu, vokal-vokal dengan nada aneh, & penggunaan efek-efek vokal yg ga terlalu nyata. dia juga sering melapis vokal di lagu-lagunya bisa 2 sampe 4 kali take vocal cuma buat di satu lagu doank! nih orang kreatif banget!
4.Billy Corgan sebenernya ga terlalu punya teknik yang berarti. tapi cara dia nyanyi bener-bener beda sama vokalis-vokalis pada umumnya. kalo gw pribadi sih ga suka & ga benci sama vokalnya, tapi penggemar vokalnya Billy Corgan ini banyak banget loh!
KONSER MUSIK DAN BUDAYA BERPAKAIAN GRUNGE
  • KONSER MUSIK
It would be awesome if you joined a band, and you will still rock if you only play local gigs. (www.wikihow; grunge tips)
Konser-konser grunge pada awalnya sangat jarang ditonton (kebanyakan hanya segelintir daripada selusin orang yang mau hadir) tetapi gambar-gambar dari photographer Charles Peterson membantu menciptakan impresi selayaknya event-event besar.
Namun, grunge mulai mendapatkan perhatian media di Inggris setelah Pavitt dan Poneman meminta jurnalis Everett True dari koran musik Inggris Melody Maker untuk menulis artikel tentang scene musik lokal. Langkah pembuka ini, membantu membuat grunge lebih dikenal di luar area lokal selama akhir 1980an dan menarik lebih banyak orang untuk datang ke show.
Konser-konser musik grunge dikenal sebagai pertunjukan musik yang menampilkan energi tinggi. Band grunge dengan tegas menolak kerumitan dan pertunjukan berbiaya besar yang biasanya ditampilkan oleh jenis musik lain, termasuk di dalamnya tata cahaya panggung yang rumit, efek-efek visual yang tidak berkaitan dengan permainan musik itu sendiri. Mereka sangat menjaga penampilan panggung band itu sendiri tanpa harus direpotkan hal-hal bersifat teknis diluar penampilan mereka.
Jack Endino berkata (Hype!;1996) bahwa band-band Seattle sangat konsisten dalam menjaga penampilan panggungnya, semenjak tujuan utama mereka tidak lagi menjadi penghibur, tetapi lebih sederhana lagi, untuk “nge-rock habis!”.[6]
Lebih lanjut, konser band grunge melibatkan interaksi langsung antara fans dan musisi, mereka berpartisipasi dalam stage diving, crowd surfing, headbanging, pogoing, dan moshing.
  • BUDAYA BERPAKAIAN GRUNGE
Grunge did not care what they wore. They wore whatever. They would get out of bed and wear whatever they were wearing. (www.wikihow; grunge style)
Bill Freind menulis dalam “St. James Encyclopedia of Pop Culture” sebagai berikut:
“Ketika istilah itu (grunge) menyediakan deskripsi bagaikan selimut yang tepat, hal ini juga menyembunyikan secara wajar substansi berkaitan dengan gaya yang berbeda diantara band-bandnya. Sedikit, kalaupun ada, grup-grup itu pernah mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai “grunge”. Dan stereotype grunge yang kurang rasa humor dan dikuasai kemarahan adalah distorsi yang serius. Tak satupun, media yang sama melakukan penelitian yang tepat dalam mengembangbiakkan penjelasan yang salah kaprah mengenai grunge yang berubah menjadi penomena bagi segala penjuru dunia, yang tidak hanya membentuk musik, tetapi juga aspek lain dari budaya populer seperti halnya cara berpakaian”.[7]
Kalimat dalam huruf cetak tebal diatas, menegaskan bahwasanya, bahkan di tempat asalnya sekalipun, jarang band-band tersebut yang mengklaim bahwa mereka adalah grunge. Seperti sebuah perkataan yang dikutip dari wikihow/ how to play grunge guitar sebagai berikut: “kamu tidak perlu kemana-mana mengaku sebagai grunge. Tetapi apabila suatu saat ada yang menyebutmu grunge, maka kamu memang pantas mendapatkannya”.
Menjadi bagian dari komunitas grunge tidak lantas harus mengatakan pada khalayak, “gue anak grunge!”. Biarkan mereka tahu dengan sendirinya, dan menghormatimu atas apa yang telah kamu perjuangkan, dengan sendirinya.
Lalu apa yang bisa dijadikan tolok ukur pembeda antara grunge dengan komunitas musik dari genre lain? salah satunya adalah dalam hal berpakaian, meskipun hal yang utama dalam grunge adalah: berpakaianlah apapun yang bisa membuat dirimu nyaman.
Mode ataupun cara berpakaian musisi grunge pada umumnya dibeli dari toko-toko yang menjual item pakaian-pakaian murahan, dan juga pakaian untuk pergi ke luar rumah (biasanya memakai pakaian flannel). Gaya berpakaian seperti itu, berkaitan langsung dengan iklim dan keadaan kota Seattle itu sendiri.
Penampilan mereka bersifat apa adanya, bukan atas kehendak atau permintaan trend pasar. dan bukan karena keinginan agar bisa terlihat keren atau enak untuk dilihat. Jurnalis Musik Charles R. Cross berkata, “sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Kurt Cobain hanya karena dia malas bersamphoo”.[8] dan Jonathan Poneman dari Sub Pop berkata, “Pakaian yang mereka gunakan ini sangat murah,suatu pakaian yang sangat mereka sukai, tidak peduli meskipun sudah usang, dan juga sama sekali tidak memperdulikan estetika yang ada semenjak tahun 80an”.[9]
Secara umum tata cara berpakaian komunitas grunge di Seattle, seperti yang tertulis di situs www.wikihow.com adalah sebagaimana berikut ini:
Jangan pedulikan langkah-langkah berikut. Kenakanlah apa yang kamu inginkan, yakinlah bahwa apabila sesuatu belum dicuci, tidak berarti itu kotor. Kamu dapat mengenakan apa yang kamu inginkan, grunge berasal dari gejolak hati.
Untuk pria:
  • Membeli pakaian di toko-toko pakaian murahan seperti Value Village dan Good Will, adalah langkah yang bagus daripada membeli pakaian mahal, baju-baju bermerk. Jika kamu membeli jeans yang telah sobek-sobek dari toko seharga 70 dollars dan menyebut dirimu grunge, maka kamu adalah seorang poser (ikut-ikutan).
  • Belilah t-shirth grunge dengan gambar atau tulisan band-band semacam Soundgarden dan Mudhoney.
  • Jika ingin mewarnai rambut, warnailah dengan Kool-Aid.
  • Kemeja Flannel sangat diterima, terlebih apabila lengan bajumu sobek sebagian tetapi tidak semuanya.
  • Kacamata besar seperti yang dikenakan oleh Kurt (Jackie O) sangat keren, atau yang berwarna hitam yang dikenakan oleh Layne Staley (Ray-Ban Predator 2) pada video “Would?”
  • Menggambar sendiri pada t-shirt putih, adalah grunge.
  • Musim panas bisa jadi udara sangat panas. jadi kenakanlah jeans tiga perempat, tetapi jangan yang baggy, dan sobeklah bagian pada lipatannya, gunakan benda yang tajam, bisa juga dengan membakarnya. Kaos kaki panjang berwarna putih yang kotor dan sepatu chucks yang sobek, akan menjadi pasangan yang baik.
  • Celana pendek Khaki atau celana pendek kargo, dipopulerkan oleh Eddie Vedder dan Pearl Jam.
  • Corduroy adalah pakaian lain yang dikenakan oleh Eddie Vedder dan Kurt Cobain. Jas Corduroy, adalah grunge.
  • Grunge tidak pernah memperdulikan apa yang mereka kenakan. Mereka bebas mengenakan apa saja terserah. Mereka bangun dari tempat tidur dan menggunakan apapun pakaian yang telah mereka kenakan
  • Jika memungkinkan, tumbuhkan jenggot mirip seperti yang dipunyai Layne Staley.
  • Pria-pria grunge untuk diperhatikan penampilannya: Layne Staley, Mark Lanegan, Mark Arm, Chris Cornell, Eddie Vedder, Kurt Cobain, Tad, Scott Weiland.
Untuk wanita:
  • Berpakaian dengan jenis kinderwhore (celana ketat, gaun babydoll, boot atau sepatu grungy hak tinggi, make up tebal) untuk cewek grunge yang ingin meniru Hole atau Babes In Toyland.
  • Jika kamu ingin lebih berpenampilan grungy, jangan banyak menggunakan make up. ini berarti hanya memakai pemulas bibir dan sedikit tambahan tertentu. Tidak yang lain.
  • One Star Converse sedikit lebih terlihat grunge, dan ini tidak membuatmu seperti seorang gadis yang putus asa agar terlihat seperti grunge.
  • Seperti lelaki, celana jeans gelap yang sobek, dan mungkin berasal dari toko-toko murahan, sangat bagus. Memotong pendek celana pendek adalah grunge.
  • T-shirts band dengan gambar band riot grrl seperti hole, L7, dan Bikini Kill sangat bagus. Tanktops yang menggoda (seperti baju dalam) bila dikenakan dengan benar adalah grunge.
  • Flannel sangat bagus.
  • Menggunakan celana lelaki diijinkan, tetapi berhati-hatilah.
  • JANGAN BERBELANJA DI ABERCROMBIE (&Fitch). Ini bahkan tidak mendekati grunge.
  • Panjangkan rambut jika kamu inginkan, atau potong pendek. Sesuai keinginan
  • Wanita-wanita grunge untuk diperhatikan penampilannya: Courtney Love, Kat Bjelland, Kathleen Hanna, Donita Sparks, Mia Zapata & banyak lagi.
Diantara keduanya:
  • Kamu dapat mendengarkan musik grunge lelaki, tetapi band grunge feminin adalah L7, Bikini Kill, Hole, Babes In Toyland, dan lain-lain. Dapat berada diantara keduanya.
  • Berbelanjalah di toko-toko murahan dan pasar loak. Jangan beli barang yang mahal karena, sekali lagi, jika kamu membeli jeans yang telah sobek seharga tujuh puluh dollars dan menyebut dirimu grunge, kamu adalah poser.
  • Mempunyai t-shirts band grunge berpasangan, seperti Screaming Trees dan Hole. Juga, temukan band-band lama, dan pastikan kamu mengenal band tersebut karena kamu tidak ingin terdengar seperti poser ketika orang-orang menanyakanmu mengenai band tersebut.
  • Kamu dapat menjadi bagian dari pergerakan punk/grunge riot grrrl. Lihatlah pandangan mereka dan hormatilah.
  • Jika kamu ingin mengecat rambut, catlah dengan Kool-Aid. Juga banyak pengikut grunge yang mempirangkan rambutnya seperti Mark Arm, Ron Nine, Andy Wood, Courtney Love, dan Kat Bjelland.
  • Ini adalah pilihanmu, tentu saja, tetapi banyak seniman-seniman grunge memanjangkan rambutnya.
  • Menggambari t-shirt putih dengan spidol hitam permanen.
  • Flannel menjadi penting karena gigs seringkali diadakan saat suhu dingin di Seattle, dan itu karena flannel dapat tahan lama dan juga murah. Ini adalah pilihan yang bagus, tapi tidak penting.
  • Kenakan Converse All-Star. Jangan menggantinya meskipun menjadi kotor dan sobek. Dr. Martens juga disebut sebagai sepatu grunge. Atau sederhananya, pakai saja sepatu murahan dari toko-toko lokal seperti Sam’s Club.
  • Kenakan kacamata hitam. Jangan kacamata olahraga. Gaya Blues Brothers akan sangat hebat.
  • Untuk cuaca dingin, kenakan jeans panjang lurus, kancingkan jika masih terlalu panjang. Sobek-sobek akan menjadikannya bagus. Kamu juga dapat menggambarinya. Lakukan semuanya sendiri.
  • Untuk cuaca hangat, kenakan celana pendek murahan. Atau potonglah celana jeans.
  • GRUNGE SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA MASSA ANAK MUDA INDONESIA
Secara umum pengertian kebudayaan adalah merupakan jalan atau arah di dalam bertindak dan berfikir untuk memenuhi kebutuhan hidup baik jasmani maupun rohani. (ilmu-budaya-dasar.html;2007).[10]
Dalam Keywords, Raymond Williams (1976; 76-82) menunjuk kata “budaya” (culture) sebagai salah satu kata yang paling rumit dalam khazanah bahasa Inggris, terutama karena saat ia dipakai untuk beberapa konsep penting pada beberapa disiplin intelektual dan sistem pemikiran yang berbeda. Ia sendiri menyarankan tiga batasan luas tentang budaya.[11]
Pertama, budaya bisa dipakai untuk menunjuk pada satu proses umum pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika sebuah masyarakat.
Kedua, budaya sebagai suatu jalan hidup spesifik yang dianut baik oleh orang, periode, maupun oleh sebuah kelompok tertentu dalam masyarakat. Dalam konteks ini, budaya tidak lain adalah, untuk memakai bahasa strukturalisme, pelbagai praktek penandaan.
Ketiga, definisi sosial tentang kebudayaan, yang melihat budaya sebagai sebuah deskripsi dari sebuah jalan hidup partikular, yang mengekspresikan makna-makna dan nilai-nilai tertentu bukan hanya dalam seni dan proses belajar, melainkan juga pada institusi-institusi dan perilaku sehari-hari.
Dengan mengacu pada tiga batasan luas tentang budaya, yang diutarakan oleh Raymond Williams tersebut diatas, cukup untuk memasukkan grunge sebagai sebuah bagian dari budaya, namun untuk secara lebih spesifik meneruskan langkah, memasukkannya ke dalam sebuah sub budaya yang bernama budaya massa, ternyata menemui banyak langkah sulit. Karena meskipun grunge cukup memenuhi persyaratan untuk dimasukkan kedalam bagian budaya massa, akan tetapi definisi konkret dari budaya massa itu sendiri masih menemui kebuntuan.
Sementara itu pembicaraan tentang budaya massa, seperti halnya diskusi tentang kebudayaan pada umumnya, akan menemukan beberapa kesulitan yang tidak mudah dihindari. Pertama, sebagai sebuah konsep ia bukan sesuatu yang statis dari waktu ke waktu melainkan terus menerus mengalami pergeseran. Ia bukan sebuah konsep yang melayang ke dalam ruang hampa melainkan terlibat dalam beberapa proses historis yang unik. Kedua, karena ia adalah sebuah konsep tentang kebudayaan, pembahasan tentangnya tentu akan meliputi sebuah wilayah yang mungkin terlalu luas. Uraian pada bagian-bagian lain pada buku ini akan membantu menjelaskan, bahwa kebudayaan mutlak tidak bisa hanya dibatasi sebagai aktivitas-aktivitas simbolik seperti kesenian, karena ia juga mencakup aktivitas manusia di bidang lainnya.
Di lain pihak, kalau kita sepakat bahwa pada dasarnya setiap budaya niscaya memiliki massanya sendiri, maka budaya massa menjadi persoalan yang menarik perhatian, baik bagi para pelakunya maupun para kritikus, boleh jadi karena beberapa hal berikut: pertama, ia memiliki karakteristik sosial yang khas, yang membedakannya dari fenomena budaya lain yang dikenal sebelumnya. Ini akan membawa kita pada upaya untuk melacak jejak historis dan sosiologis budaya massa dalam kaitannya dengan konsep tentang dan kharakteristik bentuk-bentuk kebudayaan secara umum yang telah lebih dahulu mapan. Kedua, ia memiliki jangkauan ruang yang jauh melebihi massa yang mendukung atau menghidupkan aktivitas simbolik lainnya: budaya massa adalah budaya yang sangat populer di kalangan banyak masyarakat di dunia. Antara lain karena itu, realitas yang diacu oleh term “budaya massa” juga sering kali disebut sebagai “budaya populer”.
Hal-hal tersebut cukup untuk di jadikan sebuah kesimpulan bahwasanya grunge juga merupakan sebuah budaya massa atau juga budaya populer, yang merambah ke seluruh dunia dan akhirnya muncul dan berkembang di Indonesia mulai dari awal tahun 1990an hingga sekarang. Namun untuk mendefinisikan lebih lanjut tentang “budaya massa” ternyata ada kerumitan tersendiri.
Dalam perbincangan sehari-hari saat ini, apa yang dirujuk oleh term “kebudayaan” dan/atau “budaya” biasanya dihadapi sebagai kawasan pembicaraan yang serba cair. Ia kerap diartikan sebagai sebuah term yang sangat khusus yang, misalnya, hanya bersangkut paut dengan persoalan kesenian. Akan tetapi, ia juga sering dipahami sebagai sebuah term yang begitu luas cakupannya, demikian luasnya sehingga ia tidak lagi cukup jelas sebagai sebuah bahan kajian.
Franz Magnis-Suseno (1991) bahkan menyatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh hamparan alam semesta sejauh telah ditandai oleh eksistensi manusia. Kedua bentuk pemahaman ini pada dasarnya merefleksikan satu hal yang sama: kebudayaan adalah sebuah konsep yang sangat abstrak tapi sekaligus juga familiar. Ia sangat sering diucapkan tapi tidak terdapat bukti signifikan bahwa karena itu ia juga sudah sangat dipahami oleh si pengucapnya sendiri.
Di lain pihak, juga tidak mudah untuk menetapkan batasan term budaya massa atau budaya populer secara definitif. Mukerji dan Schudson (1991:3) misalnya, sampai pada konklusi bahwa dalam satu periode ketika segala hal diperiksa ulang atau diragukan, budaya popouler merupakan terma yang benar-benar sulit di definisikan. Dalam prakteknya, baik konsepsi tentang maupun pemahaman orang atas budaya massa terbukti sangat responsif terhadap perkembangan sejarah. Para penganut pendekatan Gramscian bahkan melihat budaya populer sebagai gelanggang tarik-tolak antara kelompok subordinan dan kelompok dominan masyarakat dalam proses-proses historis. Dengan demikian, berkeras memampatkannya menjadi definisi baku akan menemui dua kesulitan sekaligus. Kesulitan pertama, tindakan semacam itu bisa menyesatkan karena kecenderungannya yang ahistoris. Kesulitan kedua, pembakuan tersebut juga akan terjebak ke dalam satu pengertian yang baik secara ideologis maupun politis sebenarnya tidaklah netral (Bennet, 1986)
Dalam Literature, Popular Culture, and Society (1986), Leo Lowenthal telah memberikan informasi cukup mendalam tentang perkembangan konsep budaya massa ini. Menurutnya, sejak awal (abad XVI-XVII) hingga abad XX, tedapat sikap yang mendua terhadap persoalan seni dan budaya massa. Akan tetapi, dalam kemenduaan tersebut, Lowenthal melihat adanya perkembangan dan perubahan pada aspek-aspek yang menjadi perhatian atau persoalan utamanya. Pada abad XVI-XVII, seperti yang diwakili oleh Pascal dan Montaigne, penerimaan dan penolakan terhadap persoalan itu didasarkan pada masalah pertumbuhan sikap dan kapasitas mental/spiritual yang bersifat religius. Sementara itu pada abad XIX, seperti yang tercermin dalam pemikiran Goethe dan Schiller, sikap tersebut sudah menyangkut masalah-masalah manipulasi dan eksploitasi ekonomi dalam hubungannya dengan “misi seniman” sebagai kekuatan pembebasan.
Seperti akan tampak dalam uraian lebih lanjut, di lapangan ilmu sosial hal itu antara lain bisa dilihat dari bervariasinya penamaan orang terhadap apa yang secara umum biasanya diterima sebagai budaya massa. Baik Lowenthal (1984), Bennett (1986), maupun Gans (1974), misalnya, ketiganya berargumen bahwa budaya massa lebih tepat kalau disebut budaya populer, sedangkan Dwight Mac Donald berkeras bahwa budaya massa tidak bisa disebut budaya populer sebab dalam beberapa hal budaya tinggipun banyak yang populer. Istilah budaya massa menurut Rossenberg (1975) timbul karena istilah tersebut umumnya dipahami sebagai bentuk-bentuk aktivitas atau ekspresi simbolik yang sifatnya manipulatif terhadap konsumennya. Bahwa budaya massa hanya menempatkan masyarakatnya semata sebagai obyek yang pasif tanpa kedaulatan.
Konsep tentang massa, Dwight MacDonald melihat massa tidak semata sebagai satuan jumlah melainkan juga dalam kategori kualitas sosial. Massa dalam pandangannya adalah kumpulan besar orang yang telah kehilangan identitas kemanusiannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa mengekspresikan dirinya sendiri sebagai manusia, karena pada dasarnya hubungan diantara mereka tidak pertama-tama sebagai hubungan antar individu atau sebagai anggota suatu komunitas, melainkan dihubungkan oleh sesuatu yang jauh, abstrak, dan non-human sifatnya. Manusia massa bagi MacDonald adalah manusia atom yang terkucil, bergabung dengan, tetapi tidak terbedakan dari ribuan bahkan jutaan atom-atom lainnya yang bergerak membentuk apa yang oleh David Riesman disebut “the Lonely Crowd”, atau gerombolan yang kesepian.
Sedangkan dalam The End of Ideology, Daniel Bell mencoba menjelaskan massa sebagai, audiens yang sangat beragam, heterogen, dan anonim sifatnya. Dengan menambahkan ciri-ciri massa sebagai berikut: sekumpulan besar orang-orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, ritus, struktur peran dan status. Bell juga melihat massa sebagai gerombolan orang yang pada dasarnya inferior berhadapan dengan masyarakat (ideal).
Dalam batasan tentang massa oleh MacDonald maupun Bell diatas, diperoleh kesimpulan, bahwa grunge merupakan salah satu produk budaya massa yang berisikan teks-teks atau praktek-praktek kultural penuh tanda-tanda simbolik yang dihasilkan, dihidupkan dan didukung oleh gerombolan yang terasing (the lonely crowd) dan pada dasarnya inferior berhadapan dengan idealisme tentang masyarakat.
Dalam angket responden William J. Samosir menceritakan tentang dirinya:
…gua sosiopath, jadi memang ga banyak deket sama orang lain.. …grunge sangat berarti bwt gua, bukan sebagai wujud pemberontakan, tapi semata-mata untuk mengkomunikasikan yang ngga bisa dikomunikasikan dengan cara konvensional..
Peniruan Budaya/Imitasi
Sebagai sebuah budaya yang bukan merupakan budaya asli Indonesia, maka grunge dikategorikan sebagai peniruan budaya atau pengadaptasian budaya yang berasal dari Seattle, Washington.
Budaya grunge ini secara massif dibawa oleh Nirvana, pada era pertama kali munculnya single “Smells Like Teen Spirit”. Melalui acara-acara musikal di televisi era tahun 1992an, secara serempak, kemudian anak muda mulai berambut gondrong kusut, berbaju flannel, bersepatu Converse, serta bermain musik asal-asalan, meniru suara Kurt Cobain, dan yang patut disayangkan, beberapa band akhirnya ikut pula tergoda untuk merusak alat-alat musik di atas panggung, meskipun bukan kepunyaan mereka sendiri.
Peniruan budaya grunge ala Cobain secara membuta, dituliskan dalam sebuah blog komunitas, sebagai berikut:
Parahnya ketika pecinta grunge mengadaptasi performs Nirvana di panggung. Yaitu kebiasaanya merusak-rusak alat band. Yang perlu kita sadari siapa kita dan siapa Nirvana, Mud Honey dan sebagainya. Mereka adalah band bertaraf internasional mungkin bayaran mereka manggung beberapa kali lipat dari harga seperangkat alat band. Jadi sangat tidak pas jika teman-teman pecinta grunge terlalu meduplikasikan Nirvana dan lainya secara mentah-mentah. Yang dibutuhkan sekarang adalah band-band grunge baru yang memiliki jiwa berjuang dalam kesederhanaan. Saya rasa itulah yang dibutuhkan disini. Ga’ asal ngeband, ngrusak alat, pergi meninggalkan kesan buruk banget buat grunge itu sendiri. Mungkin tulisan ini sangat kurang dan terlalu cacat, tapi semoga bisa menjadi sumbu meledaknya musik-musik di Indonesia.[12]
Peniruan budaya ini kemudian dalam interaksi sosial lebih dikenal sebagai “imitasi”, di mana istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Gabriel Tarde, atas dasar kesimpulan yang ditarik dari tugasnya sebagai ahli hukum.
Dan hasil penemuannya ini kemudian dikembangkan di masyarakat. Ia menyatakan bahwa masyarakat adalah hasil imitasi belaka yang berlangsung terus menerus sejak dahulu sampai sekarang.[13]
Menurut Gabriel Tarde, bahwa imitasi itu berasal dari kata imitation yang berarti peniruan.[14] Hal ini disebabkan karena manusia pada dasarnya individualis, namun di pihak lain manusia mempunyai kesanggupan untuk meniru sehingga di dalam masyarakat terdapat kehidupan sosial.
Sementara itu, ada pula yang menyebutkan imitation is to copy or produce action of another. Jadi, tingkah laku yang dihasilkan berasal dari individu lain.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa imitasi yang dilaksanakan individu serupa dengan idio-motor action, yaitu adanya tingkah laku yang bersifat otomatis sehingga menimbulkan/mengakibatkan tingkah laku yang seragam.
Yang lebih memiriskan adalah, beberapa band sempat memicu kekerasan pada saat memainkan lagu “Love Buzz” di atas panggung. Hanya karena emosi mereka ikut terbawa, dan ditemukan sesuatu yang “tidak mengejutkan” atas kekerasan tersebut, bahwa lagu milik band Shocking Blue yang dicover oleh Nirvana ini, pada salah satu livenya menampilkan adegan kekerasan yang dipicu oleh kesalah pahaman antara Cobain dengan pengamanan panggung.
Choros, menjelaskan bahwa sebelum imitasi dilakukan oleh suatu individu atau komunitas, setidaknya melewati beberapa persyaratan sebagai berikut:
- Harus ada minat/perhatian terhadap hal/sesuatu yang akan diimitasi. Minat/perhatian merupakan tuntutan pertama dalam imitasi dari tiap individu dan merupakan sesuatu yang membedakan hasil imitasi antara individu satu dengan yang lain.
- Harus ada sikap menjunjung tinggi atau mengagumi pada hal-hal yang diimitasi, sesuatu hal yang dihargai/dijunjung tinggi pasti sesuatu yang lebih baik daripada apa yang dimiliki oleh individu yang akan mengadakan imitasi atau sesuatu yang tidak dimiliki oleh individu.
- Harus ada penghargaan sosial yang tinggi. Sering terlihat bahwa individu mengadakan imitasi dengan maksud agar tingkah lakunya dapat mendatangkan penghargaan sosial di dalam masyarakat atau lingkungannya.
- Harus ada pengetahuan dari individu. Pengetahuan individu dapat menentukan hasil imitasi dari masing-masing individu walaupun ketiga persyaratan telah sama-sama dipenuhi individu.[15]
Pada poin keempat, dari empat persyaratan imitasi, biasanya kurang dipenuhi oleh pendukung grunge yang mengimitasi budaya grunge dengan serta merta meniru tingkah laku Cobain. Yang kemungkinan besar hal ini disadari sendiri oleh Cobain, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara. Cobain sempat menulis dalam “In Bloom”, mengenai reaksi berlebihan penggemar, yang tidak memahaminya, tapi hanya serta merta menirunya.
“He’s the one who like, our pretty songs, and he, like to sing a long, and he, like to shot his gun, but he, knows not what it mean..”[16]
Imitasi dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Baldwin menggolongkannya menjadi dua jenis, yaitu:
- Nondeliberate Imitation, yaitu peniruan yang berlangsung tanpa mengetahui maksud dan tujuan dari peniruan tersebut.
- Deliberate Imitation, yaitu suatu peniruan yang berlangsung dengan sengaja, artinya suatu peniruan dengan maksud dan tujuan tertentu dari peniruan yang dilaksanakan.[17]
Beberapa band hanya meniru Nirvana secara mentah-mentah, namun beberapa band seperti Toiletsounds (Jakarta), dan Libido (Surabaya) meniru Nirvana dengan sengaja dan penuh kebanggaan. Sekilas tentang Toiletsound, Toiletsounds adalah sebuah band underground yang terbentuk pada akhir tahun 1993, dengan formasi awal Petrus Saiya : gitar vokal , Yunus : bass , Aldy Reza : drums. ketiga personil Toiletsounds sangat dipengaruhi oleh band-band asal Seattle seperti: NIRVANA, PEARL JAM, ALICE IN CHAINS, FOOFIGHTERS, SONICYOUTH,dll.
Pada pertengahan tahun 1995, Toiletsounds mencoba merilis mini album yang berjudul “Satanic Bullshit” sebanyak 25 keping kaset yang berisi empat lagu, album ini dijual pada saat selesai manggung, dan ternyata mendapat respon yang sangat baik dari kalangan musisi underground tersebut,album tersebut habis terjual dalam waktu 2 jam saja.
Akhirnya pada awal tahun 1996, dari hasil ngamen panggung ke panggung Toiletsounds merillis album indie label nya yang berjudul “NOL” sebanyak 500 keping kaset yang berisikan 9 lagu. Album ini laku dalam waktu 2 minggu.Pada pertengahan tahun 1996, Toiletsounds mengikuti acara festival band yang di selenggarakan oleh MTV & Phillip’s, yang berjudul: MTV & Phillip’s Out Of The Box Band Search, acara ini diselenggarakan di Singapore selama 3 bulan penuh, dan peserta acaranya berjumlah 500 band dari seluruh Asia Tenggara, rata band-band tersebut hanya mengirim rekaman video klip dan CD mereka, sedangkan Toiletsounds hanya mengirim photo, profile & kaset demo live yang berisi 4 lagu diantaranya “Satanic Bullshit – Bulan – Nggak Jelas – Tolong”. Dan ternyata dalam jangka waktu 3 bulan tersebut tim juri acara festival tersebut akhirnya memilih 4 band terbaik untuk dipromosikan diacara MTV & Phillp’s Out Of The Box Band Search, salah satu dari 4 band tersebut adalah Toiletsounds mewakili Indonesia, Foot Shellter dari Philipina, dan 2 band lagi dari Malaysia & Thailand, dan akhirnya profile ke 4 band ini di tayangkan di MTV selama sebulan penuh. Pada tahun 1999, Toiletsounds akhirnya dilirik oleh salah satu label di Jakarta yaitu Independen records / Aquarius Musikindo, untuk merilis album “Minim”.
Beberapa band juga meniru band idolanya yang lain selain Nirvana. Bahkan penulis menemukan sebuah kenyataan yang membuktikan bahwa pada perkembangannya, beberapa band yang sudah melekat erat dengan “tokoh imitasi”nya ini kemudian mengajak dan mempengaruhi individu-individu atau band lain agar meniru langkah mereka, mengimitasi secara mutlak sebuah band idola, baik secara langsung, propaganda, maupun secara tidak langsung dengan cara men”cekoki” band-band baru atau individu-individu yang baru bergabung dengan komunitas grunge, meminjamkan atau memberikan semua hal (CD, kaset, literatur, poster, dan lain-lain) yang berkaitan dengan “tokoh imitasi”, agar individu-individu atau band-band yang baru tersebut ikut meniru “tokoh imitasi”nya. Dalam bahasa ilmiah, hal ini dinamakan Hetero Sugesti, yaitu suatu proses sugesti yang berlangsung dan ditujukan kepada individu lain agar dapat dipengaruhi sesuai maksud individu yang memberi pengaruh. Sebuah humor satire sinis pernah penulis lontarkan dalam sebuah website review band pada periode ini, “Nirvana sedang membuat MLM, membuka cabang sampai ke desa-desa”.
Sebuah situs blog, menuliskan tentang “Pengalaman Jadi Anak ‘Grunge’”, sebagai berikut:
Di beberapa acara grunge yang pernah gue datengin/maen, masih ada aja (banyak, bo!) band yang maen gak bener. Kenapa bandnya? Band ngawur. Ngawur gimana? Fals! Peraturan maen band kan simpel banget, jangan fals! Masalah bagus nggaknya kan sangat subyektif buat yang denger, tapi yang gak bisa diboongin adalah fals! Semua orang yang demen musik, bisa ngerasain suatu ke-fals-an, disharmoni antar instrumen, termasuk vokal. Gak butuh seorang Simon Cowell atau Trie Utami untuk bisa denger ada yang gak ‘pas’, kan?
Kurt Cobain, Layne Staley or Andy Wood bisa bangkit dari kubur kalo ngeliat ‘penerus’nya maen kayak gitu. Mungkin band-band itu pikir, grunge itu harus ngawur, beatnya ke mana, ritemnya ke mana, gak papa fals, harus ngerusak alat (padahal alat orang), dan, satu lagi, grunge itu adalah Nirvana! Well, kalo saat ini pengetahuan anak-anak itu bahwa Grunge is Nirvana, it’s ok lah. Mereka bisa ngegali lagi grunge itu apa seiring waktu. BUT, Nirvana gak maen fals! Kurt Cobain is one of the greatest singer God’s ever created dan dia gak pernah nyanyi fals pas konser. Even kalo dia maenin steman senarnya di atas panggung, tetep aja sound gitarnya keluarnya tetep harmonis. Apalagi pas Dave Grohl gabung. Makin solid…n the rest is history.
Gue gak ngerti kenapa ya banyak band so-called grunge bands, maen seperti itu? Padahal, dedengkot grunge yang kayak Toiletsounds, maen rapi, full power dan passion. Dan, pastinya, GAK FALS! Apa gak nyontoh seniornya ya? Apa gak kenal seniornya?
Komunitas grunge di Jakarta, kalo gak salah, udah ada sejak mas Kurt muncul dengan Nirvana-nya, which is pertengahan 90an kira-kira. Udah 10 tahun lebih. Kok ya gini-gini aja? Mungkin bisa dibandiingin dengan komunitas underground atau hard core metal yang terus punya ’suara’ dan massa. Malah fansnya sampe di luar negeri. Mungkin perbedaan antara kedua komunitas ini ada hubungannya sama FALS tadi. Fals attitude dan instrumen yang fals.[18]
Setidaknya ada tiga tahapan yang harus dilalui oleh grungies Indonesia dalam upaya mengimitasi budaya grunge Seattle. Ketiga tahapan itu, ialah:
- Tahap Proyeksi, pada tahap ini individu memperoleh kesan dari sesuatu yang akan diimitasi. Para remaja yang sedang bergolak jiwanya dan sedang mencari jati dirinya ini pada tahap awal menemukan apa yang mereka cari pada band-band grunge asal Seattle. Cara-cara mereka berpakaian, gaya hidupnya, serta permainan musiknya menimbulkan kesan yang mendalam, sehingga timbul niat bagi individu atau kelompok para remaja itu untuk mengimitasi budaya grunge dari Seattle.
Sebagai bahan perbandingan, pengalaman seorang “HC Kid” Bandung bernama Ugoran Prasad ini mengundang perhatian untuk disimak:
Mungkin agak berlebihan bila dikatakan bahwa pada sub-kultur ini, suatu proses identitas secara perlahan mengeras. Mungkin lebih tepat, formulasi dari suatu identitas yang diangankan. Sekurang-kurangnya saya melihat dan merasakan hal ini. Batas antara diri saya dan teman-teman saya sebelum dan sesudah pertemuan kami dengan sub-budaya yang sedang berkembang ini amatlah jelas. Tanpa diperintah, saya membeli celana lapangan, memotong rambut saya cepak, sesekali mewarnainya, mencari kaos oblong yang slogannya, berteriak, mengikatkan rantai dari dompet ke bagian depan celana saya, dan semacamnya. Peniruan fashion ini pada saat itu juga tidak cukup. Saat itu, saya merasa ada pengetahuan yang disebarkan, keberpihakan dan pembelaan-pembelaan sosial politik, yang sekilas bisa disebut heroik, namun sekaligus, sampai sekarang, wacana di dalamnya masih saya anggap penting.
Sebagaimana lazimnya cabang-cabang pengetahuan, berbagai arus besar ideologi dan paradigma hidup bersama-sama dalam gerakan ini. Awalnya agak samar. Saya sempat mengira hanya ada satu pengetahuan umum, suatu pemaknaan umum atas apa yang dibela oleh sub-budaya ini, bagaimana membelanya, dengan cara apa, dan seterusnya.
- Tahap Subjektif, pada tahap ini individu cenderung untuk menerima hal-hal yang akan diimitasi, misalnya sikap dan tingkah laku dari individu lain. Dalam kata lain, apapun tindakan yang dilakukan oleh musisi asal Seattle adalah benar, dan mencerminkan gaya hidup grunge yang telah dipersiapkan oleh individu maupun kelompok untuk diimitasi, dianggap benar, meskipun itu adalah gaya hidup yang bersifat destruktif, beberapa individu menelan secara mentah-mentah bahwa untuk menjadi musisi grunge mereka juga harus mabuk dan mengkonsumsi obat-obatan ilegal. Gabriel Tarde menyelidiki gejala ini dan menemukan hukum imitasi yang salah satunya adalah, “The Law of Geometrical Progression” yaitu, suatu proses peniruan sudah barang tentu dimulai dari sumber asalnya.[19] Mirantie Boreel menuliskan tentang ”Selamatkan Grunge (Antara Jujur dan Candu)” dalam situs totalfeedback.com mengenai hal ini sebagai berikut:
Kalau kita misalnya mengartikan GRUNGE sebagai gaya hidup mencandu narkoba, mabok-mabokan, alkoholik dan main wanita, lalu kenapa seorang AXL ROSE yang alkoholik dan teramat sangat buaya darat itu tidak kita nobatkan sebagai GRUNGE HERO sekalian? ( ini ditujukan untuk mereka, baik GRUNGE maupun bukan GRUNGE, yang beranggapan bahwa GRUNGE itu cuma gembel gila tukang mabok-mabokkan!). GRUNGE gak bisa dong disamakan dengan lifestyle cuma nongkrong dan hal-hal nyeleneh lainnya, walaupun memang kita tidak bisa melarang siapapun untuk memilih gaya hidup dan fashionnya.[20]
- Tahap Objektif, pada tahap ini individu telah menguasai apa yang akan diimitasi sehingga akhirnya ia dapat berbuat seperti individu lain yang akan diimitasi. Beberapa band grunge Indonesia menganggap bahwa apabila mereka telah mengkoleksi album band-band Seattle, memainkan lagu-lagunya, membaca buku-buku atau biografi yang bersangkutan, maka secara psikologis, band itu merasa telah menjadi band yang akan ditirunya, bertingkah sehari-hari, berpakaian, dan bahkan gaya bernyanyi atau memainkan alat musik sangat identik dengan band asal Seattle yang ditirunya. Tidak terhitung band grunge Indonesia yang mempunyai penyanyi dengan suara yang dimirip-miripkan Kurt Cobain, Eddie Vedder, Courtney Love, dan lain-lain.
Selanjutnya, Mirantie Boreel menambahkan tulisannya sebagai berikut:
Kita tidak dapat memulai upaya membebaskan diri dari suatu kecanduan tertentu tanpa mengakui bahwa kita kecanduan. Dalam bermusik kita gak akan bisa melepaskan diri kita dari suatu genre musik yang kita candu tanpa mengakui sedang dalam keadaan candu terhadap genre musik itu. Karena candu itulah kita diberikan dandanan yang menarik. Menerima kenyataan bahwa kita kecanduan merupakan suatu pengakuan bahwa ada suatu bagian dalam diri kita sedang tak terkendali. Kecanduan ditandai dengan magnetisme dan ketakutan. Ada rasa tertarik ada juga rasa takut, ditambah getaran yang tidak pada tempatnya.
Kita semua pasti setuju bahwa ketertarikan merupakan bagian hidup yang menyenangkan. Ketertarikan dapat dipuaskan dan dapat pula ditinggalkan, tetapi kecanduan….NO! Kecanduan tidak dapat dipuaskan. Kecanduan tidak dapat ditenangkan. Kecanduan tidak dapat disembuhkan tanpa pengakuan bahwa dia ada, dan tanpa pemahaman dinamika yang berada di baliknya. Kecanduan membuat diri kita selalu mengingatkan bahwa musik yang mungkin paling menarik bagi kita juga menarik bagi orang lain.
Kita selalu menolakukurkan apa yang disukai orang lain agar kita selalu dalam keadaan sama. Rasa itu timbul karena perasaan takut. Takut dibilang jelek, takut gak punya temen, dan takut-takut lainnya yang membuat kita merasa terpinggirkan. Nah, kita sebagai komunitas GRUNGE kebanyakan dan bahkan hampir semuanya menghadapi kecanduan tersebut. Candu Nirvana, candu Foo Fighters, candu Silverchair, candu Hole dan candu band HERO lainnya.
Candu inilah yang membatasi jati diri kita. Candu inilah yang membuat kita malas berkreasi sendiri bahkan ada yang gak mau belajar dari orang lain di luar GRUNGE, malas memahami arti musik itu sendiri, karena kebanyakan dari kita beranggapan bahwa membuat komposisi lagu seperti band yang kita candu itu sudah cukup porsinya. Atau dengan kata lain, asal mirip Nirvana, asal mirip Pearl Jam, asal mirip Courtney Love, Daniel Jhon dan lain-lain. Tidaklah heran, masyarakat dan komunitas di luar GRUNGE merasa bosan dengan kehadiran kita.
Selain imitasi budaya salah kaprah yang terlanjur dilakukan oleh sebagian musisi grunge Indonesia, grunge juga dianggap sebagai produk budaya murahan. Sehingga citra ini sendirilah yang menghambat kemajuan setiap gerakan demi eksistensi komunitas.
Berawal dari gigs, kemudian timbulah cap murahan pada band grunge. Karena kesalahan yang dilakukan oleh beberapa band, maka timbulah ‘kesalahan kolektif’, yaitu pemikiran yang salah oleh orang-orang di luar scene grunge, bahwa grunge hanya dipenuhi oleh musisi-musisi atau band-band yang tidak becus memainkan alat musik dan cenderung merusak.
Mirantie Boreel menuliskan tentang hal ini dalam tulisannya ” Pentingnya Rasa Kebersamaan” sebagai berikut:
Setiap interaksi masing-masing individu merupakan bagian dari dinamika pembelajaran secara terus menerus. Kita adalah individu yang berkecimpung dalam suatu genre musik, dalam hal tersebut berlaku suatu keinteraksian antara genre musik kita dengan genre musik yang lain dimana dalam keinteraksian itu tidak akan pernah lepas dari warna-warni di baliknya. Hal itu lumrah saja, karena tiap-tiap dasar jenis musik masing-masing memiliki karakter dan porsi tersendiri. Maka sudah menjadi kepastian jika interaksi yang berlangsung antara GRUNGE dengan Metal, GRUNGE dengan Punk, GRUNGE dengan Blues, Jazz, Ska, Pop dan lain-lain memiliki dinamika yang unik dan berbeda. Namun sebelum kita menggabungkan diri untuk berinteraksi dengan masyarakat luar, kita harus mengenali terlebih dahulu lingkungan kita sendiri, kita harus bisa memahami dulu apa yang tengah terjadi dalam komunitas kita. Semua itu untuk menciptakan kebersamaan.
Rasa kebersamaan itu penting. Rasa kebersamaan adalah sakti. Sebagian dari kita ada yang menerjemahkannya sebagai sesuatu yang ideal, berisi kewajiban saling membantu, saling merasakan, dan saling menghargai. Namun, sebagian yang lain mengartikannya sebagai model hubungan yang hanya ada sepanjang dibutuhkan. Sialnya, justru model terakhirlah yang belakangan banyak terdengar di komunitas kita. Dalam event-event GRUNGE, misalnya, masih ada yang namanya pertikaian, persaingan antar band, dan pihak panitia yang belaku kasar pada crowds/penonton. Kita harus menyadari bahwa sesungguhnya kita membawa suatu nama komunitas orang banyak. Sebegitu pentingkah hiburan, kesenangan, dan kepuasan suatu komunitas hingga menimbulkan saling pukul, saling tendang bahkan saling meludah?! Ternyata…masih ada kesenjangan dalam komunitas GRUNGE ini! Sebagian dari kita mungkin memilih untuk tetap diam or no comment karena adanya niat untuk mendisiplinkan diri, menghilangkan dendam maupun menunjukkan kesabaran. Tapi, ada pula sebagian dari kita memilih bersuara lantang dan keras, dan tindakan itu juga untuk mendukung niat yang sama. Di situ terlihat, jiwa yang terkoyak memiliki dua aspek, yang satu mungkin sabar dan satunya lagi mungkin benci. Masing-masing memiliki tujuannya sendiri. Bagian-bagian itu mencari jalan untuk menciptakan hal-hal yang memuaskan, hal-hal yang telah biasa dilakukan. Tapi, sebelum kita merencanakan ciptaan memuaskan diri sendiri itu berjalan, apakah kita menyadari bagian dari diri kita ini atau tidak? Sudah atau belum? Kita tidak akan pernah bisa memiliki semuanya secara sekaligus, karena banyak diantaranya saling bertentangan. Jadi buat apa ribut-ribut ama orang (apalagi teman sendiri dari satu komunitas) kalau dinamika kita sendiri masih suka bertentangan? Saya mengerti mungkin Anda hanya ingin cari hiburan, tapi buat apa cari hiburan kalau hiburan itu dijadikan ajang persaingan dan pertikaian? Kita harus ingat dalam keadaan apapun (baik sadar maupun drunk!), bicaralah pada diri sendiri kenapa kita datang ke acara musik? Kenapa kita cari hiburan? Kenapa kita menggandrungi genre musik ini? Semua itu tak akan pernah kita pahami kalau kita masih berlarut-larut candu terhadap genre!(lihat : Selamatkan GRUNGE antara jujur dan candu) Ingat…candu tidak bisa dipuaskan. Cobalah berpikir sejenak tentang keberadaan musik ini, mengapa genre musik ini ada? Kita gak bisa nyalahin Kurt Cobain dan langsung menganggap dia bersalah karena membuat kita kecanduan. Tidak ada satu pun musisi dan pencipta lagu di dunia ini yang patut disalahkan.
Kalau kita sudah memahami tentang keberadaan musik itu kita akan semakin kuat, dan keberadaan GRUNGE hanya bisa kuat eksistensinya oleh rasa kebersamaan komunitas GRUNGE itu sendiri, yaitu kita semua! Hal-hal yang selayaknya dipelajari oleh kita sebagai individu di dalam penyatuan dengan individu lain merupakan hal-hal yang harus dipelajari oleh kelompok, komunitas, dan bangsa dalam penyatuan spiritual dengan kelompok, komunitas, dan bangsa lain. Pilihan pada masing-masing tingkat adalah apakah berjalan melalui ketakutan dan keraguan ataukah melalui kearifan, apakah arus energi frekuensi rendah jiwa ataukah arus energi frekuensi tinggi ruh. Jika kemarahan satu jiwa pada yang lain menyebabkan sikap defensif, maka kemarahan suatu bangsa, agama, atau jenis kelamin yang lain hanya akan menimbulkan komunitas yang berkotak-kotakkan.
Kita ini mulia, kawan-kawan! Mengenal musik yang luar biasa! GRUNGE itu seperti Blues, memiliki ketukan/ritme yang khas. GRUNGE itu seperti Jazz, kita menikmati tanpa harus memahaminya. GRUNGE itu seperti Rock yang siap mengguncang adrenalin. Dan GRUNGE itu seperti Punk, mengutamakan kebebasan berpendapat. GRUNGE itu makna musiknya luas. Ruang lingkup musik saja bisa berkumpul bersama dalam wadah GRUNGE, masa pendekar-pendekarnya gak bisa? Kalau ingin tetap melihat kebersamaan yang jujur, mulailah jujur pada diri sendiri. Kita akan merasakan bahwa sesungguhnya musik itu mampu mengasah naluri yang menghasilkan kehalusan budi. Pemahaman terhadap musik membuat kita lebih jauh mampu berempati terhadap sesama. Dengan begitu, akan muncul generasi yang mengutamakan kepentingan orang banyak serta saling membantu mencapai yang terbaik.
Tulisan Andre Eijkov di mailing list Deathrockstar, menarik untuk disimak:
..dan ngomong2 tentang gigs grunge yang kebanyakan Nirvanaisme di Jakarta tempo dulu … aslinya gak cuman di Jakarta aja sih, karena toh di tempat tempat laen juga banyak … toh anak2 grunge waktu itu [mid dan akhir dekade 90an] belom bisa lepas dari bayangan superheronya mereka si Kurt Cobain … entah kalo sekarang … ketika ngomong kerusuhan di gigs grunge, ya gua yakin anak2 grunge waktu itu, juga punya energi kemarahan dan tendensi eksistensialisme yang sama besar kayak yang dipunyai si Cobain, entah kalo sekarang, kalo masih kayak gitu ya goblok aja, beli gitar sama ampli aja susah pake sok dibanting banting … kenapa gak bunuh diri sekalian … ngikutin si Cobain biar jadi keren … taon 2000an gue pernah nyindir anak2 grunge yang Nirvanaisme, gue bikin poster sablonan gambarnya Cobain dikasih teks “i hate myself but i am not brave enough to die” hasilnya gue digebukin pake kursi lipat sama seorang pentolan scene grunge ampe bonyok … cuman untungnya beberapa orang anak2 grunge lama yang gue kenal, sekarang udah bisa mandang hidup lebih realistislah … bukan lagi pengikut trendsetter underground, apalagi sampe fanatis secara fatal …
disini gua gak maksud ngomong scene grunge itu kancut ato apa, karena kalo kancut ya tiap scene mo itu punk, HC, pop, ato apa aja, itu emang punya hal-hal busuk … cuman ya memandang sebuah scene semisal grunge [apalagi menghidupinya] kalo gua bilang gak bisa dengan sesederhana itu sih …
sejarah personal anak-anak grunge lokal beda sama anak-anak grunge di luar negeri sono …
tendensinya udah beda …
masalah-masalahnya udah beda …
walaupun kemarahan dan bentuk riotnya sama aja …
ya dan gue ngutip aja omongan temen gue yang anak grunge … orang indonesia udah lahir jadi anarkis, gak pernah hidup modern apalagi teratur, itu beda sama orang-orang bule yang terlalu modern, mereka butuh anarkis, butuh punk, butuh HC, butuh grunge buat berontak, kalo disini di lokalan, semuanya mestinya dibutuhinnya buat jadi industri lokal, nguatin basis ekonomi lokal, minimal ngegantiin industri lama yang udah waktunya mati …
tapi kadang semua gak bisa berjalan seperti itu … selaen dari hal hal diluar keberhadiran semua scene itu, juga kadang dari personal si scenester itu sendiri …
gua kasih contoh kecil aja sih … kemana aja sekarang anak-anak grunge yang laen laen yang dulu namanya menggelegar penuh distorsi ?
ni gua nyoba pake logika orang yg males nyari zine nih … pasti bakal muncul omongan, lagi lagi Seek Sick Six yang muncul [bener gak nih tulisannya ?], lagi lagi Navicula yang muncul … trus yang laennya sekarang mana ?
dan buat gue ketimbang cuman romantisme mengenang kejayaan masa lalu, kenapa gak bebenah ngebangun scene secara lebih baik lagi ?
kalo punk atau HC aja bisa ngebikin scene mereka jadi sophisticated, dan bisa menghidupi para personil para scenester didalamnya, kenapa grunge nggak ?
kemana sih sekarang …
reguler gigs yang melibatkan berbagai band grunge seindonesia bernama Total Grunge ? kemudian kompilasi kompilasi seperti Total Feedback ? media media fotokopian bikinan anak grunge kayak Brisick, Contra, Karbol, dll ?
Dan ketika hal ini membuat musisi grunge memisahkan diri, selanjutnya masih menyisakan berbagai permasalahan yang menguatkan cap murahan pada grunge yang terlanjur sudah melekat. Ironisnya, berbagai permasalahan itu selanjutnya berasal dari lingkungan komunitasnya sendiri. Mahesa Agung atau yang lebih dikenal sebagai Dede dari band Noise! Palembang menuliskan:
sory mas kalau jawabannya agak sinis, dan ternyata grunge emang benar jadi komunitas yang pecundang ( bukan berarti saya membenci ), itu yang saya lihat saat ini alur hidup nya gitu-gitu aja monoton di Palembang grunge sudah binasa anak-anak tau nya cuma Nirvana yang lain nggak tau.
Sikap ekskusivisime (ada dalam kesimpulan newsletter Bangku Taman dalam lampiran buku ini yang dipublikasikan oleh penulis sekitar akhir tahun 1990an), atau pemisahan diri komunitas grunge ini secara disadari ataupun tidak malah hanya akan memperparah jurang pemisah dengan scene lain. Selain para pendukung pemisahan grunge terhadap scene musik lain, banyak responden yang kemudian memilih untuk keluar dari sistem “komunitas” karena dinilai bukan membantu memajukan band atau komunitas grunge agar lebih dikenal oleh masyarakat luas, namun lebih parah lagi, menjauhkan mereka dari scene musik lain. Cjc Silentium/Potpuri menulis hal tersebut:
Dan gw termasuk orang yang tidak terlalu peduli bahwa suatu sikap anti kemapanan (gw sering sebut dinamika) ini memerlukan sebuah komunitas yang malah nantinya menimbulkan eksklusifitas murahan..gw dengerin Alice in Chains.. gw dengerin Pearl Jam.. gw seneng punya sense-music yang berbeda dengan orang lain.. tapi ketika kesukaan itu ternyata harus disama-samakan dengan orang lain (yang ternyata lebih hebat koleksinya !! haha).. gw pikir itu ngga cukup “grunge”[21]
Beberapa band grunge yang ingin mencoba lebih profesional, membenahi manajemennya, dan itu tentu saja dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan ketika dia mengenakan tarif, maka yang terjadi adalah dari kalangan komunitasnya sendiri mengecapnya sebagai “sok artis” dan untuk selanjutnya, band-band tersebut akan mendapat “kutukan” dari komunitasnya sendiri, dengan menyebarnya berita-berita miring tentang band tersebut yang tidak mau mendukung acara demi kemajuan scene. Ini ibarat buah simalakama, atau pisau yang mempunyai kedua sisi yang sama tajam, keduanya berpotensi untuk melukai. Langkah band tersebut untuk menuju jenjang lebih profesional selayaknya dihargai, namun begitu juga seharusnya band tersebut memberikan “harga khusus” bagi sebuah acara musik komunitas grunge. Tetapi kadang juga terjadi hal yang tidak adil. Mengatasnamakan komunitas dan untuk kemajuan bersama, maka digelarlah pertunjukan musik grunge dengan biaya pendaftaran yang mencapai ratusan ribu rupiah dengan band yang setlistnya bisa mencapai puluhan band, dari pagi sampai malam, yang dengan hitungan kasar orang awam sekalipun, acara itu pastilah mendapat untung besar, tetapi tidak mau membayar band yang mencoba untuk profesional, dengan dalih acara masih merugi, dan untuk selanjutnya berbuat hal yang dikemudian hari merugikan band jika menolak untuk tampil.
Permasalahan kompleks seperti ini harusnya terpecahkan sejak lama dan tidak mengendap menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menimbulkan perpecahan di komunitas grunge sendiri. Pihak panitia dituntut untuk lebih kreatif dalam penggalian dana, dan bukan sesuatu yang diharamkan meskipun acara tersebut memakai bantuan pihak sponsor. Ataupun atas nama idealisme, apabila menolak untuk melibatkan pihak sponsor, sebuah acara grunge tidak akan berkurang gregetnya apabila hanya ditampilkan di sebuah pub kecil atau kampus, atau bahkan di pinggir jalan, daripada menyewa pub yang mewah dengan harga sewa tinggi. Dengan sewa tempat yang murah maka alokasi dana untuk itu bisa dipindahkan untuk meminimalisir jumlah band peserta atau untuk membayar sekedar uang ongkos latihan bagi band-band yang mencoba untuk profesional, dengan pertimbangan bahwa band tersebut mendapat perlakuan istimewa atas dasar kalkulasi bahwa band mampu untuk mendatangkan massa yang membeli tiket, melebihi harga yang dibayarkan.
Sebagai sebuah budaya yang bukan berasal dari budaya negara kita, grunge begitu diterima di kalangan anak muda dengan tangan terentang dan pintu yang terbuka lebar. Yang diperlukan hanyalah sebuah alat penyaring yang bisa berasal dari individu dan komunitas grunge sendiri, agar grunge memperoleh “harga diri”nya ditingkat masyarakat awam yang notabene buta tentang budaya grunge, dan juga meskipun grunge identik dengan sesuatu yang murah, grunge tidak lantas dicap sebagai produk murahan. Langkah Pearl Jam dalam melawan Ticket Master secara hukum agar para penggemarnya mendapatkan tiket konser Pearl Jam secara murah, adalah langkah agar citra grunge yang terjangkau kaum pinggiran tetap terjaga, sama sekali bukan langkah sensasi murahan, bahkan menaikkan pamor Pearl Jam di mata para penggemarnya. Sehingga kelak tidak ada lagi yang memandang sebelah mata terhadap musik grunge, menganggapnya sebagai musik murahan, seperti joke Marc Ferrari (gitaris Cold Sweat/Keel) yang tertulis dalam bukunya Rockstar 101tentang tour show band grunge:
Pemain papan atas bisa memperoleh $10.000 perminggu, tapi rentangan normalnya adalah $1.500-$5.000 plus per diem, uang harian untuk makan dan keperluan mendadak lainnya. Tentu saja, jika kamu ikut bermain di band grunge dalam tur kelab North Dakota, angka itu akan berkurang satu desimal![22]
  • GRUNGE SEBAGAI SEBUAH KOMUNITAS SOSIAL ANAK MUDA INDONESIA
1. Merayakan Kontradiksi
“Daya tarik hidup tidak muncul dari penolakan terhadap, melainkan juga justru dari sikap gembira merayakan kontradiksi” (Hikmat Budiman; 2002)
Musik grunge secara terpisah mungkin adalah hasil keter-isolasi-annya dari scene musik lain. Sebagaimana yang dituturkan oleh Jonathan Poneman dari Sub Pop yang menggambarkan sebagai berikut: “Seattle adalah sebuah contoh sempurna kota kelas dua yang mempunyai scene musik aktif namun sama sekali tidak diperhatikan oleh media-media Amerika yang cenderung lebih menyoroti scene Los Angeles dan New York“. Arm dari Mudhoney mengklaim bahwa isolasi tersebut dapat diartikan sebagai, “salah satu sudut pada peta ini, sangat potensial untuk mengubur ide-ide seseorang satu sama lainnya”.
Seattle adalah kota terbesar di wilayah Timur Laut Pasifik Amerika Serikat, terletak di negara bagian Washington antara Puget Sound dan Danau Washington, sekitar 180 km di sebelah selatan perbatasan Amerika Serikat-Kanada.
Seattle didirikan pada tahun 1850-an dan namanya berasal dari nama Seattle, seorang pemimpin suku Amerika Asli. Kota ini mempunyai penduduk yang diperkirakan sebesar 582.174 jiwa dan populasi wilayah metropolitan yang hampir mencapai 3.919.624 juta (2006).
Seattle sering dikenal sebagai “Kota Hujan”, meski julukan resminya adalah “Kota Zamrud”. Seattle juga dikenal mempunyai reputasi akan konsumsi kopinya yang tinggi. Jaringan kedai kopi Starbucks berasal dari sini. Selain itu, perusahaan besar lainnya, produsen pesawat Boeing dan produsen komputer Microsoft juga bermarkas di Seattle.
Pada tahun 1999, Seattle menjadi tuan rumah pertemuan WTO. Saat itu, kota ini sempat ditutup para demonstran anti-globalisasi.
Ikon kota ini yang paling terkenal adalah menara Space Needle yang didirikan pada tahun 1962.
Di Amerika sendiri, grunge bisa digolongkan masuk dalam kategori komunitas yang sebagian terbesar dari mereka adalah pendukung apa yang biasa disebut sebagai “Youth Culture”, sebuah subkultur yang sering mengundang kecemasan sekaligus dituding sebagai penyebab kemerosotan peradaban Barat oleh kelompok-kelompok konservatif dalam masyarakat borjuis.
Situs desantara.org menulis tentang kegigihan musisi grunge Seattle untuk bertahan dari ketersisihan dan terus berjuang demi memperkenalkan musiknya, sebagai berikut:
Bunyi musik grunge begitu memekakkan telinga. Banyak orang tidak peduli dengan musik jenis ini. Di daerahnya sendiri, Seattle, yang penduduknya relatif miskin karena penghasilan mereka hanya mengandalkan hasil hutan, grunge sangat tidak mendapatkan tempat yang layak. Penduduk Seattle kurang tertarik dengan musik yang awut-awutan tidak karuan itu. Beban hidup sehari-hari sudah cukup merepotkan mereka untuk memikirkan musik yang dipandang tidak beraturan itu. Dan dianggap sebagai musik yang minus sound effect ini.
Leo Lowenthal (1984: 7;1957:49) melihat bahwa bahkan sejak dekade 1950-an, produk-produk artistik makin kehilangan karakter spontanitas dan tengah digantikan oleh fenomena budaya populer. Meskipun secara formal ia lebih merekomendasikan pemakaian terma “budaya populer” daripada terma “budaya massa”, tapi ia tetap tidak lepas dari kerangka pemahaman tentang adanya distingsi kultural yang tidak bisa ditawar-tawar lagi antara budaya tinggi, disatu pihak dan budaya populer, di pihak lain. Antara produk-produk “seni” dan barang-barang konsumsi massa. Lowenthal sendiri pada prinsipnya cenderung lebih memandang budaya populer sebagai counter concept (konsep perlawanan) dari seni (art). Dalam pandangannya, budaya populer tidak lain adalah sebuah hasil reproduksi realitas yang telah dimanipulasi.
Bagi Lowenthal, tetap ada perbedaan yang tidak terjembatani antara seni dan budaya populer. seni adalah kreasi individual dan dialami oleh individu qua individu, sedangkan budaya populer hanya repetisi dari hal-hal yang sudah ada melalui penggunaan alat-alat yang dipinjam dari seni. Produk-produk budaya populer tidak memiliki satupun ciri dari seni atau budaya yang asli. Merosotnya karakter individual dalam proses-proses kerja mekanis peradaban modern menurut Lowenthal (1957:55 ; 1984:14) membawa akibat munculnya budaya massa yang menggantikan budaya rakyat atau budaya tinggi. Observasi Lowenthal membawanya pada satu kesimpulan bahwa budaya populer juga ditandai oleh kharakter yang asli miliknya: standardisasi, stereotipe, konservatisme, kebohongan, dan barang-barang konsumen yang telah dimanipulasi.
Sedikit berbeda namun sangat signifikan dengan penjelasan Leo Lowenthal diatas, grunge diadaptasi dari budaya ke”kumuh”an para gelandangan dan pola hidup murah/sederhana penduduk Seattle menjadi suatu budaya tersendiri yang meliputi gaya hidup, musik, cara berpakaian, bagi para anggota komunitas termasuk diantaranya para musisi grunge. Yang kemudian, melalui pemberitaan media secara besar-besaran, maka mulailah budaya yang dulunya terkucil tersebut mulai dikenal, menyebar dan menjadi sebuah produk budaya massa yang “meledak” di awal tahun 1990an. Sehingga pada akhirnya melahirkan barang-barang konsumsi yang telah dimanipulasi dengan berdasar pada budaya massa grunge tersebut. Sedangkan musik grunge, pada dasarnya adalah suatu bentuk seni tersendiri yang dimaksudkan sebagai salah satu perlawanan tehadap megah dan glamornya budaya musik rock saat itu, yang keindahannya mungkin tidak semua orang bisa merasakannya.
Keindahan suatu karya seni, adalah sesuatu yang menyangkut atau berkaitan erat dengan perasaan atau sudut pandang. Beberapa filosof menyimpulkan keindahan suatu karya seni sebagai berikut:
- Menurut Humo (Inggris)
Keindahan adalah sesuatu yang dapat mendatangkan rasa senang.
- Menurut Hemsterhuis (Belanda)
Yang indah adalah yang paling banyak mendatangkan rasa senang dan itu adalah yang dalam waktu yang sesingkat-singkatnya paling banyak memberikan pengamatan-pengamatan yang menyenangkan itu.
- Menurut Immanuel Kant
Meninjau keindahan dari dua segi. Pertama dari segi arti yang subyektif dan dari segi yang obyektif.
(a). Yang Subyektif
Keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa sangkut paut dengan kegunaan praktis, tetapi mendatangkan rasa senang pada si penghayat.
(b). Yang Obyektif
Keserasian dari suatu obyek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh obyek ini tidak ditinjau dari segi gunanya.
Herbert Read berpendapat, bahwa keindahan itu dipandang sebagai gejala-gejala yang tidak tetap sifatnya. Dan Sarpertreit berpendapat bahwa, perasaan dan keindahan sebagai gejala tak tetap sifatnya, maka manifestasinya juga tidak tetap wujudnya. Menurut Herbert Read, manifestasi yang tidak tetap atau berbeda-beda itu harus diberi kedudukan sama dalam pembicaraan tentang seni. Jika orang mengadakan pembicaraan tentang seni, seyogyanya tidak memperlihatkan sikap memihak. Tidak boleh mengarahkan perasaan keindahan itu kepada karya seni atau seniman-seniman klasik saja. Kita juga patut mengarahkan perasaan keindahan kita kepada seniman-seniman atau orang-orang, yang mempunyai perasaan keindahan yang berbeda dengan orang-orang atau seniman-seniman klasik.
Atas penjelasan para filosof diatas, maka grunge adalah suatu bentuk keindahan tersendiri yang hanya dapat dinikmati oleh para pecinta musik dan gaya hidup grunge. Bahwa mutu dari karya seni yang bernama grunge tidak bisa hanya dilihat dari “kaca mata” orang diluar komunitas pecinta musik grunge, karena pada komunitas grunge itu sendirilah, musik grunge menemukan kualitas dan keindahannya.
Ibeng, gitaris band Slip Tongue Jogja, menjelaskan “keindahan” grunge sebagai berikut:
Gw melihatnya sebagai musik yang mewakili perasaan, buat gw pribadi lebih ke pencurahan pikiran dan kesenengan tersendiri daripada pemberontakan dan gejolak rasa muda tentunya.. waktu itu sangat berarti artinya itu jadi soundtrax dalam segala aktivitas gw..
Abdul Aziz Zulhakim, S.Sos atau biasa dipanggil Izul Jaloer Kiri menuliskan pandangan terhadap ketertarikannya akan “keindahan” grunge sebagai berikut: “
Distorsi nyeleneh dan sound-sound kotor lah yang membuat saya tertarik, karena hidup=NOISE.. DUDE!
Buku Ilmu Budaya Dasar yang disusun oleh M. Habib Mustopo, menuliskan tentang hal ini sebagai berikut:
Pada umumnya harus kita katakan bahwa mutu suatu ciptaan, terutama daripada sifat yang khas yang tidak ada pada ciptaan lain. Seni sebagai suatu ciptaan mutunya terletak pada kekhasannya, sifat individualnya. Sifat individual itu adalah pandangan pribadi penciptanya. Pandangan pribadi tersebut, merupakan ekspresi yang lahir atau terbakar di dalam bentuk ujud nyata. terlahirnya ujud yang nyata sebagai ekspresi artistik harus melalui pengolahan. fase pengolahan aktifitas mencipta itu dapat digambarkan sebagai berikut: fase persepsi (fase pengamatan), fase aransemen (fase penyusunan daripada hasil pengamatan), dan fase ekspresi (fase penyesuaian dengan keadaan dan suasana perasaan pada waktu itu)
Situs desantara.org menambahkan:
Berawal dari ketidakteraturan itulah akhirnya grunge menemukan keteraturan. Ada kata suka karena ada kata benci. Sesuatu itu dipandang “ada” karena ada sesuatu yang tidak “ada”. Berisi adalah kosong, kosong adalah berisi. Demikian filsafat buddish menyebut dua sisi yang berbeda tapi hakekatnya sama.
Proses untuk menjadi genre yang bisa diterima dan dipandang mempunyai gaya dan ritme sendiri membutuhkan waktu yang panjang. Pearl Jam, Alice in Chains, Soundgarden, Mudhoney adalah orang-orang yang berjasa dalam mempelopori eksisnya musik grunge ini. Mereka ada di Seattle, sehingga anggapan bahwa Seattle adalah kiblat grunge semakin terkukuhkan.
Sebelum tahun 1992, orang-orang seperti Pearl Jam, Alice in Chains dan Mudhoney hijrah dari Seattle. Sedikitnya penggemar adalah faktor utama yang membuat mereka tidak betah. Bisa dibayangkan, album Mudhoney yang berjudul Touch Me I’m Sick hanya dua bar dan satu klub kecil yang mau untuk memutarnya. Dan ini mengandung makna bahwa Seattle sendiri belum menerima musik jenis ini.
Perjalanan musik grunge jatuh bangun untuk di kenal orang. Akhirnya, ditangan Nirvanalah grunge menemukan puncak kepopulerannya. Walaupun peran grup musik yang lain seperti Melvin, Ten Minute Warning, Malfusnkshun, U-Men, Coffin Break dan lainnya, tidak bisa dipandang remeh dan dinafikan begitu saja. Istilah yang dilekatkan kepada musik yang berasal dari Seattle ini adalah Seattle Sound sebagai aplikasi dari musik grunge itu sendiri. Dan mungkin inilah alasan mengapa grunge tidak bisa dilepaskan dengan grup musik yang penyanyinya mati bunuh diri ini.
Sikap bertahan terhadap ke-terasing-an dan ke-terisolasi-an dari komunitas musik lain di scene kota Seattle inilah yang memotivasi para musisi tersisih di Indonesia. Mereka menerima sikap sebagai semacam ideologi, maupun falsafah bagi eksistensinya. Para musisi tersisih ini, untuk selanjutnya berkumpul, bergabung, berbagi ide, untuk kemudian membentuk komunitas.
Dan, tentu saja, sebagai bagian dari identitas yang berfungsi sebagai pembeda terhadap komunitas lain, komunitas grunge juga membuat tanda-tanda atas suatu kesepakatan tak tertulis bagi anggota-anggota komunitasnya. Pentingnya ‘tanda-tanda’ bagi komunitas tersebut, tak kurang adalah berfungsi untuk penandaan identitas kelompok.
Sebuah contoh kasus dalam hal ini ditulis oleh Jonathan Friedman, sebagai berikut:
Mengambil contoh kasus kebiasaan konsumsi dalam kehidupan masyarakat kota Brazzaville, Kongo, sebagai ilustrasi.
Di kota ini, ada dua jenis minuman coke yang biasa dikonsumsi oleh masyarakatnya. Yang pertama adalah coke produksi lokal yang dikemas dalam botol, dan yang kedua yang jauh lebih mahal, dikemas dalam kaleng, dan diimport dari Belanda. Friedman melihat bahwa masalah konsumsi coke di Brazaville signifikan secara lokal dalam proses pencarian identitas masyarakatnya.
Bagi warga kota ini, untuk menjadi seseorang atau untuk memperlihatkan posisi seseorang, adalah sama dengan memajang kaleng impor coke Belanda tadi di kaca depan mobilnya. Sebuah kaleng coke, dengan demikian, adalah sebuah sumber dari kehidupan yg lebih baik, kemakmuran dari sebuah tanda kekuasaan sekaligus.
Orang bisa mengidentifikasi kedudukan sosial orang lain dalam sebuah kerumunan hanya dengan melihat penampilan lahiriahnya.
Apabila dalam komunitas musisi punk, dicirikan dengan rambut mohawk, asesoris rantai, tindikan serta tatto, maka komunitas grunge mengganti kaleng coke sebagai ‘tanda-tanda’ dengan kemeja flannel, sepatu Converse atau Dr. Martens (Docs), penampilan lusuh dan awut-awutan dalam penunjukan identitasnya.
Buku Alex Wipperfurth, “Brand Hijack; Pemasaran Tanpa Pemasaran” menuliskan trend pemakaian sepatu Dr. Martens (Docs) sebagai berikut:
Pada tahun 1980-an, Docs masuk ke arus utama dunia mode. Sepatu bot tersebut sangat terkenal di kalangan gay di Inggris yang telah mengadopsi gaya berpakaian skinhead. Pada awal tahun 1990-an, sepatu bot Docs menyeberangi lautan dan menjadi ciri utama blantika musik grunge serta indie AS. Tampaknya, kaum hippie merupakan satu-satunya gerakan anak muda besar yang tidak mengadopsi sepatu tersebut sebagai bagian dari penampilan mereka.
Tanda-tanda itu menjadi sedemikian pentingnya dalam penunjukan identitas komunitas sehingga kadang melupakan hakikat sebenarnya, mengapa atau darimana tanda-tanda tersebut berasal.
Sebagai contoh, penggunaan sepatu Converse, adalah hanya karena Cobain memakainya. Padahal sebagaimana ditulis di buku ini pada bagian budaya berpakaian grunge, di negara asalnya, penggunaan Converse didasari kenyataan bahwa sepatu tersebut murah dan nyaman dipakai. Begitu juga halnya dengan penggunaan kemeja flannel, dimana di Seattle, cuaca dalam sekejap bisa tidak bersahabat, dan udara menjadi dingin. Pemakaian tanda-tanda dengan sikap membuta inilah yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari komunitas grunge.
Tulisan dalam “Budaya Pop, Perayaan tanpa Kemenangan” (galerialfa; 2008) ini menarik untuk disimak:
Perayaan budaya pop (pop culture) di Indonesia, sesungguhnya relatif unik dan ironik; ia marak dan meriah, tetapi tidak tahu, mungkin juga tidak peduli, kemenangan apakah gerangan yang sedang dirayakan. Barangkali memang tak ada kemenangan apapun di tengah marak dan meriahnya mode, trend, gaya hidup, selera konsumtif, benda-benda aneka merk, kecuali bahwa yang dirayakan bersama itu tak lain “budaya” populer itu sendiri — tanpa pretensi kemenangan.
Akan tetapi, dalam argumen tersebut juga terdapat pernyataan sebagai berikut:
Tentu banyak orang dan elemen pendukung budaya pop akan menolak anggapan tersebut. Bagi sebagian mereka, kemenangan itu dianggap ada, setidaknya karena mereka merasa terhibur dan enjoy dalam kepungan citra dan benda-benda; hedonisme menjadi mungkin di sini.
Dan ketika terjadi krisis finansial global melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia, kita dihadapkan pada satu kemungkinan, para pelaku bisnis kemungkinan besar akan kembali mengeruk keuntungan dengan mengembalikan grunge sebagai trend. Seperti yang dikutip dalam “Financial Crisis to Bring Back Grunge” sebagai berikut:
Bagaimanapun, saat krisis finansial seperti ini zombie grungers akan bangkit lagi. Semenjak semua orang berbelanja barang-barang bekas pakai, kita semua dalam waktu setengah tahun akan menjadi Kurt Cobain dan Courtney Love. Hanya dengan cara mengingatkan semua orang apa itu grunge sesungguhnya.
Situs sosial desantara.org menulis tentang peniruan budaya dalam komunitas grunge, sehingga dimanfaatkan oleh para pelaku pasar, sebagai berikut:
Di Indonesia sendiri pengaruh Nirvana tidak sedikit. Di tahun 1990-an banyak bermunculan celana sobek-sobek yang harganya lebih mahal dari celana yang tidak sobek. Sehingga saya sempat juga bertanya-tanya kenapa ada celana yang dari toko sudah sengaja dibuat sobek. Padahal celana kalau sobek sedikit saja tersobek maka akan dianggap cacat dan harus ditukar. Karena saya berasal dari keluarga yang awam tentang musik pertanyaan-pertanyaan itu hanya mengendap di kepala dan baru mendaptkan jawabannya.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana pelaku bisnis sangat jeli memandang pasar. Ketika celana sobek dianggap representasi dari anti kemapanan, pelaku bisnis (kapitalis) sendiri menciptakan cara bagaimana ideologi mereka terjembatani dan menghasilkan uang yang cukup banyak karena harganya memang lebih mahal. Kapitalis tidak peduli dengan ideologi. Yang penting bisnis lancar dan banyak menghasilkan keuntungan. Jadi kurang relevan kalau mempertentangkan sosialis dengan kapitalis berdasarkan ideologi. Pertanyaannya, siapa yang bodoh?
Dalam argumentasi sosiolog Jean Baudrillard (1970), aktifitas konsumsi dalam masyarakat kontemporer adalah aktifitas yang melibatkan manipulasi aktif atas tanda-tanda (signs), karena yang dikonsumsi kini pada dasarnya bukanlah objek-objek melainkan sistem objek-objek, sistem tanda yang menghasilkan kode-kode tertentu.
Tanda-tanda itu bisa juga diartikan sebagai simbol sebuah sikap perlawanan yang dari mana keterasingan mereka berasal. Menarik untuk disimak adalah pernyataan Ahmad Mujib yang menulis “Grunge Sebuah Jalan yang Beda” untuk situs sosial desantara.org sebagai berikut:
Berbeda dengan jenis aliran musik seperti pop ataupun dangdut yang tidak membutuhkan identitas khusus para penikmatnya, dalam aliran ini para penikmat senantiasa menggunakan identitas-identitas tertentu untuk membedakan dengan yang lainnya. Grunge senantiasa mengenakan celana jeans yang sobek-sobek, mengenakan kaos bergambar band favorit dan sweater, flannel,memiliki tatto yang tidak profesional.
Atas segala keterasingannya, komunitas grunge berusaha kuat ber”sikap gembira merayakan kontradiksi”. Mereka merayakan ke-tersisihan-nya dengan membuat ‘tanda-tanda’ bagi komunitas tersebut. Dimana ‘tanda-tanda’ tersebut seharusnya tak lebih adalah refleksi secara langsung atau kode atas pernyataan “aku bukan kalian!”
2. Pertumbuhan Komunitas Grunge di Indonesia.
Most “grungers” were rebels. They disliked society and media and didn’t trust large firms and corporations. (www.wikihow; grunge attitude)
Pertumbuhan komunitas grunge di Indonesia tidak terlepas dari dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung dari hegemoni komunitas. Kungkungan dan dominasi dari lingkungan sosial sekitar yang tidak mem’fasilitasi’ keunikan dari komunitas grunge, ditengarai adalah penyebab makin suburnya komunitas ini di Indonesia.
Seorang aktifis grunge F. Moses dari band Slip Tongue (Jogja) dan sekaligus drumer dari band Ballerina’s Killer memberikan alasannya memilih komunitas grunge adalah karena hegemoni komunitas. Aktifis grunge yang sehari-hari bekerja di Kantor Bahasa Pemerintah Provinsi Lampung ini, mengisahkan hal ini sebagai berikut:
“Saya memilih (grunge) cenderung pengaruh ke arah sosial–sosial yang berihwal dari hegemoni komunitas. Ketimbang Budaya, Psikologi, dan apalagi religius. Karena dari hegemoni komunitas, kepluralan dari tiap individu–bila boleh saya mengatakan sebagai manusia berpaham “grunge” (entah pemahaman yang bersetengah-setengah ataupun lebih)–dengan sendirinya, secara tak langsung, membawa energi budaya, religius, dan kejiwaan itu sendiri. Hal itu terjadi, barangkali, lewat proses kesewaktuan dan keseruangan mereka dalam sebuah komunitas itu sendiri; proses yang menjadikannya, tanpa disadari ataupun tidak. Semacam dari alam bawah sadar”.
Yang menarik untuk diketahui dan disimak, bahwa gelombang atau arus dari komunitas ini datang tidak dalam waktu yang bersamaan sebagaimana demam pada musik ska, punk maupun hardcore melanda Indonesia era akhir tahun 90an.
Komunitas grunge di Indonesia sempat mengalami pasang surut pasca kematian Kurt Cobain dan bubarnya Nirvana. Namun pasang surutnya komunitas grunge ini bagaikan burung phoenix yang mati membakar diri agar dia bisa suci dan hidup kembali dalam keabadian.
Yana Hermina mengibaratkan tentang hal ini sebagai sebuah siklus dalam tulisannya “Siklus Kematian Rock Mainstream” dalam blognya: http://threefoldzine.890m.com/articles_siklus.html sebagai berikut:
“Berlanjut ketahun berikutnya yaitu 90an..Yup!! adalah grunge, membahana didaratan amerika sana..intinya adalah kebosanan melihat Janet Jackson atau George Micheal yang menjadi langganan Top Ten Chart di MTV..kemudian secara tiba-tiba lagi “Smell Like Teen Spirit” dari Nirvana menjadi Headline waktu itu, fantastic emang!! Merasakan bahwa Rock kembali bisa menguasai dan tidak mau kalah dengan Pop kebanyakan..tapi Ironisnya! Hanya bertahan beberapa tahun, Kurt cobain tewas bunuh diri, dan menandakan bahwa Grunge pun telah “mati”. (dalam tanda kutip karena sebenarnya masih ada Pearl Jam atau Sonic Youth. Hehehe..) tapi tetap!! The Real Grunge datangnya dari Nirvana..”grunge born with Nirvana, grunge die with Nirvana”.
Sebuah situs http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0609/22/jogja/28966.htm menuliskan tentang perkembangan pasang surut komunitas grunge di yogyakarta dalam tulisannya MENGAPRESIASI KEBISINGAN “GRUNGE” sebagai berikut:
Dua belas tahun setelah meninggalnya Kurt Cobain, Nirvana masih menjadi acuan bermusik bagi generasi muda saat ini. Nirvana yang dinilai merevitalisasi musik punk dan rock n roll ini membuka wacana baru melalui musik mereka yang keluar dari harmoni musik. Musik mereka setia dengan bunyi distorsi gitar dan bas sepanjang lagu, beat yang nyaman di telinga berubah cepat dan bising, kemudian melambat, cepat lagi, dan mendadak selesai.
Ketidakteraturan ritme dan harmoni itu akrab di telinga penggemar musik grunge, melalui lagu Smells Like Teen Spirit dalam album Nevermind (1991). Album ini mendongkrak popularitas Nirvana dan musik grunge-nya.
Di Yogyakarta, lagu ini menjadi semacam lagu wajib dalam pentas band-band amatir dan bertahan hingga tahun 1995. Lagu-lagu Nirvana kemudian mulai jarang dipentaskan, tetapi spirit bermusik mereka tetap menyala di hati anak-anak muda.
Peristiwa mengenai dilahirkannya sebuah budaya dan kemudian budaya tersebut tidak lantas mati dalam hal ini setidaknya ditemukan dalam penjelasan mengenai”HakekatKebudayaan”(indobudaya.blogspot.com/2007/11/ilmu-budaya-dasar.html) sebagai berikut:
Hakekat Kebudayaan: Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia. Kebudayaan itu ada sebelum generasi lahir dan kebudayaan itu tidak dapat hilang setelah generasi tidak ada
Jc dari band Silentium/Potpuri menuliskan tentang peristiwa “muncul-mati-melegenda” dalam grunge sebagai berikut:
suka atao ngga..bila kamu bicara grunge as a genre of rock music.. ternyata..memang grunge jadi bagian sejarah dari rock music dunia..tapi kalo mau lebih dalem pertanyaannya..apakah grunge adalah sebuah sikap ? gw jawab ya..dan grunge menjadi sebuah sikap ketika loe mau melepas grunge dari atribut trendisasi atau ingin mengembalikan trend era grunge/seattlesound sebagai sebuah selebrasi kacangan yang tak lebih dari kebusukan industri dan keparat-korporat..atao orang-orang frustasi yang menyesali kenapa Kurt Cobain mati..kenapa grunge tidak “happening” lagi..
“kedalaman” grunge ga hanya bisa loe liat saja sebagai Nirvana..sebagai Pearl Jam..sebagai Mudhoney..sebagai Soundgarden..atau malah bahkan sebagai ben cacing-cau lain (yang merasa musiknya adalah grunge)..tapi kalo gw pribadi melihat grunge sebagai sikap yang anti-kemapanan (dengan identitas budaya tahun 90-an)..kenapa gw bilang identitas tahun ’90-an, karena pada tahun-tahun itulah semuanya berawal dan gilanya pada tahun-tahun itu pulalah grunge (baca: as trend of music and fashion) mengalami “kematian”nya karena berbagai hal (yang sepertinya sengaja dibuat oleh kapitalisme musik dunia)..tapi tetap melegenda dan seperti “cacat tubuh” yang tak pernah bisa dihilangkan oleh orang-orang yang saat itu hidup-tumbuh-dan berproses sebagai seseorang yang menjalani kehidupan, kecemasan, dan keniscayaannya.
Penulis mencatat setidaknya telah terjadi empat gelombang besar yang datang saling menyusul satu sama lainnya, dan diantaranya sangat berkaitan erat. Beberapa gelombang datang dan berkembangnya grunge terjadi antara lain, sekitar:
- Gelombang Pertama Saat Nevermind Awal 90an
Gede Robi Supriyanto, biasa dipanggil Robi Navicula menuturkan tentang gelombang pertama generasi grunge Indonesia ini sebagai berikut:
“Nah, ini buat penggemar grunge lawas yang pernah mengalami dan menikmati masa-masa awal munculnya grunge. Trend global ini mempengaruhi generasi tersebut. Membekas dan berkarat, dibawa seumur hidup, hingga keliang kubur.”
Navicula sendiri didirikan tahun 1996 di Denpasar, Bali oleh dua aktivis musik: Robi dan Dankie. Setelah beberapa kali ganti personil di tahun-tahun awal band ini dibuat, formasi terkini adalah: Rob (vokal, gitar), Dankie (gitar), Made (bass), Gembull (drum). Nama Navicula diambil dari nama sejenis ganggang emas bersel satu, berbentuk seperti kapal kecil (dalam bahasa Latin, Navicula berarti kapal kecil). Band ini mengusung grunge sebagai warna dasar musik mereka, berpadu dengan beragam warna etnik, psychedelic, alternatif, progresif, dibalut rock murni. Liriknya sarat dengan pesan aktivisme dan semangat tentang Damai, Cinta dan Kebebasan.
Navicula dikenal aktif di dunia indie musik, walau sempat kontrak dengan major label Sony-BMG di tahun 2004. Bersama Sony-BMG, Navicula merilis album ke-4 mereka yang berjudul, Alkemis. Namun, tahun 2007 album ke-5 mereka, Beautiful Rebel, dirilis secara independen dan band ini kembali mengobarkan semangat idealisme mereka melalui jalur indie. Navicula bermarkas di Bali dan tetap eksis di dunia musik nasional meski berjuang di jalur indie. Sejak launching album ke-5, Navicula sudah mulai mengadakan promo tur ke daerah Jawa.
Beberapa band grunge maupun aktifis komunitas ini mengaku, perkenalannya dengan musik grunge dipicu oleh munculnya video Smells Like Teen Spirit band Nirvana dari album Nevermind. “Pencerahan” dalam bermusik ini diawali dengan euphoria video tentang segerombolan pemuda-pemudi dalam suasana chaos, Cheerleaders yang memakai baju dengan lambang anarkhi. Seperti yang dikatakan oleh Jimmie Mahardhika dari band Seek Six Sick Jogja dalam sebuah wawancara dengan penulis melalui email: “SMP kelas 2, waktu itu Nirvana ‘Smells Like Teen Spirit’”. Dalam kalimat lain, namun artian yang sama, Mahesa Agung aka Dede gitaris band Noise! Palembang, mengatakan tentang periode perkenalannya dengan grunge sebagai berikut, “saat duduk di kelas 2 SMP, yang saya tau saat album Nevermind keluar”
Tentang bagaimana grunge bisa diterima pada awal tahun 1990an, Aris Setyawan menulis dalam blognya sebagai berikut:
Kenapa grunge begitu mudah diterima kala itu? Kenapa genre ini akhirnya baru bisa masuk mainstream pada awal tahun 90-an? Padahal sebenarnya bukankah genre ini sudah muncul dan tercipta cukup lama sekitar tahun 80-an ketika Mark Arm dari band Green River mengenalkannya kepada publik Seattle. Pada tahun itu pula band-band yang menggaungkan grunge semakin menjamur di kota asalnya Seattle. Tapi pada tahun itu pula grunge tak pernah bisa masuk mainstream karena kalah pamor dengan Metal dan glamrock yang sedang digandrungi saat itu. Menurut asumsi Saya grunge bisa diterima pada awal 90-an karena itu adalah momen yang tepat. Kondisi dunia yang sedang kacau balau, banyak orang frustasi, perang Teluk.
- Gelombang Kedua, Adalah Gelombang Kemunculan Grunge di Indonesia Yang Paling Hebat.
Terjadi pada 1994-1995 hingga akhir 90an. Saat MTV menayangkan Nirvana-Unplugged in New York dan dilanjutan dengan berita kematian Kurt Cobain yang dramatis.
Seperti pengakuan Andre Sitompul dari band Shockbreaker (Jakarta), dia memaparkan bagaimana musik grunge dia dengar pertama kali saat album Unplugged in New York, dan kemudian musik tersebut merubah arah musikalnya, sebagai berikut:
“Dari kecil sebenarnya saya kurang tertarik dengan musik, abang saya dulu musiknya Bob Marley, HIP HOP House of Pain, Kris Kross, dia sering stel musik di kamar.
Sampai Guns n Roses & Metallica, sumpah saya tidak tertarik dgn musik-musik itu.
Tapi waktu abang saya beli kaset NIRVANA Unplugged Live in New York , saya merasa sesuatu yg beda, di dukung waktu itu MTV masih ada di ANTV.
Dan saya benar-benar suka musik ini.. dan saya baca-baca majalah pada waktu itu Nirvana jenis musiknya Grunge, (nama yg aneh) sampai akhirnya mendengarkan Pearl Jam dan lain-lain.
Tapi tetap saja Nirvana lah yang the best di kuping saya.”
Kebanggaan scene grunge pada era ini, berlanjut ketika band grunge Jakarta, Toilet Sound memenangkan sebuah kontes tingkat Asia/Internasional yang diadakan MTV. Suara serak parau Petrus vocalis Toilet Sound, menyanyikan reffrain “ngga jelasss…. ngga jelasss”. bergema di seluruh radio tanah air.
Hampir semua band grunge membawakan lagu-lagu Nirvana dalam tiap acara musik. Sedikit sekali band grunge yang membawakan lagu dari band selain Nirvana, apalagi lagu sendiri. tercatat ada beberapa band grunge yang mencoba tampil beda. beberapa diantaranya Spidol yang membawakan Stone Temple Pilot, Konsleting Kabel yang membawakan lagu-lagu Pearl Jam dan Alice in Chains, serta band-band yang membawakan lagu-lagunya sendiri semacam Klepto Opera, Navicula, Bolong, Seek Six Sick, Snorg, dan lain-lainnya.
Sikap Nirvanaisme yang kental pada era inilah, yang dituding sebagai salah satu biang ketidak suksesan sebuah acara Rock Alternatif di Jakarta pada pertengahan tahun 90an, meskipun bintang yang ditampilkan adalah Sonic Youth dan Foo Fighters.
Gelombang kedua yang bombastis ini berkelanjutan dengan dimulainya gelombang ketiga dimana era grunge non-Nirvana mulai berkembang pesat.
- Gelombang Ketiga Sekitar Akhir 1990an Sampai Awal 2000an/Mulai Merebaknya Musik-musik Noise.
Ahmad Mujib menuliskan untuk desantara.org bahwa komunitas dari berbagai daerah mulai menunjukkan eksistensinya pada era ini, sebagai berikut:
Sedang di indonesia anda akan menemukan Kram (Padang), Stupid Zero (Medan), Noise! dan Gerbong 77 (Palembang), Jerami (Semarang), Struk (Cirebon), Lombok Ijo (Yogyakarta), Klepto Opera (Surabaya), Scope be Due (Pasuruan), Navicula (Bali), Bolong (Tangerang). Silver Queen (Lampung), Snorg (Bandung), Virgin (Bekasi), Trotoar (Sukabumi), Grumble Grunt (Malang), Demolish Therapist (Solo). Di daerah Jakarta bisa anda temukan sederetan band, seperti Toilet Sound, Daily Feedback, Sajama Cut, Bavet, Nir X, Seventh Heaven.
Salah satu band pionir musik noise lahir di era ini dari kota Yogyakarta, bernama Seek Six Sick, tepatnya pada tanggal 28 oktober 1999, sebagai kelanjutan dari project session dua orang: Soni, dan Jimmy yang berkolaborasi mencari identitas. Keduanya, berasal dari grup yang berbeda. Soni dari Boor (emo-core), dan Jimmy dari Kowena (reagge). Dan sepakat membentuk sebuah group session bernama Experimental Jet Set, digawangi oleh Soni, Jimmy, Didit, dan Mas Bg. Band ini menetapkan konsepnya dengan hanya sekali rekaman, dan sekali pentas, tanpa pernah latihan, lalu membubarkan diri. Musik yang mereka usung waktu itu, masih sangat tidak teratur, benar-benar bising, dan spontanitas. Beberapa bulan setelah itu, Jimmy dan Sony membuat band yang lebih terkonsep, bernama Seek Six Sick. Yang merupakan sebuah pelampiasan kejenuhan, atas musik-musik yang pernah didengarkan, dan dimainkan. Plus ingin mencari celah untuk bermain yang lebih menyenangkan, dengan cara: dalam bermusik mereka mencoba membebaskan fungsi alat musik, dan membebaskan aturan aturan standar memainkan musik.
Sebuah acara grunge dengan ide melibatkan band-band dari seluruh Indonesia untuk pertama kalinya digelar pada tanggal 7 Juli 2002, dengan tujuan mempersatukan seluruh band dan komunitas grunge dari berbagai daerah tersebut untuk tampil dan berkumpul dalam satu gig. Acara bertajuk “DIY Grunge Still Alive” diprakarsai oleh Hardiansyah Suteja aka Doyok dari Imigrunge Records Blok M, ini rencananya diadakan di Nirvana cafe (Basement Hotel Maharaja) tetapi karena kendala hal-hal bersifat teknikal maka acara dipindah ke Parkit cafe jalan Sabang, dan ironisnya pihak manajemen Parkit cafe tidak mau bertanggung jawab atas kesepakatan pemakaian tempat yang telah disetujui oleh mantan manajer mereka. Acarapun dipindah mendadak ke cafe Madona yang masih berada di seputaran lokasi tersebut. Dilihat dari segi manapun, acara tersebut sangat kacau balau. Akan tetapi, semangat membara dari semua band dan komunitas berbagai daerah yang datang benar-benar adalah sejarah yang layak untuk diingat. Betapa pada hari itu, jalan Sabang tertutup rapat oleh kumpulan ribuan anak-anak muda berbaju lusuh, penampilan kumal, dan memakai flanel.
Beberapa saat setelah itu, Bango dari band Kucing Dapur mengadakan acara dengan tema serupa bertajuk “Shit Happened” di Nirvana cafe (basemen Hotel Maharaja) sebuah acara yang dikemas dengan rapi. Namun semangat persatuan antar komunitas itu telah jauh berkurang.
- Gelombang Keempat Mulai Pertengahan Tahun 2000an
Tidak selamanya gelombang band grunge yang datang belakangan tidak sehebat dibanding pendahulunya, seperti yang tertulis dalam desantara.org. sebagai berikut:
Dari uraian di atas, kira-kira asumsi bahwa hanya Nirvana representasi dari grunge tidak sepenuhnya benar. Nirvana hanya kelompok kecil dari sekian grand narrative dari grunge itu sendiri. Nirvana sendiri generasi belakangan dan jauh dari cikal bakal grunge itu sendiri, Seattle Namun setidak-tidaknya kita tahu bahwa ditangan Nirvana musik grunge menemukan momentumnya. Dan mereka yang tahu grunge juga dipengaruhi oleh kemunculan Nirvana. Dan factor lain yang tak kalah penting adalah usaha para pelaku bisnis rekaman yang mempopulerkan Nirvana.
Namun bukan berarti generasi penerus tidak lebih kalah hebat dengan pendahulunya. Setiap generasi punya karakter dan kegigihan masing-masing. Siapa yang gigih dialah yang akan mendapatkannya. Dan tuhan pun-konon ceritanya-akan memberikan sesuatu berdasarkan hasil usahanya.
Yang datang belakangan, datang dengan energi baru,semangat membara, dan dengan didukung oleh media serta sarana informasi yang lebih banyak, tak heran jika pengetahuan tentang grunge generasi pada gelombang ini bisa jadi lebih banyak, melebihi band-band pendahulunya
3. Pemberontakan Terhadap Kemapanan
Sebagai komunitas yang terpinggirkan, maka grunge juga merupakan media perlawanan. Grunge melawan apapun yang telah menjadi pakem, atau penilaian standar. Baik dalam hubungan standar dalam lingkungan masyarakat, maupun bahkan melawan dari standar “hukum” musik yang telah baku. Situs desantara.org menggambarkannya sebagai berikut:
Tentang perlawanan yang digembar-gemborkan oleh grunge, penulis menangkap perbedaan “arti” kata tersebut dari definisi konvensional yang ada. Jika dalam makna konvensional perlawanan senantiasa berkonotasi dengan perseteruan atau peniadaan dengan sesuatu yang dilawan, perlawanan disini justru bukanlah peniadaan pada apa yang dilawan, namun perlawanan adalah proses pencarian makna yang berbeda atas segala sesuatu dari definisi konvensional.
Beberapa hal yang penulis temukan dari perlawanan tersebut antara lain, cara yang berbeda dalam mendefinisikan tentang arti indahnya musik, arti keteraturan hidup, dan tentunya perlawanan terhadap sebuah kemapanan.
Tentang arti indahnya musik, kelompok ini mempunyai pengertian yang berbeda dengan definisi konvensional. Bila dalam definisi konvensional makna indah dalam musik selalu identik dengan merdunya bunyi serta munculnya suasana rileks, grungies justru beranggapan lain, bukan indah dalam arti merdu yang mereka cari, tapi indah berarti keras. Pada setiap penampilannya band-band grunge biasanya meninggikan storing/feedback. Alasannya, karena pada saat musik dikeraskan disitulah musik mampu memompa adrenalin dalam tubuh kita yang implikasinya memunculkan semangat pada setiap pendengarnya.
Lirik sebagai bagian dari musik yang paling penting, oleh beberapa kelompok tertentu dalam grungies justru kurang diperhatikan. Cobain, seorang tokoh dalam aliran ini menyatakan, “saya tidak begitu peduli soal lirik, saya tokh tidak pernah memperhatikan sebuah lagu karena liriknya”. Inilah musik, inilah pemberontakan, dan inilah kami para grungies.
Matinya pertanda, itulah kira-kira yang bisa kita baca dalam menangkap perilaku grungies ini. lazimnya sebuah musik, didalamnya senantiasa berpadu antara musik dan lirik. Lirik yang terdiri dari kata-kata selalu mengandung maksud atau pesan yang ingin diutarakan oleh penyanyi. Ketika seseorang mendengar lantunan lagu dari penyanyi, pada saat itulah seseorang mulai menangkap kata hati sang penyanyi, apakah penyanyi lagi gembira atau terluka, atau justru berusaha memberikan semangat kepada kita terlihat dengan jelas pada lirik lagu yang dibawakannya.
Mengacu pada pernyataan Cobain diatas, tampaknya suara lagu sebagai penanda yang seyogyanya mengandung maksud berupa “aspek mental” untuk dikomunikasikan kepada audiens, ditiadakan. Adalah kata yang terlontar dari mulut penyanyi mulai dikeraskan dan disamarkan. Disinilah pendengar tidak lagi mencari “maksud” syair sebagai pertanda, karena suara sebagai sebuah penanda tidak lagi mengandung “maksud”, namun “suara” sebagai penanda telah menandai dirinya sendiri. dan pada akhirnya bukan pesan yang dicari dalam grunge, tapi kesan yang berpacu dengan denyut jantung dan rasa yang tak terdefinisikan lagi.
Dalam diskusi tentang grunge di sebuah Mailing List, Andre Eijkov dari Klompen Enterprise menuturkan tentang hal ini sebagai berikut:
Pas masih di Malang, saya pernah ngobrol sama orang Jerman, dia anak punk, dan dia ngomong terminologi “grunge” itu berasal dari bahasa Jerman yang berarti “babi” dan kemudian dipake jurnalis inggris untuk mengidentifikasi musik Seattle Sound pada waktu itu, dikarenakan gaya hidup dari para musisinya yang bohemian abis … banyak orang ngomong grunge itu rebelious, pemberontakan, anti keteraturan, et ce te ra et ce te ra, tapi dari beberapa kali saya ngobrol secara personal sama anak-anak grunge di Malang, di Solo [Sporadic Bliss], di Surabaya [lupa sapa], di Jakarta Timur, di Bekasi … mereka gak ngerasa ngeberontak atau apapun dari atribut atribut itu. mereka sebenarnya anak2 yang pengen hidup normal, diterima dalam kehidupan normal, tapi gak pernah bisa, dan ketika mereka udah menjalani kehidupan kayak orang normal [menikah, berkeluarga, dll], tetep aja secara personal, secara soul mereka masih ngerasa gak normal. ya cuman sekedar share beberapa hal kecil aja sih soal grunge … gak tau ya untuk beberapa kalangan grunge mungkin ini yang saya bilang ini bisa jadi gak benar [karena beda orang beda sistem, dalam 1000 kepala anarkis terdapat 1000 pemikiran anarkis]
kerusuhan kerap kali terjadi dalam gigs underground gak peduli itu punk, HC atau grunge … karena energi dan kemarahan dalam anak anak itu besar sekali, dan mereka butuh tempat pelampiasan, namun yang sering terjadi adalah bentrokan horizontal kecil, yang berbuah riot dan chaos dan kerusakan properti … bahkan tidak jarang nyawa melayang [penusukan, keroyokan, tawuran, dan lain-lain] … believe me, saya dulu sering ngalami hal hal raw itu, tapi saya gak pernah benci sama hal hal raw, karena ngapain … membenci cuman buang2 energi aja … bahkan sekarang kadang saya suka merindukan masa masa raw itu, ketika masih moshing berbuntut tawuran, mabuk berbuntut konflik, dll, karena kayaknya hal itu lucu aja hehehehe … suatu hal bodoh tapi cukup lucu untuk dilakukan …
Dan saya sih masih salut sama mereka yang dibesarkan di underground [punk, HC, metal, grunge, underground pop, etc] dan ketika udah gak bisa aktif di scene karena berbagai hal [kerja, keluarga, dan lain-lain], mereka dalam hatinya masih tetap punya soul underground itu …
itu ngebuktiin mereka masih gelisah sama yang namanya hidup … dan itu tandanya mereka masih hidup … mereka gak make underground cuman sebagai atribut eksistensi masa remaja doang [atau bahkan sekedar nyari duit aja].
Selain pemberontakan terhadap kemapanan “hukum” musik seperti yang dipaparkan diatas, sejarah perkembangan grunge Indonesia juga diwarnai peristiwa menarik, yaitu pemberontakan atau juga sikap pengingkaran terhadap kemapanan dan maraknya Nirvanaisme (sebutan untuk orang-orang yang bersikap Closed Minded, dan bersikukuh bahwa grunge hanyalah Nirvana).
Seorang aktifis grunge dari band Cirebon, menuliskan dalam angket responden tentang sikap anti Nirvanaisme ini sebagai berikut:
“GRUNGE itu NIRVANA yah? Fuckin NIRVANAISME.. Betapa bodohnya orang jika mengaku GRUNGE itu NIRVANA.. Siapa sih kita sebenarnya? Apa yang kita inginkan? Apa yg kita miliki & apa yg kita sukai? Mana yg baik & mana yg buruk untuk kita sendiri? apa sih prinsip yang kita miliki,falsafah yang kita anut dan keyakinan yang kita Punya? Hanya kita yang Tahu jawabnya.. be your self aja ah”
Lebih lanjut, F. Moses menceritakan tentang “Berontak dari Budaya Nirvana(isme)” sebagai berikut:
“Apakah itu “Grunge”? Mau apa di “Grunge”? Siapa biang kerok, asal muasal si musisi “Grunge” itu sendiri? Rasanya tak perlu di jawab di sini. Semua kembali dari si pelaku yang mengatasnamakan bahwa saya menyukai–bahkan bermain (memainkan musik “Grunge” milik musisi itu) si entah kelompok siapa itu; sebut saja Nirvana: grup band dari Seattle, Amerika serikat, yang terkenal dengan aliran grunge. Band ini memiliki banyak pengikut di Indonesia terutama komunitas musik underground. Nirvana terdiri dari Krist Novoselic, Kurt Cobain, dan Dave Grohl. Band ini bubar setelah Kurt Cobain bunuh diri pada tahun 1994.
Dari situlah, sebelum maupun setelah kematian Kurt Cobain, kecenderungan terhadap Nirvana mulai meradang. Euforia panggung dalam kancah grunge di negeri ini menjadi tak sedap tanpa membawakan musik Nirvana. Nirvana-kah pencetus grunge? Nirvana-kah yang mengganggu jiwa kalian? sekali lagi, rasanya tak perlu lagi saya bahas di sini.
Sepengetahuan saya, selama acara beratribut grunge itu ada; entah di Yogya, Solo, Surabaya, dan Ungaran selalu saja ingar-bingar oleh musik milik Nirvana menjadi di atas rata-rata. Ya, memang, siapa saja boleh mengusung Nirvana. Dan tidak ada salahnya, Apalagi larangan.
Akan tetapi, ironisnya, budaya Nirvana(isme) menjamur–barangkali mentradisi. Jika sudah demikian, di manakah pemberontak (memberontak atas Nirvana)? Apakah legitimasi grunge itu sendiri dari Nirvana? akhirnya, para pencinta grunge pun bersikap: bahwa grunge itu tidak melulu Nirvana. Lantas seperti apa? inilah persoalan kita. Persoalan selayak dan sepantasnya kita renungi.
Berangkat dari olah bermain musik–barangkali untuk masalah satu ini semuanya sepakat–terutama instrumen gitar: kecenderungan menjadikan instrumen satu ini minimalis melodi (bukan berarti tanpa melodi) dan bersuara kasar (efek terdengar parau). Barangkali itulah kecenderungannya. Lainnya, dapat kalian bayangkan: gabungan atas jeritan “Heavy Metal” dan “Punk”, sebuah gabungan yang dipercayai oleh kelompok musik Nirvana. Dan rasanya tak hanya Nirvana yang demikian; melainkan kelompok musik Mudhoney.
Satu hal lagi–jika boleh kita mempercayai–tak hanya Nirvana maupun Mudhoney, melainkan masih banyak kelompok musik lain; sebut saja The Melvin, Pearl Jam, Alice In Chain, Soundgarden, dan Silverchair. Dan barangkali masih banyak lainnya yang tak bisa saya sebutkan.
Di manakah pemberontak? barangkali ialah mereka yang tak lagi melulu memainkan kreativitas milik Nirvana, melainkan kelompok musik lain–tentunya tetap pada spirit grunge. Bahkan kreativitas milik sendiri sekalipun. Bagaimana dengan kelompok musikmu?”
4. Penciptaan Media Massa/Komunitas
Beberapa media baik media besar maupun indie ramai mengulas tentang grunge sebagai sebuah fenomena, Rezki Perdana menuliskan pengalaman menariknya dalam sebuah Mailing List:
Gue dulu pernah menulis artikel soal how sux the gunge gigs are di BRAINWASHED Vol 7 tahun 1999 lalu. Terpaksa acara-acara grunge gue kritik habis-habisan karena gigs grunge yang ada di Jakarta tak pernah merepresentasikan grunge itu sendiri. Kebetulan contoh yang ada di artikel gue itu adalah satu gigs di Jakarta yang dibuat oleh komunitas grunge “Baso Underground” . Gue lupa nama gigsnya tapi yang pasti sangat tak merepresentasikan grunge itu sendiri, karena 51 band yang ada semuanya band cover dan 99,9 % mereka mengcover lagunya Nirvana. Hanya ada satu band yang ngebawain Pearl Jam. and none of them play their own song. Kualitas soundnya jeleeek abis ( tapi bagi gue siiy banyak gigs punk yang soundnya jeleek abis, tapi gue masih enjoy aja karena mereka playing their own song). Di salah satu alinea tulisan gue itu gue jelaskan kebingungan gue terhadap komunitas grunge di Jakarta, karena mereka tak pernah mengksplorasi siapa-siapa saja siy yang Seattle Sound ituhh. Kenapa mereka hanya berkiblat pada Nirvana saja.
Masih banyak band-band grunge lainnya yang bisa jadi kiblat seperti Mother Love Bone, Green River, Melvins, U-Men dan banyak lagi yang bisa membuat scene grunge di Jakarta beragam.daripada ratusan band grunge di Jakarta kemudian berbaju seragam Nirvana semua. Gue kemudian kritik acara itu dengan judul Nama acara itu ( aduuh gue lupa namanya apa) kemudian gue beri pertanyaan dengan “Grunge Gigs atau Nirvanaisme? “. Setelah BRAINWASHED Vol.7 terbit, gue kemudian dicari-cari sama anak-anak grunge buat digebukin, yang paling parah lagi, anak-anak “Baso Underground” itu nongkrong di Paseban yang cuma seberang-seberangan dengan Jalan Kenari, Salemba. Jadilah gue ndak berani berseliweran di Paseban atau gue bonyok digebukin hehehehehehehe. …… Waktu itu gue juga sempat wawancarain anak-anak Toilet Sound, tapi sepakat gak dinaikin karena dianggap kurang menarik. Lebih menarik menyorotin scene grunge di Jakarta yang stagnan gara-gara mereka sendiri tak banyak tahu soal grunge. Padahal pada waktu itu untuk mendapatkan CD or kaset grunge itu jauh lebih gampang ketimbang ngedapetin HC/Punk stuff. Karena label-label grunge seperti Sub Pop sedang “kawin” dengan Geffen Record,sehingga distribusi album band grunge jauh lebih mendunia ketimbang HC/Punk.
Gue sendiri selalu tertarik membahas grunge, karena gue sendiri pernah menjadi “pelaku” grunge waktu SMA di kampung halaman gue Medan. Waktu itu gue punya band yang namanye “Bioduta”. namanya begitu karena semua personilnya anak bio SMAN 2 Medan. Waktu itu tahun 1993, grunge lagi naik daun, dan kita cover abisss semua lagu Nirvana. Sampai akhirnya pada tahun 1994 kita agak mengubah haluan dengan mulai mengcover Smashing Pumpkins ( waktu itu album barunya Siamese Dream) dan Radiohead ( tentunya creep heheh, karena waktu itu yang baru nongol album “Pablo Honey”). pada 1995 sebelum gue berangkat kuliah ke Jakarta, kita masih sempat ngebawain Hig and Dry-nya Radiohead. ahhh, gue jadi nostalgia neeeh….
Atas sikap pembelajaran bahwa grunge tidak hanya Nirvana, maka pada sekitar tahun 1998an, penulis menerbitkan newsletter fotocopian bernama ”Bangku Taman”. Newsletter yang hanya bertahan tiga edisi ini, ikut turut serta menjadi bagian dari sejarah perkembangan grunge tanah air. Kata-kata dalam newsletter tersebut sering dikutip untuk berbagai kepentingan dan berbagai tulisan.
Beberapa newsletter grunge yang terbit setelah itu antara lain adalah:
Akal Sehat Jiwa Sakit newsletter, Bad Family zine, Langkah Berkarat newsletter, Nora’ newsletter, Ludruk grungezine, Bebas dari Rasa Sakit (un)grunge Media, Kolongrunge Newsline, Sudut Jalan newsletter, Grunge Yard newsletter, dan lain-lain.
Beberapa media internet atau biasa disebut dengan webzine yang berbasis musik grunge mulai bermunculan diantaranya: thegrunge.tk, soundgrunch.tk. totalfeedback.com. Tetapi pada perkembangannya, hanya totalfeedback.com yang dikelola oleh Moch. Hariry aka Egy (gitar-vocal band the Bolong dan Shockbreaker) satu-satunya yang masih mampu bertahan dari akhir tahun 90an hingga saat ini.
Situs: www.totalfeedback.com terbentuk pada 29 agustus 2001, didasari alasan pada waktu itu sangat susah untuk mendapatkan info tentang grunge khususnya indonesia (lokal) di internet, dan tercetuslah ide untuk membuat suatu directory khusus tentang grunge yang didedikasikan untuk anak-anak grunge yang tersebar di indonesia. setidaknya dengan adanya TotalFeedback ini semua anak-anak grunge di seluruh indonesia dapat mempromosikan bandnya atau komunitasnya di TotalFeedback. Dan ternyata TotalFeedback adalah satu-satunya media yang membahas khusus tentang grunge di Indonesia. dan sampai sekarang masih terus eksis mendukung acara/band lokal. Egy memberikan alasan khusus membuat webzine atau yang lebih dikenal dengan majalah online karena sepertinya lebih efektif, efisien, luas dan menjangkau semua orang yang sebelumnya tidak pernah kita kenal dibandingkan fanzine/zine dalam bentuk cetak.
Dalam mengelolanya pun lebih mudah, webzine dapat kita update kapan saja dan dimana saja dengan menggunakan program php yang kita buat, jadi tidak tergantung pada harddisk atau disket. Dimana saja kita dapat info, dapat kita submit langsung melalui warnet.
5. Sifat Kedaerahan/Lokal di Dalam Komunitas.
Berbicara tentang komunitas grunge di Indonesia pada akhirnya akan menyentuh sebuah komunitas yang majemuk, titik akhir dari permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seberapapun kuatnya komunitas grunge antar daerah ini bersatu, mereka masih terbawa dan terikat dengan adanya sifat kedaerahan/lokal yang kental.
Apologia dari sifat kedaerahan/lokal komunitas grunge tentu saja tidak bisa disama ratakan dengan berbagai komunitas di Indonesia, komunitas pecinta motor umpamanya, atau juga Slanker, komunitas pecinta grup band Slank.
Untuk lebih detailnya, kita bisa lihat akar permasalahan tersebut dengan mulai dari berbagai definisi tentang komunitas (kelompok) seperti yang tertulis dalam buku “Dinamika Kelompok” (Dr. Slamet Santosa, M.Pd.; 2006), sebagai berikut:
Menurut French, kelompok (komunitas) terdiri dari:
- Kelompok terorganisir, adalah kelompok yang menunjukkan secara tegas lebih memiliki kebebasan sosial, perasaan kita, saling ketergantungan, kesamaan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok, motivasi, frustasi, dan agresi terhadap anggota kelompok lain.
- Kelompok tidak terorganisir, adalah kelompok yang sedikit sekali kemungkinan bahwa individu akan dipengaruhi oleh apa yang dikerjakan oleh orang lain.
Dilihat dari definisi tentang komunitas seperti diatas, maka grunge mencakup kedua jenis kelompok seperti tersebut diatas: kelompok terorganisir sekaligus juga kelompok tidak terorganisir.
Hal ini mungkin terjadi, karena terlalu majemuk dan luasnya komunitas grunge, antara satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai kepentingan dan tata cara komunitas tersendiri yang kemungkinan tidak bisa diterapkan didaerah lainnya. Dan sebagai bagian dari kedua definisi tentang grunge diatas, grunge berkembang menjadi sebuah komunitas besar yang tidak terorganisir karena tidak adanya unsur pimpinan dalam komunitas tersebut. Baik kepemimpinan dalam sekala nasional atau bahkan dalam komunitas kedaerahan/lokal sekalipun. Hal inilah yang menjadi pembeda signifikan dibandingkan dengan komunitas-komunitas lain. Komunitas pecinta motor atau Slankers, misalnya, mereka mempunyai unsur kepemimpinan, struktur organisasi yang jelas, dan program-program yang terarah demi majunya komunitas tersebut. Komunitas seperti ini meskipun berawal dari struktur kedaerahan, mereka menuju ke satu arah, dimana terdapat semacam pimpinan pusat, yang menjadi dasar kemajuan setiap agenda maupun gerakan komunitas tersebut.
Ada baiknya terlebih dahulu kita melihat betapa pentingnya pimpinan bagi kemajuan sebuah komunitas, berikut ini:
- Menurut Gustave le Bon, dalam penyelidikannya terhadap massa, Gustave le Bon menemukan pula hal kepemimpinan, yaitu suatu kekuatan yang merupakan pusat dari segala kegiatan massa. didalam situasi massa maka individu-individu bergerak/berkegiatan yang terarah pada suatu tujuan tertentu, walaupun individu-individu tersebut hanya sebagai pendukung kegiatan tersebut.
Dengan demikian, ada individu yang berhasil untuk mengarahkan dan menggerakkan individu-individu lain sebagai pendukung kegiatan. Individu inilah yang kemudian disebut sebagai pimpinan.
Segala tingkah laku dari pimpinan yang kemudian dapat memberi pengaruh kepada individu-individu lain disebut dengan kepemimpinan, yaitu suatu daya besar dapat memberikan kehidupan kepada yang dipimpin.
Dari uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan betapa pentingnya peranan “pimpinan” dalam kemajuan suatu komunitas. Pimpinan menjadi pusat tumpuan pergerakan yang jauh lebih terarah, fokus, dan terprogram. Hanya dengan program-program yang jelas, dan terarah itulah suatu komunitas akan berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Pimpinan tidak hanya berarti dalam skala sempit, yaitu individu atau seseorang, akan tetapi dalam hal ini ia bisa berupa, satu tempat, atau satu wadah yang menaungi segala pusat kegiatan komunitas.
Komunitas grunge di Seattle maju karena adanya Sub Pop. Satu records kecil yang menjadi segala pusat pergerakan komunitas disana. Semua musisi bergerak kearah dimana Sub Pop berencana menentukan langkahnya, mereka maju bersama dalam satu cita-cita. Demi membuat besar dan diakuinya komunitas Seattle ke seluruh penjuru dunia. Dan ini, berhasil.
Beberapa records dan “production” di Indonesia memang telah dibentuk dalam rangka pergerakan komunitas ini, tetapi baru dalam skala yang kecil, teramat sangat kecil. Album-album kompilasi memang telah bertaburan dirilis, antara lain: Grungee Jumping, Grunge Become United, Noise v.s. Noise, Kompilasi Surabaya Grunge Community, Total Feedback Compilations, Bekasi Terdistorsi, Grunge is Dead, Dead Channel Compilations, Hello Noise (live video), dan masih banyak lagi kompilasi bersifat kedaerahan yang belum di tulis. Begitu juga acara-acara komunitas grunge hampir setiap minggu digelar di berbagai kota dan daerah. Tetapi yang menjadi pertanyaan, akan dibawa kemana kompilasi atau seluruh rilisan grunge dan acara-acara komunitas ini? kemana langkah mereka selanjutnya? apakah hanya sekedar sebuah eksistensi komunitas? beberapa kompilasi seperti Total Feedback I dan Hello Noise (live video) memang menuai kesuksesan, album Kompilasi Total Feedback I bahkan beritanya laku terjual hingga ribuan copy, meskipun kesuksesan tersebut tidak berlanjut pada sekuel kompilasi selanjutnya. Namun angka penjualan yang tinggi ataupun bentuk kesuksesan non materi lainnya ini dalam langkah kedepannya, tidak benar-benar membawa perubahan yang berarti baik bagi band-band yang bergabung di dalam rilisan tersebut maupun bagi komunitas yang berkaitan didalamnya. Kesuksesan dari Kompilasi Total Feedback I tidak lantas membuat band-band didalamnya menjadi diuntungkan dari segi materi, kepopuleran yang berdampak dari banyaknya tawaran job, atau bahkan hanya dalam kesuksesan yang terkecil, karyanya dinyanyikan oleh band lain. Dengan turut serta dalam berbagai event komunitas grunge, juga tidak begitu membawa dampak bagi band yang bersangkutan. Bahkan beberapa kompilasi tercatat gagal dalam penjualan dan distribusi, seperti kompilasi Dead Channel, maupun Grungee Jumping dan Hello Noise (live video) yang hanya sukses dalam bentuk publikasi. Seperti diungkapkan oleh Yayan dari BlackMouse Records, yang mengakui bahwa penjualan untuk kompilasi Noise v.s. Noise II sangat sulit, bahkan hanya untuk menghabiskan 200 copy saja mereka merasa sangat berat.
Sehingga dalam hal ini, kesuksesan tersebut hanya berdampak langsung atas tanggapan sebagian kecil orang diluar komunitas bahwa “komunitas grunge di Indonesia masih ada”.
Aris Setyawan menulis dalam blognya “Himbauan Buat yang (Ngaku) Suka Grunge….!!!!” tentang sikap kedaerahan dalam komunitas grunge ini sebagai berikut:
Buat semua aja yang suka Grunge. C’mon….??? sampai kapan kita jadi begini? Rasanya sulit bagi genre yang besar di tahun 90-an ini untuk kembali jadi maju dengan segala tingkah kita.
Kita mengaku suka Grunge, TAPI MASIH BERFILOSOFI PICIK mengatakan Grunge itu Nirvana, yang penting teriak2, fals, berheadbanging seraya membanting gitar yang nyata-nyata bukan milik sendiri.
Kita berusaha membuat gigs grunge sebanyak mungkin (walau pada kenyataannya selalu mengecewakan) obrolan Saya dengan Rosi mengatakan: Kita sedang mempertaruhkan kredibilitas kita di pinggir jalan. Kurt Cobain, Layne Staley, Eddie Vedder, Cornell memang mabok, tapi berkarya nyata. Membuat perubahan, ga Cuma teriak-teriak fals. Dan kita tunjukkan pada masyarakat luas: Oh grunge itu gini toh, lalu apa bedanya mereka dengan preman pasar?
Scene kita selalu berkoar memajukan grunge negeri tapi timpang dalam berusaha. Kalo boleh jujur sebenarnya kita bukan sedang memperjuangkan kemajuan Grunge Negeri, tapi memajukan komunitas sendiri-sendiri, tanpa memikirkan nasib grunge secara meluas. Coba kita seperti Metal atau Punk. KOMPAK, dan kenyataannya dengan kekompakan mereka bisa maju beberapa langkah di depan kita. Mau bukti? Seorang penyuka Kangen Band sekalipun masih bisa hadir di konser Metal dengan alasan: boleh juga lumayan keras nih bagus. Tapi apa mereka mau hadir ke gigs grunge? (beberapa hadir dengan asumsi yang penting mabok gratis atau patungan dengan teman-teman)
Kita butuh sesuatu yang lebih baik dari sekedar teriak-teriak. kita butuh band pendobrak tradisi yang mau keluar dari kungkungan Komunitas dan melanglang buana ke dunia luar. (Navicula & Cupumanik sudah dengan masuk Major label, mengenalkan genre ini ke masyarakat luas. Who’s next….???) kita butuh duta besar yang berani seperti Steven & The Coconut Trees menyebarkan Reggae.
Entah berapa gigs kita buat di negeri ini. Tapi silakan berkaca sendiri, ingat-ingat lagi seluruh gigs itu. Sepi enggak? Rame yah? Ada beberapa yang rame tapi kebanyakan sepi, event-event yang kita buat hanyalah jadi pelarian karena kita dikucilkan di Dunia musik luar. Ajang senang-senang kalangan sendiri yang nonton ya kita-kita sendiri.
Ayolah sudah saatnya kita bersatu lebih besar…lupakan pengkotakan komunitas. Lupakan sisi barat, timur, utara, selatan. Lupakan batas teritori Jakarta, Bekasi, Bandung, Solo, Mojokerto, Sidoarjo, Bali atau manapun juga. Kenapa tidak kita jadikan satu saja? “Indonesian Grunge Society” “Komunitas Grunge Indonesia” “Persatuan Pemuda Pemudi Grunge Indonesia” apalah. lupakan egoisme & arogansi memajukan komunitas sendiri, dengan bersatu kita akan membuat sebuah kelompok yang lebih besar, sehingga bisa mendapatkan sumber daya manusia yang lebih banyak. Membuat perencanaan yang lebih matang dalam membuat gigs. Syukur-syukur kalo bisa nyari sponsor sehingga biaya gigs bisa ditekan. Jadi ga perlu dibebankan kepada band yang main. Jadi ga bejibun band yang main yang membuat waktu acara menjadi sangat panjaaaangggg dan membosankan.
Ah sudahlah. Semuanya kembali ke kita-kita ini. Beberapa yang menanggap diri pintar harusnya berkontemplasi panjang tentang omongan ini. Berkacalah. Sebarapa maju( atau mundur) sebenarnya Genre yang kita banggakan ini? Dan Saya tahu beberapa orang pasti akan segera menulis komentar ke Saya dengan nada marah: Sok tahu Lo. Lo Sendiri udah berbuat apa demi kemajuan Grunge?
Well, inilah sementara yang bisa Saya lakukan, mengajak kalian semua bersatu. Percayalah untuk bisa membawa grunge diterima di Peta musik negeri, kita harus melakukan sesuatu yang lebih baik. Ga terbatas dengan membuat banyak Gigs tapi tanpa perencanaan yang matang, sehingga yang main 100band dari jam 9 pagi sampai jam 12 malam.
Wake Up. Mari bersatu Grungies Indonesia.
Sistem komunitas ini membuat kefrustasian dalam jangka panjang bagi aktifis- aktifis grunge yang masih terlibat dalam perjuangannya memperkenalkan grunge kepada masyarakat luas di luar komunitasnya. Seperti yang diakui oleh Andre Sitompul dari band Shock Breaker, berikut ini:
“Grunge bagi diri saya, adalah suatu jenis pemberontakan tersendiri, dan kadang saya sangat marah dengan grunge sekarang.. karena system nya sendiri kurang lengkap di negara kita khususnya dukungan kepada musik-musik alternative dan sebagainya.
Tidak ada SUBPOP Indonesia , tidak ada JACK ENDINO Indonesia.
Seharusnya kita sendiri yang membangun komponen-komponen penting itu sendiri.
Tapi semuanya mau jadi Kurt Cobain, semuanya mau jadi band..
Ga ada yg mau jadi Sound Engineer, atau hal-hal penting lain nya.. and it is sucks man..
There is no victory if a thousand soldier without a leader. Or a guider. Or an advisor.”
Diperlukan langkah berani berbuat dari seseorang atau sebuah komunitas kecil, untuk membawa sifat kedaerahan/lokal pada komunitas grunge Indonesia ini untuk menuju satu tingkat lebih tinggi, menyatukan kedaerahan menjadi satu gerakan komunitas yang bersifat nasional, menjadikannya lebih besar, keluar dari kubangan kecil lumpur bawah tanah yang bahkan jeritan sekeras apapun tak akan terdengar sampai permukaan. Diperlukan satu wadah terpercaya yang mempunyai keuletan, keja keras, fokus, dan kemampuan melebihi kemampuan yang telah ada hingga saat ini. Dalam hal ini saya sangat setuju pada bagian Andre Sitompul mengucapkan “ There is no victory if a thousand soldier without a leader. Or a guider. Or an advisor.”
6. Grunge Sebagai Pilihan Dalam Gaya Hidup dan Bermusik
Everyone has their unique taste; be your own grunge type. (www.wikihow; grunge tips)
Diiakui atau tidak, beberapa orang atau malah kebanyakan orang memilih bermusik grunge karena kesederhanaannya, baik itu dalam cara berpakaian yang tidak mengharuskan untuk berpakaian tertentu, atau bahkan aneh-aneh, namun juga beberapa orang mengakui karena dengan bermusik grunge tidak begitu membutuhkan teknik gitar tinggi.
tulisan dari gitaris.com oleh andi ind dengan sedikit editing oleh asn menggambarkan, bahwa alasan menyukai grunge karena kesederhanaannya dalam bermusik, dalam artian siapa saja bisa memainkan, hanya dibutuhkan semangat yang tinggi, sebagai berikut:
Mbah Cobain… he’s great songwriter with his character of course…. munculnya Kurt Cobain era 92/93an dengan “Nevermindnya” sejujurnya mematikan band-band yang beraliran skill guitar, atau apalah namanya. model rocker rambut gondrong dengan creambath, era-era Warrant, SkidRow, Danger-Danger, La Guns, Hellowen, Damn Yankess, Slaughter secara ga langsung, yes.. tergusur.
Ini pernah dibahas di majalah music luar kok. band-band aliran heavymetal, atau sweetmetal atau ya aliran yg gitu deh mengalami kemunduran drastis. dari awalnya menjelajah PANGGUNG-PANGGUNG dengan masuknya band-band Seatle sound kayak Nirvana, Mudhoney, Pearl Jam, maka band-band aliran yang saya sebut tadi pindah ke café-cafe kecil minim penonton.
Well, we talk about music industry… semuanya bisa serba berubah ketika pasar sudah maximal, dan tercapai hukum Law Deminising Return, era penurunan.. karena kejenuhan pasar musik. hihihi kayak pelajaran ekonomi aje ni. tahun 90an – 93an awal pas masi SMP, gw addict to Dreamtheater, Megadeth, ya musik2 dengan permainan gitar cadas. dan ketika terjadi perubahan 93an – 97an era2 seattle sound, grunge, atau apalah, gw juga sangat-sangat mengikuti eforianya. memang era 93-97an mulai muncul pakem, you dont have to be great guitarist with advanced technique.
Pakem ini sebenarnya dimulai ketika pasar musik mulai melihat Kurt Cobain maen gitar dengan tekniknya. tapi apakah tekniknya asal-asalan? menurut Bang Ponco “suhu kita” saat talk di konferens, katanya gak lho. tau benernya silahkan tanya sang “suhu” hehehe. tapi bagi gw, Cobain menyederhanakan dalam bermusik, iya. musik ga perlu ribet. as long as we enjoy, dan mampu meneriakkan hati kita, well, you sing & play it. thats Cobain (selain itu memang lirik Cobain bener-bener depresi jiwa )
so era grunge/seattle sound saat itu muncul cara bermusik yang baru:
1. Ga perlu jago-jago amat maen gitar. (but Pearl Jam, Soundgarden dan Alice in Chains bagi gw pengecualian. gitarisnya punya basic yang jago dalam ngeshred dan ngeblues).
2. Jadi rocker ga perlu baju-baju aneh,rante,aksesoris, rambut gondrong ke salon. cukup pake baju apada adanya, rambut juga biasa aja, yang penting play it!.
banyak memang band-band heavymetal kala itu membenci Cobain. salah satunya Bach, Skid row. tapi tahun 94 pas kematian Cobain, gw baru sadar, ternyata fans Cobain banyaaaaaaakkkkk amat. Temen-temen gw di SMA saat itu ada yang ampe nangis-nangis…. trus dibahas diradio ada yang nangis di radio sedih. well, sejujurnya Cobain mau ga mau, benci ga benci, suka ga suka memang memiliki impact besar. im not big fans of Nirvana. gw cuma mengamati musik mereka dan enjoy juga, sekalipun basicnya gw tetep fans of Megadeth karena Megadethlah yang membuat gw belajar maen gitar seriuz. but, i respect with nirvana’s music… especially mbah Cobain. he’s great songwriter.
Jimmie Mahardhika gitaris Seek Six Sick membenarkan hal tersebut, bahwa pertama kali dia memilih grunge salah satunya karena permasalahan skill, menuliskan sebagai berikut:
Ya, secara musikal sangat pas dengan skill bermusik saya saat itu hehehe. grunge adalah salah satu musik favorit saya, ada banyak musik yg mempengaruhi saya dalam bermusik, cuman grunge membuka wawasan saya untuk membuat band tidak harus bisa melodi panjang-panjang. Saya suka grunge, tapi juga genre musik lainnya, saat saya masih remaja grunge sangat segar, disaat musik metal yg semakin membosankan disaat itu.
Roby R. Habibie, atau lebih dikenal dengan nama panggilan “Djawirs” dari band Nikotin menuliskan, pilihannya terhadap musik grunge adalah karena:
menurut saya sendiri grunge itu bukan selalu melulu tentang pemberontakan, karena dalam sudut pandang saya sendiri suatu pemberontakan bukanlah sebuah inti dari grunge itu sendiri, bagi saya grunge itu lebih cenderung kepada kebebasan dalam berekpresi dan semestinya dengan tetap memperhatikan norma-norma yang ada. Dalam hal musik iya berarti tentunya… karena sebelum saya mengenal musik grunge saya sudah banyak mendengarkan genre musik lain, dan saya merasa kurang tertarik, setelah mengenal musik grunge saya merasa cocok dengan diri saya. Saya juga pernah mencoba bermain dalam genre musik lain tapi tidak bisa senyaman ketika bermain musik grunge…
  • GRUNGE SEBAGAI KEBUTUHAN PSIKOLOGI KOMUNITAS
1. Kami versus Mereka; Identitas Kelompok
Kita masing-masing mengembangkan identitas pribadi yang didasarkan pada sifat tertentu dan sejarah hidup yang unik. Tapi kita juga mengembangkan identitas sosial(social identity) yang didasarkan pada kelompok di mana kita tergabung,termasuk di dalamnya adalah bangsa kita, kelompok agama, politik, maupun kelompok pekerjaan tertentu (Brewer & Gardner, 1996; Tajfel & Turner, 1986. Psikologi, edisi ke9, jilid 1, Carole Wade, Carol Tavris, 309;2008 )
Dalam pernyataan diatas, kelompok pekerjaan tertentu bisa disamakan dengan kelompok yang melakukan pekerjaan tertentu, seperti halnya komunitas grunge dalam mengaktualisasikan ekspresi bermusik mereka.
M. Habib Mustopo menulis dalam buku Ilmu Budaya Dasar, tentang “Konsepsi Ilmu Budaya Dasar Dalam Musik”, sebagai berikut:
Dalam musik memang dapat ditemukan berbagai konsep yang berhubungan dengan cinta kasih, pengorbanan, kesyahduan, penderitaan Beethoven, demikian terkenalnya karena mengungkapkan semangat pantang menyerah untuk melawan sang nasib. Begitu juga dalam gubahan Chaikowsky yang berupa overture 1812, adalah menggambarkan penderitaan manusia, dengan latar belakang sejarah serangan tentara Napoleon ke Rusia. Kegelisahan, penderitaan, dan harapan, putus asa serta keberanian lebur menjadi gubahan musik yang indah.
Untuk menelusuri lebih lanjut tentang grunge sebagai media pemenuhan kebutuhan psikologis komunitas anak muda di Indonesia ini, mari kita telaah satu persatu berdasarkan beberapa penjelasan berikut:
Pada hakikatnya manusia disamping makhluk individu juga makhluk sosial. Untuk pemenuhan kebutuhan sosialnya, maka para grungies ini kemudian membentuk kelompok atau komunitas.
Komunitas grunge biasanya berasal dari kelompok sebaya, yaitu kelompok yang antar individunya dapat merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti di bidang usia, kebutuhan, dan tujuan yang dapat memperkuat komunitas itu. Dalam kelompok sebaya, individu merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya.
Hal ini setidaknya dapat menjelaskan bagaimana perubahan sikap dari seorang grungies yang dalam kesehariannya bersikap tertutup terhadap orang lain, orang tua maupun lingkungan sekitarnya, tiba-tiba dapat menjadi makhluk sosial yang berfungsi baik ketika bertemu dengan komunitasnya. Bahkan pertemanan itu kadang menjurus ke hal yang lebih dekat daripada persaudaraan.
Lalu apa penyebab dari pengelompokkan itu sendiri? Dalam kehidupan sehari-hari, individu hidup dalam tiga lingkungan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Secara langsung maupun tidak langsung, anak tumbuh dan berkembang dalam dua dunia sosial, yang menurut Havinghurst, dibagi menjadi:
- Dunia orang dewasa, misal: orang tuanya, gurunya, dan tetangganya.
- Dunia sebaya, misal: kelompok bermain, dan kelompok teman.
Didalam dua dunia sosial tersebut tapat perbedaan dasar dan perbedaan pengaruh.
- Perbedaan dasar
Dalam dunia orang dewasa, anak selalu dalam posisi subordinat status (status bawahan) dengan kata lain status dunia dewasa selalu diatas anak.
Sedangkan dalam dunia sebayanya, anak mempunyai status yang sama diantara yang lain. jadi, kelompok sebaya selalu berada di bawah orang dewasa. Kemudian anak-anak kelompok sebaya ini biasanya membutuhkan kelompok sendiri karena ada kesamaaan dalam pembicaraan dalam segala bidang.
- Perbedaan pengaruh
Pengaruh kelompok sebaya makin lama makin penting fungsinya, jadi pengaruh keluarga makin kecil.
Fase remaja merupakan perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konpka (Pikunas, 1976)
Ciri-Ciri Masa Remaja
1.Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke peralihan masa dewasa.
2.Masa remaja sebagai periode perubahan.
3.Masa remaja sebagai usia bermasalah.
4.Masa remaja sebagai masa mencari identitas.
5.Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, karena masalah penyesuaian diri dengan situasi dirinya yang baru, karena setiap perubahan membutuhkan penyesuaian diri.
6.Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
7.Ciri-ciri kejiwaan remaja, tidak stabil, keadaan emosinya goncang, mudah condong kepada ekstrim, sering terdorong, bersemangat, peka, mudah tersinggung, dan perhatiannya terpusat pada dirinya.
masa remaja ini meliputi:
(a) remaja awal: 12-15 tahun;
(b) remaja madya: 15-18 tahun;
(c) remaja akhir: 19-22 tahun.
Sementara Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
Dalam budaya Amerika, periode remaja ini dipandang sebagai “Strom dan Stress”, frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Lustin Pikunas, 1976).
Biasanya remaja belum dianggap sebagai anggota masyarakat yang perlu didengar dan dipertimbangkan pendapatnya serta dianggap bertanggung jawab atas dirinya. Terlebih dahulu mereka perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kapasitas tertentu, serta mempunyai kemantapan emosi, sosial dan kepribadian.
Masa remaja merupakan masa dimana timbulnya berbagai kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik yang lebih jelas dan daya fikir menjadi matang. Namun masa remaja penuh dengan berbagai perasaan yang tidak menentu, cemas dan bimbang, dimana berkecamuk harapan dan tantangan, kesenangan dan kesengsaraan, semuanya harus dilalui dengan perjuangan yang berat, menuju hari depan dan dewasa yang matang.
Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintelegensi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.
Di samping itu, perkembangan intelektualitas yang sangat pesat juga terjadi pada fase ini. Akibatnya, remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai “hero” atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut. Dan beberapa media memanfaatkan hal itu, salah satunya ketika pemutaran acara televisi “MTV Generations”, anak-anak muda tiba-tiba merasa menemukan apa yang sedang mereka cari. Mereka menemukan dalam tontonan tersebut idola-idola mereka. Sebuah tulisan Enik Sulistyawati berjudul ”FENOMENA music televisions (MTV) dalam perspektif cultural studies” menuliskan mengenai fenomena MTV ini sebagai berikut:
Music Televisions atau yang lebih akrab di telinga kita sebagai MTV merupakan sebuah contoh fenomena cultural studies yang amat representatif. Secara konseptual, MTV merupakan sebuah gebrakan dalam dunia show biz, yang telah membuat ranah iklan produk Barat (terutama Amerika) menjadi lebih menarik dan kental dengan nuansa enterntainment yang diracik dengan format infotainment musical.
MTV adalah salah satu media global paling terkenal dan berhasil. Dalam perjalanannya selama 20 tahun ini, MTV memang telah mengubah budaya dunia. Trend yang berkembang sekarang seperti tidak dapat terlepas dari pengaruh yang ditularkan MTV. Saking mengglobalnya budaya pop yang diusung MTV, hingga anak-anak di kampung pun ketularan. Ya, musik ternyata tidak sekadar hiburan, tapi sudah berubah menjadi gaya hidup. Bahkan dewasa ini, MTV tidak terbatas pada soal musik, tapi juga mulai memproduksi film teaterikal, game show, dan penghargaan bagi dunia hiburan dalam berbagai manifestasinya. Ya, selain menghadirkan video klip musik, MTV juga telah meluncurkan game show semacam Singled Out, film-film seperti Selebrity Deadmatch dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa MTV ingin menerobos masuk dan membangun identitas baru bagi pemirsanya.
Menyaksikan MTV di televisi Indonesia yang berpusat di Jakarta makin menguatkan argumen bahwa Jakarta sebagai kota metropolis yang rawan dengan pengaruh modernitas, memang berusaha keras untuk menjadi penentu selera pop culture bagi masyarakat Indonesia. Kedudukannya yang strategis dimana terdapat pusat pemerintahan dan bisnis, membuat kota ini merasa apapun yang ditayangkan di layar televisi Indonesia merupakan hal yang baik dan perlu (terutama program televisi dari luar negeri). Namun kecenderungan Jakarta yang hanya berorientasi pada Amerika telah merugikan Indonesia. Acara hura-hura musik yang ditampilkan MTV secara terus-menerus yang bersifat globalisasi budaya dan kapitalisme barat tidak lebih penting daripada acara dokumentasi ilmu pengetahuan, sejarah, politik, seni dan budaya semacam National Geographic. Apalagi posisi Indonesia sebagai negara dunia ketiga, Indonesia lebih memerlukan asupan gizi tayangan yang bermutu daripada acara yang hanya hura-hura semata semisal MTV. Profesor Robert Thompson, pengajar di Syracuse University, yang menonton dan menganalisis TV bagi kehidupan manusia, mengatakan bahwa MTV membidik kelompok masyarakat yang khusus dan memberi mereka identitas. Ketika MTV hadir, industri benar-benar berubah. Tiba-tiba musik tidak lagi sekadar suara yang bagus, tetapi juga yang terlihat bagus.
Ukuran-ukuran modern bagi generasi muda saat ini adalah gaya hidup yang nge-pop, atau yang sering disebut generasi MTV, dengan deklarasi singkat pada 1 Agustus 1981 di negara asalnya, Amerika Serikat. Gaya hidup ini ditandai dengan pergaulan yang cenderung bebas, penuh hura-hura, dan funky. Penghormatan terhadap seseorang di kalangan anak muda sekarang ini tidak lagi diukur dari kualitas dan kemampuannya, sebagai misal intelektualitasnya, tetapi diukur dari aspek materi yang selalu bercirikan gaya hidup yang hedon.
Pengaruh budaya pop Amerika menjadi komponen penting dalam pembentukan budaya pop Indonesia. Akibatnya, para remaja Indonesia semakin banyak yang tercemari bahasa asli mereka dengan istilah-istilah semacam cool, funky, dsb. yang mereka anggap sebagai ‘bahasa gaul’ yang pemahamannya kadang memprihatinkan. Banyak yang hanya asal comot dalam mengadopsi budaya luar. Kebanggaan memakai istilah ‘gaul’, kepercayaan diri mengenakan T-Shirt bertuliskan FBI, dan sebagainya tanpa mereka ketahui sesungguhnya apa arti di balik semuanya itu. Pokoknya, West is the best! Sebagaimana celetuk Jim Morrison, rocker Amerika dalam lagunya.
Dan merupakan hal yang tidak terbantahkan lagi bahwa MTV adalah faktor utama yang turut menanam benih, serta memupuk hingga tumbuh suburnya komunitas grunge di Indonesia. Dimulai dengan pengenalan budaya-budaya asalnya, band-band grunge,cara berpakaian, gaya hidup.
Cjc dari band Silentium/Potpuri menuliskan hal ini:
setau gw grunge atau musik apapun pada tahun 90-an itu sangat sulit masuk ke indonesia..kecuali pas jaringan eMpTyVee (MTV) bisa ditonton orang-orang di kota besar (seperti jakarta)..mulailah penetrasi budaya itu masuk..tanpa kecuali..karena saat itu belum ada globalisasi informasi.. semua diseragamkan..haha.. termasuk masuknya kultur grunge ini..tiba-tiba semua Smells Like Teen Spirit.. semua flanel.. semua Docmart.. semua Jeremy.. semua bikin acara musik grunge.. semua bahagia saat itu.. dan mungkin tak tergantikan sampai saat ini..
Publik anak muda menganga saat Nirvana muncul dalam tayangan video-videonya, Alice in Chains era video Whould?, penampilan akustik Pearl Jam, hingga ledakan bom yang turut membakar jiwa anak-anak muda era awal 1990an, penampilan akustik Nirvana dalam MTV Unplugged in New York, menenggelamkan anak muda dalam badai flannel besar-besaran, meskipun kemudian memudar dan konstan semenjak itu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Destroy Pleasure dalam sebuah Mailing List sebagai berikut:
Indonesia sudah terlalu banyak di bombardir trend2 musik dari luar sana dan dalam hal ini Grunge yang berakar dari Seattle sounds nun jauh disana…
Semua ga bisa mungkir grunge itu berpengaruh, ketika Nevermid dengan single ‘smile like teen spirit’ boooming..dan kontroversi kematian sang Kurt Cobain..semua lagu2 Nirvana yang sangat2 minimalis..hingga dari kalangan anak2 sampai kakek nenek…siapa yang tidak kenal NIRVANA saat itu ?
Untuk band lokalnya disini yang keracunan oleh Nirvana adalah TOILET SOUNDS dan DAILY FEEDBACK. dua band tsb sukses menjadi icon grunge di tanah air.. dan kalo dibandung terkenal dengan SLUM (sudah bubar tapi..)
Kemunduran dari scene grunge ini sendiri di indonesia..minimnya pengetahuan para pengusung2nya. .yang mereka tau hanyalah..berteriak mirip cobain..ampli gitar feedback ga karuan..merusak alat padahal bukan alat sendiri..riff2 gitar cenderung mengacu kepada Nirvana. Karena kalo ga begitu..ga dibilang grunge…hahahah. . (walaupun ga semua band begini..tetapi 99% begitu adanya).
Seiring berjalannya waktu Grunge mulai mengalami proses pendewasaan, walaupun masih ada segelintir band yang masih keracunan nirvanaismenya. .namun kebingunan itu masih terus bisa dapat kita nikmati tanpa harus bingung kenapa mesti begini dan begitu..nikmati sajalah kawan…!!!! Long Live Grunge !!
Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh orang tua sebagai pembangkangan. Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak kecil lagi. Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara.
Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu, remaja akan mencarinya dari orang lain dalam hal ini adalah teman-teman sebayanya yang kurang lebih juga mengalami hal yang serupa.
Dalam kesempatan lain, Cjc Silentium/Potpuri menuliskan hal berikut:
For me, family is a gift and we should proud of it.. alhamdulillah.. depresifitas malah terjadi ketika kamu ada di sebuah lingkungan sosial lain bernama masyarakat luar.. sekolah.. bullying.. tekanan psikologis keremajaan.. zalimnya sistem.. lingkungan kerja yang koruptif-manipulatif- dan “kejam”.. ketidak percayaan diri.. kebohongan.. tapi itu suatu yang awam terjadi, semua mengalami.. walau kadang berbeda kadarnya.
Karena sikap dari orang tua dan masyarakat yang masih “menyepelekan” generasi yang baru memasuki usia pra dewasa inilah, maka mereka berusaha untuk mengemukakan ide-ide, kemarahan, serta kefrustasian, kedalam suatu komunitas tersendiri, yang mana kemudian dari komunitas-komunitas tersebut timbullah apresiasi dalam bentuk karya, dengan beberapa tujuan antara lain:
- Adanya perkembangan proses sosialisasi.
Pada usia pencarian jati diri, individu mengalami proses sosialisasi. Ketika sedang berkumpul dengan sesama grungies, mereka memperoleh kemantapan sosial untuk mempersiapkan diri menjadi orang dewasa. Dengan demikian, individu mencari kelompok yang sesuai dengan keinginannya agar bisa saling berinteraksi satu sama lain dan merasa diterima dalam kelompok.
- Kebutuhan untuk menerima penghargaan.
Secara psikologis, individu butuh penghargaan dari orang lain agar mendapat kepuasan dari apa yang dicapainya. Oleh karena itu, individu bergabung dengan teman sebayanya yang mempunyai kebutuhan psikologis yang sama yaitu ingin dihargai. Dengan demikian, individu merasakan kebersamaan atau kekompakkan dalam kelompok teman sebayanya. Pada titik ini, diperoleh kejelasan sikap mengenai bagaimana seseorang merasa tertarik untuk bergabung menjadi bagian dari komunitas grunge. Ketika banyak hal dalam hidup ini tidak lagi mendapat apresiasi, segala usaha hanya dipandang sebelah mata, kemana atau apa yang bisa kita raih sebagai langkah selanjutnya? Apakah orang tuamu bangga dengan musikmu, apakah mereka sering membangga-banggakan musikmu dan tingkah lakumu ditengah pertemuan keluarga, atau apakah lingkungan sekitar rumahmu ikut bangga dan memuji musik yang telah dengan susah payah dihasilkan? jika jawabannya adalah, tidak, maka anda secara langsung akan dapat menerima alasan anda sendiri ketika pertama kali bergabung dengan komunitas grunge.
- Perlu perhatian orang lain.
Individu perlu perhatian dari orang lain terutama yang senasib dengan dirinya. Hal ini dapat ditemui dalam kelompok sebayanya, ketika individu merasa sama dengan yang lainnya, mereka tidak merasakan adanya perbedaan status seperti jika mereka bergabung dengan dunia orang dewasa. Ketika seseorang bergabung kedalam komunitas grunge, maka secara langsung mereka akan merasa diterima dari segala “keterasingan” sebelumnya. Para anggota komunitas yang baru bergabung ini merasakan sensasi begitu menyenangkannya menjadi “diterima”. Untuk selanjutnya mereka biasanya akan menularkan perasaan itu kepada orang-orang yang mereka anggap senasib untuk dibawa masuk kedalam komunitas tersebut.
- Ingin menemukan dunianya.
Didalam kelompok sebaya, individu dapat menemukan dunianya yang berbeda dengan dunia orang dewasa. mereka mempunyai persamaan pembicaraan di segala bidang. Misalnya, pembicaraan tentang hobi dan hal-hal yang menarik lainnya. Para grungies ini sering dalam pertemuan langsung maupun dalam dunia maya, membuat semacam diskusi ataupun hanya sekedar tegur sapa untuk sekedar mengetahui perkembangan terbaru antar scene. Biasanya topik pembicaraan dalam diskusi menyangkut perkembangan scene yang kemudian ditindak lanjuti dengan perilisan album band, kompilasi, atau menggelar acara musik grunge demi eksistensi komunitas.
Robi Navicula menjelaskan fungsi komunitas grunge ini sebagai berikut:
Sarana interaksi antar sesama penggemar. Saling tukar info, gigs, musik, karya, bikin fan base, dan lain-lain. Wadah yang asik untuk mengumpulkan orang, membentuk scene dan memperoleh pengakuan terhadap eksistensi.
Remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri.
Akan tetapi segala tingkah yang dinilai sebagai tingkah anti sosial anak-anak muda periode masa hampir berakhirnya keremajaan menuju kedewasaan atau disebut “Periode remaja Adolesen (19 – 21 tahun)” ini seringkali disalah artikan sebagai sebuah kenakalan, atau yang biasa disebut dengan “Kenakalan Remaja”. Seperti yang tertulis dalam sebuah situs: http//:www.angelfire.com/mt/matrixs/psikologi.htm, sebagai berikut:
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada.
Diperlukan adanya pemahaman oleh orang tua, maupun masyarakat luas bahwasanya grunge merupakan wadah satu-satunya bagi “generasi terluka” ini, bahwa mereka hanya generasi frustrasi yaitu generasi yang mengalami kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan/dorongan naluri, sehingga timbul kekecewaan. Frutrasi timbul bila niat atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar: kelaparan, kemarau, kematian, dan sebagainya dan dari dalam: lelah, cacat mental, rasa rendah diri dan sebagainya) yang menghambat kemajuan suatu cita-cita yang hendak dicapainya. Mereka hanyalah generasi tertekan yang harus mengemban tanggung jawab yang tidak mereka sukai, orang tua yang menginginkan anak berprestasi dan dapat dibanggakan kemungkinan adalah penyebabnya. Mengetahui dengan pemahaman, serta alternatif penyaluran harusnya menjadi langkah orang tua dan masyarakat, bukan dengan mengambil langkah pencegahan maupun penanggulangan kenakalan remaja seperti yang dituduhkan, tetapi perlu adanya kearifan dari berbagai pihak agar komunitas ini dapat terus menyalurkan daya kreatifitas mudanya, dalam bentuk yang positif. Bahkanpun, apabila semua penyebab dari ke”terasing”an para remaja ini adalah karena keluarga yang berantakan dan keter”isolasi”an dari lingkungan sosial semestinya yang menyebabkan butuhnya tempat pelarian, maka grungelah sebenarnya yang bisa dijadikan tempat pelarian itu.
Mengapa harus grunge? bukankah Ev. Andreas Christanday pernah mengatakan, “Musik yang baik bagi kehidupan manusia adalah musik yang seimbang antara beat, ritme, dan harmony”.
Sebuah contoh kasus menarik, pernah terjadi ketika diadakan penelitian serius untuk menemukan jawaban, bahwa musik sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup,
Seorang ahli biofisika telah melakukan suatu percobaan tentang pengaruh musik bagi kehidupan makhluk hidup. Dua tanaman dari jenis dan umur yang sama diletakkan pada tempat yang berbeda. Yang satu diletakkan dekat dengan pengeras suara (speaker) yang menyajikan lagu-lagu slow rock dan heavy rock, sedangkan tanaman yang lain diletakkan dekat dengan speaker yang memperdengarkan lagu-lagu yang indah dan berirama teratur. Dalam beberapa hari terjadi perbedaan yang sangat mencolok. Tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu rock menjadi layu dan mati, sedangkan tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu indah tumbuh segar dan berbunga. Suatu bukti nyata bahwa musik sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup.
Lalu bagaimana dengan grunge? mengapa grunge dianggap mampu mewakili perasaan para remaja yang dilanda kemarahan, frustasi, tertekan, dan terasing ini?
Don Campbell dalam bukunya yang berjudul “Efek Mozart; Memanfaatkan Kekuatan Musik untuk Mempertajam Pikiran, Meningkatkan Kreatifitas, dan Menyehatkan Tubuh”, menjelaskan tentang hal ini sebagai berikut:
Seperti halnya meditasi, yoga, biofeedback (teknik pencarian untuk mengendalikan keadaan emosi tertentu, misalnya kecemasan atau depresi, dengan cara melatih seseorang, dengan menggunakan peralatan elektronik, untuk memodifikasi fungsi otonom tubuh, misalnya tekanan darah atau denyut jantung), dan paktek-praktek lain yang dirancang untuk menyatukan pikiran dan tubuh, musik dengan denyut kurang lebih 60 ketukan per menit – mencakup musik Barok, New Age, dan musik ambien tertentu – dapat mengubah kesadaran dari beta menuju kisaran alfa, hingga menaikkan kewaspadaan dan kesejahteraan umum (Don Campbell; 1997; 80)
Masih dalam buku yang sama, erat kaitannya dengan musik grunge, Don Campbell menuliskan sebagai berikut:
Musik dapat menimbulkan rasa aman dan sejahtera. Musik “aman” tidaklah dengan sendirinya musik yang indah, lembut, atau romantis. Musik semacam itu sekedar musik yang memberikan tempat berteduh bagi pendengarnya. Musik populer setiap generasi bukan saja menyuarakan keprihatinan bersama, melainkan juga menciptakan sanktuari dalam bentuk suara. Generasi orang tua saya dan kakek nenek saya menemukan rasa aman dalam himne-himne luhur yang mereka hafalkan: melalui doa dan nyanyian yang indah mereka mampu menanggung zaman Depresi Besar, dua perang dunia, dan banyak kesulitan-kesulitan lain. Selama masa Perang Vietnam, lagu-lagu Simon and Garfunkel, Joan Baez, Judy Collins, dan Bob Dylan ditulis dan dipertunjukkan dalam suatu semangat konfontasi dan protes, namun bagi berjuta-juta anak muda, musik ini menciptakan cara yang aman untuk merasakan dan mengkomunikasikan perasaan takut dan keprihatinan yang kompleks. Anak muda jaman sekarang pun menggunakan musik sebagai tempat pelarian. Melalui volume, energi tinggi, dan kata-kata yang terlarang, hip hop, rap, punk, dan musik grunge kontemporer memagari anak muda di suatu dunia yang bagi mereka tampaknya terlalu materialistik dan munafik. (Don Campbell; 1997; 95)
Heavy metal, punk, rap, hip hop, dan grunge dapat menggugah sistem saraf, menjurus pada perilaku dinamis maupun pengungkapan diri. Musik itu dapat juga memberi isyarat kepada orang lain (terutama orang dewasa yang serumah dengan remaja yang menggemari musik yang gaduh tersebut), kedalaman maupun intensitas gejolak batin generasi muda maupun kebutuhan akan pelampiasan. (Don Campbell; 1997; 98)
Rendy Adam Fitriadi dari band Asylum, mencoba menjelaskan hal ini sebagai berikut:
karena pasti dalam bermusik itu didominasi oleh faktor kejiwaan.. terutama untuk psikologi grunge seperti yang diterangkan dalam artikel Psychology of Grunge karya Eric Garber memang tidak bisa dipisahkan kejiwaan “Young people can affiliate with the bitter emotions of loneliness and abandonment by looking up to such individuals as Eddie Vedder of Pearl Jam and Kurt Cobain of Nirvana who radiate the true meaning of grunge”. Jadi yang suka musik grunge itu tidak jauh dari rasa kesendirian, emosi dan lain-lain. Tapi menurut saya pribadi grunge di Indonesia ada suatu keunikan bahwa mereka dipengaruhi oleh religius, maksudnya tidak sebebas / tanpa faktor agama. Misalnya Cupumanik dan bisa juga Asylum hehe
Sementara seorang responden, Arseto R. yang mempunyai nama panggilan: Seto, menuliskan:
karena grunge dapat mengekspresikan emosi saya dan grunge musik yang anti kemapanan
Qodam Umm aka Billy menjelaskannya sebagai berikut:
ada elemen membebaskan diri pada musik grunge, barangkali di jenis musik lain juga demikian tapi saya terkoneksi dengan grunge!
Untuk penjelasan lebih lanjut, ada baiknya kita melihat bacaan “Psychologi of Music” yang disarikan oleh seorang blogger raneeconstantine dalam webblognya (http://raneeconstantine.blog.friendster.com/2006/10/lahirnya-psikologi-musik/) sebagai berikut:
Bagaimana manusia mengalami musik? Apa signifikansi dari pengalaman musik? Mengapa aktifitas musik secara psikologis tidak dapat ditawar-tawar dalam semua budaya? Apa yang sebenarnya dikomunikasikan musik dan bagaimana terjadinya? Sebagian dari pertanyaan-pertanyaan ini telah lama menjadi pertanyaan para ahli baik dari bidang musikologi, sosiologi, antropologi, psikologi, serta disiplin lainnya. Kecenderungan yang positif dalam pembahasan mengenai psikologi musik adalah dimulai dengan interdisiplin antara kognisi & musik.
Tidak dapat dipungkiri, sejak abad 17 dan seterusnya dunia sains telah terbentuk sedemikian rupa, begitu pula dengan ilmuwan-ilmuwannya yang terdiri dari filsuf, musisi, matematikawan, dan ahli psikologi. Mereka mulai tertarik menyelidiki sifat dasar perilaku manusia yang lebih banyak dimotivasi oleh sifat manusia melalui argumen-argumen logis atau eksperimen empirik tidak lagi hanya mendasarkan pada pengertian dan kebenaran ontologism yang bersumber dari ajaran agama. Kecenderungan yang kemudian secara meyakinkan terjadi adalah mulai menjauhnya pandangan keilmuan dari hirarki pengetahuan kuno yang dirasa sudah kurang dapat dipercaya, walaupun pada akhirnya secara manusiawi hal tersebut mulai dapat dipahami oleh dunia dan manusia yang hidup di dalamnya. Disinilah awal mula kekuatan sains menggantikan kekuatan kepercayaan agama. Pengetahuan dunia fisik dibuktikan melalui pencerahan John Locke, yang berakar pada keadilan bukan intuisi atau kepercayaan agama semata.
Argumentasi merupakan salah-satu tipe pengetahuan yang didasarkan pada intuisi, misalnya pengetahuan tentang keberadaan seseorang, diri-sendiri, dan sensasi. Namun pada kenyataannya, elemen-elemen keadilan justru diperoleh melalui hasil pemikiran dari beberapa ahli saja. Dalam hal ini musik menjadi penting terutama karena musik memiliki peran pokok. Sebagai sebuah sains khususnya melalui eksposisi harmonik Pytagorian-nya Plato. Ia beralasan bahwa ada hubungan ontologis antara logika dan suara musik dengan sifat asli seluruh alam semesta ini. Para ilmuwan Abad 17 mengadopsi ide ini dan mengulangi eksperimen empirik dari Pythagoras seperti yang dijelaskan dalam buku Dialog Plato: Timaeus dan Republik. Alasan lain melanjutkan ketertarikan penelitian terhadap musik adalah kepercayaan kuno yang mengatakan bahwa suara musik tidak hanya berisi rahasia ke-universal-an dalam ketepatan matematis tetapi juga ketepatan analogi emosi dan karakter manusia. Disinilah awal mula timbulnya psikologi musik modern.
Para cendekiawan abad 15 dan 16 di Italia menemukan terjemahan baru dari budaya Yunani kuno dan Roma dengan mengutip apa yang dikatakan Plato bahwa beberapa motif melodi tertentu adalah matematis dan pythagorian. Rasio yang berasal dari bilangan pasti 1, 2, dan 3 menghasilkan suara yang perfek bagi persepsi manusia. Para komponis dan musisi abad 18 yang hidup di luar Eropa secara praktis dilatih untuk mengeksploitasi pembawaan karakter dari interval melodi dan harmoni serta penjelasannya melalui banyak taksonomi.
Mulai dari Vincenzo Galilei, Zarlino, dan sebagian dari musisi abad 16 lainnya sampai pada Keppler, Mersenne, Newton, Mattheson, Leopold Mozart dan menjadi semakin lebih banyak lagi saat memasuki abad 18. Argumen matematis terhadap kualitas intrinsik dari suara musik dikatakan berisi esensi sensasi manusia, dan yang lebih penting lagi dapat menimbulkan reaksi yang terprediksi bagi pendengarnya. Retorika musik akhirnya menjadi dua pengetahuan: (1) sebagai katalog ekspresi bagi penyaji musik dan sebagai penyebab timbulnya keadaan tertentu bagi pendengar, serta (2) sebagai petunjuk misteri alam semesta yang semuanya dikemas menjadi satu. Pada saat ini tidak ada perbedaan pandangan antara filsuf, psikolog, musisi, penyair, fisikawan, ataupun intelektual tentang musik. Semua terlibat dalam aktifitas yang dapat menambah serta meningkatkan pengetahuan dan wawasan kita tentang musik.
Melalui cara ini, diharapkan mata rantai yang penting antara semua ikhtiar yang dilakukan bisa dipelihara. Salah satu penjelasan rinci dan pendapat terpenting datang dari Immanuel Kant. Dikatakannya bahwa semua aspek perilaku manusia mendorong timbulnya seni, dan itu sama dengan sains. Lama kemudian, khususnya selama abad 20, spesialisasi dalam bidang pengetahuan mulai memisahkan para ilmuwan, artis, intelektual, filsuf, ke dalam ciri-ciri tersendiri sehingga sering kali mereka tidak lagi tahu apa yang dilakukan oleh yang lain. Spesialisasi ini mengakibatkan meningkatnya divisi dan isolasi antara disiplin dan subdisiplin sepanjang akhir abad ini.
Penjelasan dari Immanuel Kant, setidaknya mampu memberikan gambaran tentang hal ini. Bahwa semua aspek perilaku manusia mendorong timbulnya seni, dan itu sama dengan sains. Termasuk diantaranya sikap generasi muda ini dalam menghadapi segala permasalahannya, yang berkaitan langsung dengan eksistensi dirinya sebagai individu maupun dalam komunitas. Atau, seperti yang diungkapkan oleh Djatmiko aka Dj aka Amik dari band Sane Fermentation asal Magetan sebagai berikut:
Musik sebagai seni, musik sebagai media propaganda, musik sebagai ekspresion, musik sebagai exhibition, semua itu adalah bentuk manifestasi dari ide. dan ide tersebut memicu timbulnya berbagai macam emosi sebagai reaksi dari segala bentuk rangsangan dari dalam maupun luar individu.
Salah satu ide sebagai reaksi dari rangsangan tersebut adalah reaksi psikologis atau kejiwaan. pemilik ide atau idol dapat mengungkapkan ide psikologis melalui musik yang dapat menampungnya. sehingga jadilah musik tersebut sebagai mediasi ide psikologis atau manifestasi kejiwaan sang pemilik ide atau idol.
Tidak selamanya depresi dan frustasi berakibat buruk. Bukankah banyak prestasi yang dihasilkan oleh depresi? Karena tidak tertutup kemungkinan dari sanalah bakat mereka akan semakin terasah. Jimmi Mahardhika dari band Seek Six Sick mengakui memilih grunge selain karena: ” grunge adalah salah satu musik favorit saya, ada banyak musik yang mempengaruhi saya dalam bermusik, cuman grunge membuka wawasan saya untuk membuat band tidak harus bisa melodi panjang-panjang”, pilihannya pada musik grunge adalah karena faktor depresi, kemudian dia melanjutkan pernyatannya dengan mengutip kata-kata Ian Antono “gitaris yang bagus pasti dari keluarga broken home”.
Tetapi tidak semua grungies menyatakan alasan yang sama, mengapa mereka harus berkumpul, membuat suatu “masyarakat” baru sesama pecinta grunge.
Aris Setyawan menuliskan dalam blognya sebagai berikut:
“Resesi Ekonomi, penyalahgunaan Obat terlarang yang makin merajalela. Dunia yang sedang depresi butuh sebuah wadah penyaluran untuk melepaskan semua masalah itu. Dan grunge dianggap sebagai sebuah lansekap yang tepat. Sesuai dengan imej yang melekat pada grunge: depresi, frustasi, alienasi, drugs addict dan dunia berkata ini dia Sebuah lansekap buat melepas semua masalahku”.
Memilih grunge bisa juga tanpa sebab ataupun alasan tertentu. Beberapa orang memilih grunge karena mereka menyukai musik dan attitude grunge tak kurang, tak lebih. seperti alasan yang dikemukakan seorang Blogger dalam tulisannya “Forever Grunge” (http://yohipup.blogspot.com/2006/07/grunge-forever.html) sebagai berikut:
Maka di tengah jaman Itunes, Ibook, Ipod, yang telah jauh meninggalkan jaman Ice Ice Baby ini, saya mencoba menerapkan ajaran dari buku Blink ke dalam beberapa genre musik. Saya coba cermati satu kata apa yang keluar di pikiran saya saat mendengarkan lagu dari genre tertentu. Misalnya saat saya mendengarkan sepotong lagu Metallica, yang tentu saja beraliran Heavy Metal, satu kata apa yang keluar, ternyata adalah Aggression. Saat saya mendengarkan wakil dari punk, The Ramones, satu kata yang keluar adalah Rebel. Saat saya mendengarkan wakil dari rap, Run DMC, satu kata yang keluar, adalah Existence. Saat saya mendengarkan wakil dari Funk atau entah apa genrenya, Red Hot Chili Pepper, satu kata yang keluar adalah Passion. Dan saat saya mendengarkan wakil dari musik Grunge, Pearl Jam, satu kata yang keluar adalah Pain.
Lalu bagaimanan kalau kita balik? Seandainya ada yang mencoba membuat atau membawakan sebuah lagu, dengan gonjrengan gitar, gedebuk drum, yang mengikuti gaya Seattle Sound, bahkan ditambah raungan mengikuti Vedder atau sukur-sukur Cornell, namun ia membawakan lagu tersebut tanpa perasaan Pain tadi. Apakah serta merta ia masuk ke kategori Grunge?
Lalu ia berdalih, bagaimana mungkin Anda menyuruh saya membawakan lagu dengan perasaan pain? Saya tumbuh dari keluarga baik-baik, orang tua harmonis, golongan atas, pendidikan saya bagus, cinta kasih cukup, segala fasilitas tersedia bahkan dengan standart yang mewah. Saya tak kenal mahluk yang namanya Pain itu.
Namun tentu saja saya masih punya hak dong untuk membawakan lagu grunge. Saya sudah mengkoleksi semua CD dan file MP3 band-band Seattle tersebut. Saya telah dibiayai orang tua untuk kursus musik sejak kecil dan sekarang teknik musik saya sudah cukup. Melalui majalah, internet dan DVD saya sudah mempelajari tentang riwayat band-band tersebut. Bahkan ada teman saya yang pernah tetanggaan ama anak-anak Pearl Jam dan Soundgarden di Seattle. Saya tau banyak, namun saya tidak punya yang namanya pain tersebut. Bukan salah saya dong.
Ya mas, kamu memang tidak salah. Tapi juga jangan salahkan saya kalau saya tidak berjoget menontonmu, tidak ikut bernyanyi mendengarmu, tidak tergerak oleh musikmu. Karena saya tidak perduli kamu les musik di mana, koleksi CD mu berapa, bajumu apa, temenmu siapa, atau tagihan internetmu berapa, tapi ketika saya mendengarkan musik yang katanya grunge, namun satu kata yang keluar adalah Pretentious, saya pengen pulang aja rasanya. Terus nyari-nyari CD Sub Pop 200 dan memasangnya kenceng-kenceng sambil nglamun. Tentu saja nglamunin jaman dulu, jaman grunge, yang forever hidup dalam kenangan.
Diilhami oleh Buku Blink, CD Sub Pop 200, seseorang yang bertanya melalui sms, “Kalau aku dalam satu kata apa?”, seseorang yang berkata melalui messenger “kadang-kadang terlalu banyak membaca itu tidak baik”, dan sebuah lagu berjudul Forever Grunge:
“Forever grunge, I want to be forever grunge,
Do you really want to live forever?
Forever, forever… Forever grunge…”
(Alphaville / Forever Grunge)
PENUTUP
Sebagai penutup, menarik untuk disimak tulisan Ahmad Mujib dalam desantara.org sebagai berikut:
Tampaknya musik bagi grungies bukan lagi sekedar musik lagi. Lebih dari itu, bagi mereka musik disamping media ekspresi, juga adalah ideologi yang senantiasa berhubungan dengan perilaku hidup dan cara mereka menanggapi realitas yang ada. Musik adalah ruh dari ekspresi anti kemapanan yang mereka nyatakan. Grunge dengan segala seluk beluknya memang senantiasa kontroversial, beberapa kalangan menganggap mereka sebagai generasi X yang berarti generasi yang cuek dan tidak punya masa depan, dan generasi asal-asalan tanpa keteraturan hidup dan rencana.
Demikianlah begitu mahalnya harga sebuah kebebasan berekspresi hingga mereka yg berbeda harus dipandang buruk, harus dimusuhi dan harus ditertibkan. Pada akhirnya, pertanyaan untuk anda semua adalah masihkah tersisa satu ruang untuk menjadi berbeda? dan mulai kapan kita mampu merayakan perbedaan dengan tawa bersama bukannya dengan saling mencibir dan memaki?
TAMBAHAN-TAMBAHAN
A. BAND GRUNGE INDONESIA YANG LAYAK UNTUK DIKETAHUI
Berikut ini adalah daftar band-band grunge Indonesia yang layak untuk diketahui, versi zine WASTED ROCKERS:
1. Plastik Band ini memang bukan berasal dari scene indie. Album-album mereka juga dirilis oleh label mainstream (walaupun mereka tidak pernah mendapat popularitas yang besar). Plastik tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai band grunge, akan tetapi sound mereka sangat kental akan pengaruh grunge, blues, hard rock, bahkan reggae! Meskipun band ini sudah bubar, musik mereka tetap influental dan didengar oleh scene grunge lokal dan penggemar local alternative-rock act sampai sekarang, sehingga menjadikan status mereka sebagai “cult” di industri musik Indonesia.
2. Toilet Sounds Band ini adalah bukti nyata imbas dari kepopuleran Nirvana. Kalau dulu Australia punya “Baby Nirvana” yakni Silverchair (meskipun sekarang sound dari Silverchair sudah tidak lagi grunge), maka Indonesia punya Toilet Sounds! Sampai-sampai band ini sempat masuk MTV dan manggung di Singapore. Sayang sekali band ini musiknya menjiplak mentah-mentah Nirvana, sehingga di setiap gig-nya, penonton lebih mengharapkan mereka meng-cover lagu Nirvana daripada lagu dari Toilet Sound itu sendiri. Band ini sempat merilis dua buah album, setelah itu tidak terdengar lagi kabarnya. Imitators always fade fast…
3. Seek Six Sick Meskipun band ini adalah band noise-rock, tetapi mereka lebih eksis di scene grunge. Band asal Yogyakarta ini sudah merilis tiga buah album studio dan sebuah album live. Memiliki penggemar yang loyal seantero Nusantara.
4. Navicula Salah satu band pelopor grunge di Bali. Sudah merilis beberapa buah album. Sempat mencicipi major label, imbas dari “Invasi Band Bali” kala itu (berkat kesuksesan Superman Is Dead). Selain itu sempat juga menjadi korban arus nu-metal/rap-rock, dengan memasukkan seorang DJ di line-up mereka. Thank God, it didn’t last long…
5. Bolong Front-man dari band ini, Egy, adalah bos di balik www.totalfeedback.com, situs portal grunge terbesar di Indonesia. Situs ini membantu menyebarkan gaung grunge di Indonesia. Sedang band-nya sendiri Bolong, sudah merilis beberapa buah EP dan aktif merilis single via album-album kompilasi grunge lokal. (salah kaprah) dengan mengklaim musik mereka sebagai “Punk-Grunge” yang (tentunya) menuai banyak olokan, padahal musik mereka tidak lain tidak bukan adalah Noise-Punk atau 80’s crossover hardcore/punk, yang sudah dilakukan sejak dulu oleh: Black Flag, Void, Flipper, Scream, dll.
6. Klepto Opera Band noise-rock asal Surabaya yang berpengaruh di scene grunge lokal, terutama di kota asalnya. Turut aktif membangun scene, dengan meng-organize show, menulis fanzine dan merilis album kompilasi. Klepto Opera sudah mengeluarkan beberapa rilisan. Masih aktif sampai sekarang. Pecahan dari band ini sekarang membentuk Ballerina’s Killer.
7. Sunblind Sebuah band kecil asal Jakarta yang tidak begitu dikenal oleh scene grunge lokal. Meskipun begitu mereka aktif mengkritisi scene grunge lokal dengan opini-opini positif serta saran yang membangun. Tapi sayang, karena banyak kepala di scene grunge lokal yang masih berpikiran sempit dan tidak ingin membuka diri, maka Sunblind memutuskan menyerah. Band ini sudah menyatakan diri sign-out dari scene grunge. Sunblind sudah merilis sebuah EP dan beberapa buah single.
8. Sporadic Bliss Band heavy-rock/grunge dari kota Solo. Dikenal karena salah satu band grunge awal di kota tersebut. Sudah merilis sebuah EP, album-demo dan beberapa buah single album kompilasi. Semenjak ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh salah seorang personilnya, nasib dari band ini belum jelas.
9. Snorg Proyek alter-ego dari bos Deathrockstar (situs musik indie terbesar di Indonesia) yang bernama Eric. Formatnya fleksibel, bisa menjadi band ataupun solo performance. Band ini sudah merilis sebuah album-demo dan beberapa buah single kompilasi. Salah satu artis lo-fi/noise (bukan noise-rock) pertama di Indonesia. Kini telah beralih nama menjadi Abort.
10. Nic Fit Band ini adalah band noise-rock/experimental-rock pertama di Indonesia. Berasal dari Bandung. Berdiri pada tahun 1994. Dulu dikenal sebagai spesialis peng-cover Sonic Youth. Sangat dikenal di scene grunge Bandung (era 90-an). Masih aktif sampai sekarang. Sudah merilis dua buah EP dan beberapa single album kompilasi.
11. Superabundance Band noise-pop/lo-fi/indie-rock asal Bandung. Band ini adalah hasil merger dari pecahan beberapa band grunge/indie-rock lawas Bandung (termasuk Nic Fit). Mereka semua adalah penggiat di scene Jl. Purnawarman (salah satu komunitas grunge/indie-rock di Bandung). Sudah merilis sebuah LP dan beberapa buah single kompilasi.
Penulis juga menambahkan pasukan band grunge yang juga turut berkontribusi bagi perkembangan scene grunge tanah air, diantaranya adalah:
Anarexia, Arhenia, A Stone A, Asylum, Alibaba, Babi Pincuk, Ballerina’s Killer, Ballqshoot, Bangkurt, Beesvak, Besok Bubar, Blue Ilution, Blueberry, Bobrock, Brengkesan, Bruug, Bubble Gum, Catch the Fever, C2in, Chapterocks, Chicklet Sound, Coburn, Chrash Valentine, Cupitos Mosquitos, Cupumanik, Daily Feedback, De@tlant, Demolish Therapist, Drop Out, D3pression, Ever378, Flu Tulang, Funeral Remain, Gerbong 77, Grumble Grunt, Hebola, Hyper Youth, In Cloud, Instalasi, Jag Stang, Jerami, JunkHead, Koma, Konsleting Kabel, Kostum, Kucing Dapur, Libido, Liittle Seattle, Looney Loner, Manual, Miniatur Bumi, Minoriten, Minus, Moist Vagina, Navicore, Napkin, No Bodies Perfect, Noise Bleed, Nikotin, Nir X, Noir, Noise!, Nol Persen, Opname, People Noid, Pion, Pino Sound, Planet, Potpuri, Qurahii, Rai Kodok, Rearon, Respito, Revenge the Painful, River, RSJ, Sane Fermentation, Sheath, ShockBreaker, Silentium, Silver, Sixteen, Slip Tongue, Slum, Smoke n’ Coffee Club, Sonic Death, Sound Error, Sound Ngehe, Smile Duck, Solychip, Stoner Witch, Strees Sound, Street Distorsi, Stripe Plus, S’truk, Suck Me, Sunday Freak, Sunday Morning, Syndrome Noise, Territorial Polybreed, the Jerk, the Morning Calm, the Mumet, the Northside, the Patient, Toilet Room, Uptights, Valium, Vertigo dan masih banyak lagi yang belum tersebutkan.
B. KOMUNITAS GRUNGE INDONESIA
Beberapa komunitas grunge yang pernah maupun masih eksis dalam membantu perkembangan scene grunge tanah air dan sempat tercatat oleh penulis antara lain:
Tangerang Grunge Civil Depression Crew, Mitra Drunkommunitas, Barudak Bonen, Dead Youth Communicate, Jakarta Grunge People, We Are Grunge Bandung, We Are Grungy Girl Communty, We Are Grunge Cilegon, Komunitas Blok M Grunge, Magetan Grunge, Barudak Kobam, United Grunge Vandalism Cirebon Timur, Malang Undergrunge, Cilegon Grunge, Youth Grunge Pasuruan, Surabaya Grunge Community, Kuningan Grunge, Kuman (Komunitas Grunge Magetan), Bekasi Poster, Komunitas Brungetakan, Independent Suckomunity, Bangau Crew Palembang, Independent Youth Society Palembang, Distorsion Independent People Lampung, Depok Grunge, Jogjakarta Grunge People, Singosari Street Grunge, Serang Grunge, Denpasar Grunge, Ungaran Grunge Keluarga Bangsat, Solo Grunge Busuckomunity, Mosher Syndicate, Ngenthoot Community Semarang, Ambarawa Grunge, Tegal Grunge Community, Pekalongan Grunge, Sidoarjo Grunge People, Cijantung Grunge People, Sawangan Grunge Community, North Jakarta Undergrunge, Duren Sawit Grunge Community, RawTapes Murder ($killed Artists Militant), dan mungkin masih banyak lagi yang belum sempat tercatat.
C. PAMFLET-PAMFLET ACARA GRUNGE INDONESIA
D. NEWLETTER GRUNGE INDONESIA
Busuckommunity Solo more Contribution, #1st issues POPULIS ITU MANIS
Ada stimulan menarik dari suatu pembatasan musik yg ditimbulkan oleh media bahwa musik iini tergolong jenis ini & lagu itu tergolong musik lain , hal ini sah sah aja apabila kita tidak pandang secara salah kaprah bahwa satu dengan yg lain di pertentangkan dalam pandangan yang sempit dengan sedikit mengerutkan kening kita utk melanggar suatu kode etik tentang kekerasan, drug, sex, graffitikill , anti-social, sampai masalah DEVOTE….apakah kita harus pikir bahwa hal itu disikapi dari luar & ditelan mentah2. Apa kita anggap bahwa punk/underground mustahil buat lagu yang berisi tentang ajakan untuk percaya tuhan, atau kaum populis harus selalu ikut mainstream & tidak akan pernah buat lagu sexism ? ANJING….kita ini sudah ditipu mentah…….ketika kita pertama kali dengar distorsi kita buka pikiran & pasang telinga visualkan jiwa untuk masuk dalam pemberontakan norma. Meski kita akui bahwa menyatakan gagasan memang sulit … satu kali saya sempat bawa kaset sonic youth/confusion is sex kepada temen deket … dia sempet bilang “wah..musik apaan nih.kok ruwet banget, nggak trendy nih..!it’s doesn’t matter orang boleh menilai apa saja tentang musik …tapi bagi saya itu merupakan chaotic & pada dasarnya {kalau mengutip tulisan di confusionzine} chaotic merupakan keteraturan tingkat tinggi satu tingkatan dimana ada harmonisasi yang asik & sangat menjiwai propaganda harus ada rekayasa visual dalam otak kita bukan kita apatis pada lingkungan ironis memang ,dalam keseharian kita selalu diiringi oleh KONTAMINASI KAPITALIS mereka selalu menjanjikan & memberi yg enak langsung jadi , nggak usah mikir “they say jump you say how high”…….GOBLOK!!!!!!!!..Untuk itu kita harus bangkit jika kita tidak lakukan dari sekarang kita akan berdiri dengan omong kosong, tanpa hasil di hari esok marilah berangkat dari abal-abal ,borok, follower kita hindari suatu pembodohan materi. KONSOLIDASI MATI ZZZZZZZZZZZZ….ZZZ..Z.ZZZ!!! BUSUCKOMMUNITY. muffin@dynamitemail.com
Bangku Taman EDISI# I (for free!!!)
NGALOR NGIDUL TENTANG GRUNGE
Oh ya, jika ada pertanyaan tentang maksud diterbitkannya newsletter, aku rasa adalah sangat perlu bagi kita untuk saling bertukar informasi mengenai apa saja yang berkaitan dengan “Grunge!”. Dan kebetulan dalam sekali seminggu aku mengadakan diskusi asal-asalan yang pesertanya adalah mereka yang mau diajak berdialog dan bertukar informasi apa saja mengenai Grunge yang kebetulan sering nongkrong di pojokan perempatan Mitra. Dan secara kebetulan pula peserta diskusi/dialog asal-asalan ini sebagian besar dalam keadaan mabuk(dope!), jadi nggak perlu dimasukin hati apabila ada pernyataan yang membuat kalian tersinggung.
>>ARTI KATA GRUNGE
Diskusi ini diawali dengan pertanyaan, apakah arti Grunge ? Arti kata Grunge itu sendiri sudah aku cari dalam kamus Bahasa Inggris, Bahasa Perancis dan juga Bahasa Jerman yang masing-masing katanya adalah kamus paling lengkap, tetapi nggak ada penjelasan tentang kata tersebut. Bahkan dalam kamus bahasa “slang” Amerika terbitan Gramedia hanya ada dua kata yang mirip Grunge. Yaitu Grungt yang artinya muak dan Grung yang artinya muram. Sedangkan salah satu responden diskusi menambahkan ada satu kata lagi yang mirip yaitu Grunchy yang artinya jorok.(Arti kata Grunge itu sendiri mungkin ada diantara kalian yang lebih tahu? aku mohon dengan amat sangat untuk saling bertukar informasi).
>>SEJARAH MUSIK GRUNGE (Versi 1)
Musik Grunge diawali trend pemunculannya pada awal tahun ’80an walau telah ada sebuah band yang memainkan musik Grunge yang telah muncul pada tahun ’60an yaitu Crosby, Still, Nash dan Young(Literatur:sejarah Musik Dunia, Gramedia). Bahkan group band ini sempat memeriahkan WoodStock’69(bagi yang ingin dengerin penampilannya silahkan kirim kaset kosongnya biar nanti aku copykan). Disini mereka menyumbangkan 3 tembang Grunge dalam versi unplugged. Kemudian grup musik ini bubar karena kalah dengan trend Punk pada tahun ’70an. Hanya tinggal Neil Young yang tetap bisa beradaptasi dan bertahan sehingga membuatnya dijuluki “The Godfather Of Grunge”. (sumber:Majalah Hai edisi WoodStock)
>>SEJARAH MUSIK GRUNGE (Versi 2)
Dalam salah satu konsernya Jimmy Hendrik beratraksi dengan gitarnya menuangi cat dengan berteriak “Grunge!” maka jadilah sebuah aliran musik yang bernama Grunge(ha..ha..haaa did you ever believe that bullshit!). Okelah mungkin memang benar Jimmy Hendrik mengucapkan kata Grunge, tetapi apa hanya karena itu sejarah musik Grunge tercipta dimuka bumi ini ? Of Course Not!. Sejarah suatu aliran musik tentulah melewati suatu fase-fase yang panjang, salah satunya adalah gaya hidup.
>>GAYA HIDUP GRUNGE
Suatu musik pastilah terpengaruh oleh gaya hidup yang dianut, contohnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Begitu pula Musik Grunge sangat dipengaruhi oleh gaya hidup NgeGrunge. Lalu kalian pingin tahu gaya hidup Grunge yang sebenarnya? Bener kalian pingin tahu? Kalian sudah siap sakit hati? Okelah kalau kalian sudah siap untuk sakit hati. Gaya hidup Grunge yang sebenarnya adalah Sampah!.. It’s True!. Bahwa gaya hidup Grunge yang asli dari sononya memang adalah gaya hidup yang erat kaitannya dengan sampah. Mereka makan sehari-harinya dari sampah yang dipungut dan dari koin recehan yang dilempar orang,hidup dari tunjangan sosial pemerintah, tidur mabuk di trotoar atau di bangku-bangku taman, sekali-kali ngompas dan melakukan tindak kriminal dan banyak hal lain yang kurang pantas untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah mengapa para musisi pengusung musik Grunge menolak dengan tegas apabila mereka dijuluki musisi Grunge! Mereka antara lain :
Sound Garden dan Alice in Chains. Mereka lebih bangga disebut musisi Hard Rock (pernah lihat album mereka dalam HardRock Compilations#1).
SilverChair dan Pearl Jam lebih bangga jika disebut musisi Alternatif/modern Rock. Hal ini dibuktikan pendapat dari Daniel John(SilverChair) yang mengatakan dirinya sangat menyukai musik Grunge tetapi menolak dengan keras jika disebut musisi Grunge. Dia menolak karena mereka mempunyai fasilitas, mereka kuliah,hidup layak dan kemana-mana naik mobil.
Dan yang ini mungkin paling menyakitkan sorry guys…Sad But True! Nirvana dan Kurt Cobain juga menolak disebut musisi Grunge. Cobain sendiri lebih senang disebut Punkers, karena mereka lebih bisa berfikir dan menyelami jiwa masing-masing, bukan hanya karena lagunya enak lantas mereka menari dalam berbagai istilah (pogo,moshing,ect..) tetapi nggak tahu apa yang mereka inginkan disampaikan dari lagu tersebut. Cobain sangat membenci ulah anak-anak Grunge yang sedemikian apatis dan egois (ingat lyric In Bloom? Lets check the Lyric!). Kalian pernah melihat t-shirt “Grunge is Dead ” ? kalo kepengen lihat bisa sekalian aku copykan. Cobain sendiri sebenarnya pingin membentuk Nirvana band Punk (do you remember ?). Ini dibuktikan bahwa dengan pendapat Christ Novoselic yang menjelaskan bahwa Cobain sebenarnya menginginkan Nirvana menjadi sebuah band Punk bernuansa seperti Sex Pistols tetapi karena ia kekurangan referensi maka jadilah Nirvana menjadi sebuah band Punk yang aneh!(oh..well)
Tetapi band-band tadi sependapat dalam satu hal bahwa Grunge bukanlah gaya hidup yang mereka anut walaupun mereka memainkan musik Grunge, tetapi lebih pada unsur bahwa Grunge is Soul yang mencerminkan tentang kejiwaan yang redup, bercerita tentang sisi lain dari dunia yang orang lain menganggapnya sinting dan lebih pada sifat koreksi pada diri sendiri(gimana kalian setuju nggak dengan yang satu ini?). Di Amerika sendiri kaum Grunge berbaur dalam kehidupannya sehari-hari dengan kaum Punk dan ketika ditanya kenapa nggak sekalian masuk ke musik Punk? Mereka menjawab bahwa itu adalah masalah selera, tidak semua orang menyukai hamburger, ada juga yang suka steak atau hot dog(masuk akal juga). Lalu bagaimana ciri dari musik Grunge yang mereka sukai itu? Seorang Punk Traveller yang baru saja berkunjung dari Seattle memberikan sedikit penjelasan padaku mengenai musik kaum Grunge disana. Disana mereka berkumpul dalam setiap sudut sepanjang trotoar sambil memainkan instrument musik, berteriak-teriak nggak keruan tetapi dalam konteks musik tersebut dan menganggap bahwa musik tersebut adalah penyampaian dari isi hati mereka(mirip dengan musik soul tetapi yang ini lebih nggak keruan).
>>PERKEMBANGAN MUSIK GRUNGE
Bagaimana perkembangan musik Grunge di daerah asalnya sana? Jawabannya adalah: menurun drastis! Bahkan sekarang disana muncul lagi dengan trend baru dari musisi pengusung / yang memainkan musik Grunge(tahu khan bedanya musisi Grunge dengan musisi pengusung Grunge?). Trend baru ini disebut Seattle Sounds Coopment yaitu pengembangan dan pencampuran antara musik Grunge dengan musik Seattle Sound(lain waktu mungkin akan aku ulas mengenai seattle sound berdasarkan data yang aku peroleh). Para pengusung Seattle Sounds Coopment ini antara lain: Creed dan juga dapat dilihat dari album terbaru Bush dan Pearl Jam, sedangkan SilverChair dengan kecerdasannya dalam bermusik telah berhasil menggabungkan antara Grunge, Seattle Sound dengan musik kontemporer dan Modern(industrial). Mereka menyebutnya “Musik of Future”(well down). Yang paling mengesankan justru perkembangan musik Grunge di Australia, oh ya di Australia kaum Grunge berbaur dengan penduduk asli sana yaitu kaum Aborigin. Mereka bersatu dan bekerja sama karena musuh utama mereka adalah kaum BONE HEAD. Dan hal ini sama sekali tidak membuat pemerintah untuk membuka matanya menyelamatkan suku Aborogin walau pernah perkampungan mereka dibakar habis!(kalau mengenai ini aku dengar dari wartawan Australia yang kemarin nongkrong di kampus dan bicara omong kosong selama lebih dari dua jam). Kembali ke topik pembicaraan semula! Perkembangan Musik Grunge disana terdongkrak dari kebijaksanaan pemerintah setempat dalam bidang kepariwisatannya. Musik Grunge disana dimasukan dalam agenda pariwisata, dicetak namanya dalam pamflet dan brosur-brosur dan main di Pub-pub elite sekelas dengan musik Jazz dan mempunyai penggemar dan pencinta seni dari kalangan elite pula(sumber: Agenda Pariwisata Australia th’98; perpustakaan Departemen Pariwisata Seni dan Budaya Jawa Timur).
KESIMPULAN DARI NEWSLETTER INI :
Kita menyimpulkan bahwa Grunge adalah Jiwa(Grunge is Soul),bukan gaya hidup yang dianut oleh sebagian besar musisi pengusung musiknya.
Kita tahu adanya perbedaan antara musisi Grunge dengan musisi pengusung Grunge(kalian termasuk yang mana?).
Aktif berfikir dan berorganisasi yang positif sehingga menjadikan musik Grunge sebagai musik pergerakan, musik yang meneriakkan kemuakan kita terhadap apa saja yang kita anggap perlu untuk diubah. Dalam hal ini kita tidak boleh kalah dengan Punk/Hardcore yang telah melaju meninggalkan kita. Sekali lagi mari kita tinggalkan jiwa apatis dan egois yang kita adaptasi dari kaum Grunge. Dalam hal aktif berorganisasi positif ini banyak dari musisi pengusung Grunge dan Seattle Sound yang dapat kita teladani. Mereka antara lain :
1. Christ Novoselic(Sweet’75), Aktif mengurusi dan menggalang dana bagi organisasi yang peduli dengan kaum pengungsi korban perang.
2. Dave Grohl(Foo Fighter) dan Sonic Youth, bersama mereka aktif menggalang dana dengan mengadakan konser-konser amal keliling kampus demi kemerdekaan Tibet(Concert of Tibetan Freedom).
3. SilverChair, aktif dalam kampanye perlindungan terhadap hewan, menentang perburuan hewan liar dan percobaan kimia terhadap hewan(Animal Liberation Organization).
4. SilverChair dan Pearl Jam, aktif dalam organisasi menjaga kelestarian laut(check compilations Album: Music for Our Motheroceans).
5. Bush, aktif dalam organisasi semi politik melawan segala bentuk rasisme(Artist Against Racism).
Kesimpulan terakhir dari Newsletter ini adalah : segera tinggalkan sikap eksklusivisme!! mulailah belajar untuk bergaul dan berbaur tanpa merasa yang satu lebih tinggi dari yang lainnya dan menganggap bahwa musik adalah bahasa pemersatu. Kalian ingatkan bahwa di Amerika kaum Grunge berbaur dengan Punk dan di Australia mereka berbaur dengan suku Aborigin. Nah ! mereka yang sehari-hari otaknya dicekoki oleh alkohol saja bisa bergitu kenapa kita tidak ?
NewsLetter ini Disusun oleh : Yoyon KLEPTO OPERA berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa media dan juga responden. Thank You.
Fuck Copyright
Bangku Taman #EDISI II
Salam UnderGrunge!
Terima kasih sekali lagi atas perhatian dan respon atas terbitnya Bangku Taman Edisi #1. Seperti yang harapkan bahwa newsletter ini merupakan sarana untuk berdiskusi bagi kalian yang menggemari musik Grunge dan bagi penggemar musi lainnya yang peduli dengan perkembangan dan kemajuan scene Grunge yang ada di Indonesia, karena itu segala bentuk informasi sangat diperlukan disini. Dari berbagai surat yang masuk kami simpulkan tentang topik yang diajukan pada edisi# 1 yaitu :
Musik Grunge sangat layak disejajarkan dengan aliran musik lainnya dalam jalur musik Underground. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana lirik dan perilaku para pengusung musiknya yang rata-rata bersifat memberontak terhadap tatanan yang tidak berkenan di hati mereka dan perlu untuk dirubah. Para pengusng musik Grunge banyak menjadi pelopor organisasi kemanusiaan(baca Edisi # 1).
Tentang mengapa banyak yang memandang sebelah mata terhadap musik Grunge disini karena mayoritas hanya menampilkan lagu-lagunya Nirvana. Kenapa kita harus memandang sebelah mata ? bukankah bebas menampilkan lagu siapa saja merupakan hak subuah band ? Dan itu merupakan suatu keberhasilan tersendiri dari Kurt Cobain sebelum ia meninggal ternyata berhasil mengkloningkan embrio musiknya pada hati setiap penggemarnya(sumber: resensi album Toilet Sound majalah 13 Zine). Dan itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi anak-anak Grunge untuk membawakan buah pikiran Cobain yang melegenda dalam setiap pentasnya.
Tetapi jika kalian menampilkan lagunya Nirvana hanya karena bingung dan tidak tahu bagaimana bentuk musik Grunge dan siapa saja para pengusungnya maka ini ada sedikit saran yang mungkin saja ada gunanya. Pertama kalian lihat atau amati sebuah band terkenal, kalian dengar lirik dan musiknya, apabila reaksi kita setelah mendengarkan musik dan liriknya kita benar-benar terbawa dalam suasana emosional spontan maupun psychedelic(terharu,marah..dsb). Dan biasanya musik yang mengiringinya pun bersifat dominan(kasar ataupun juga rumit) maka band itu dapat kita golongkan mengusung musik Grunge. Lalu apa bedanya dengan HipMetal yang sedang naik daun dan mempunyai karakter yang menimbulkan reaksi emosional spontan yang hampir sama? Kita perhatikan juga beat-beat musiknya dan sekali lagi perhatikan lirik! karena band-band pengusung musik Grunge sebagian besar selalu membungkus suasana redup tersebut dalam lirik-lirik yang benar-benar rapi terselubung dalam puitisasi yang barangkali sangat susah untuk dimengerti apabila tidak ada penghayatan sama sekali. Kita jangan gusar apabila band-band pengusung Grunge tidak mau disebut band Grunge karena memang banyak sekali daeri mereka yang bukan berasal dari komunitas Grunge(baca: edisi# 1). Dan sebagian besar mereka hanya menampilkan sedikit lagu yang beraliran musik Grunge dalam setiap albumnya, mereka ini lebih cenderung senang di sebut mengusung musik eksperimental atau alternatif musik. Mereka ini antara lain adalah : Smashing Pumkins(R.I.P), Radio Head, Stone Temple Pilots dan lainya, yang setiap hit-hit singlenya jelas-jelas menampilkan musik beraliran Grunge. Yang paling penting adalah : Jangan pernah menampilkan musik dan lagunya NIRVANA hanya karena berpikiran sempit takut tidak ada yang akan merespon, tidak ada yang pogo, moshing dsb..ini semua demi perkembangan dan kemajuan scene Grunge sendiri!. Dan sedikit informasi lagi, walau di Inggris kurang begitu mengakui dan merespon musik Grunge(sumber: Hit Parader’Zine; interview with Bush), tetapi media disana bahkan menganggap bahwa Blur dan Oasis bukan mod tetapi beraliran British Grunge, karena banyak lagu-lagu andalannya jelas-jelas beraliran dan mengusung musik Grunge!.
Lalu bagaimana dengan Scene Grunge Indonesia sendiri ? secara pribadi saya menanggap bahwa band Grunge terbagus(walau mereka akan menolak dengan tegas dikatakan mengusung musik grunge) adalah PLASTIK !!.. simak saja lagu-lagu mereka terutama pada album pertama yang benar-benar muram dan terbungkus dalam lirik yang sangat puitis untuk ukuran sebuah band lokal. Memang jika dibandingkan dengan scene musik Underground lainnya, kita sangat kesulitan dalam memperoleh referensi kaset-kaset Underground import yang mengusung musik Grunge. Tapi jika kamu berminat mendengarkan kamu bisa hubungi band-band berikut :
Home Store : beraliran Alternative Grunge, terbentuk pada tahun 1997 di Hamburg. Personelnya antara lain : Chris(Vocal) dan Hendrik(Drums) kemudian pada tahun 1998 Sara(Bass) dan Annika(Gitar) ikutan gabung dan pada bagian-bagian lagu tertentu bersifat Aggressive Grunge. Jika kamu pingin dapetin albumnya kamu dapat menghubungi atau mengirim surat ke alamat : Christian Ohde Su derquerweg 159 21037 Hamburg
Coma Town : beraliran Profesional Melodic PostGrunge, terbentuk pada tahun 1998 di Trowbridge English West Country. Personelnya antara lain : Chris Turtell(Vocal) dan Will Lunn(Drums) Richard Cappock(Bass) dan Robert Plan(Gitar). Lagu-lagu dari Coma Town menceritakan tentang kenyataan di Brithania, kegelapan/kesuraman hidup, drugs dan pengaruh lainnya juga rasa frustasi yang berkepanjangan.
Satu lagi dedengkot pengusung musik Grunge dari Seattle yaitu : Mudhoney. Modhoney adalah kelompok pengusung musik Grunge yang terkenal sangat cuek berat. Mereka baru saja merilis album jika sedang moodnya lagi memungkinkan atau pas lagi mau saja. Karya pertama dari Mudhoney adalah single “Touch Me I’m Sick” dibuat pada tahun 1989, setelah itu baru menyusul “Peace of Cake”. Yang kemudian disusul oleh album My Brothers the Clow, dengan formasi lengkapnya yaitu : Dan Peters(trapset, marimba), Matt Lukin(Bass), Steve Turner(Gitar), Mark Arm(Gitar,Vocal). Selain mereka ada juga pemain musik tamu yaitu John Wahl(Harmonica) untuk lagu Orange Ball-Pen , Renestair EJ. Album ini digarap oleh Produser Jack Endino dan dibuat di the Ranch, yaitu Studio yang terletak di lantai dasar sebuah Bar di Distrik East Like, Seattle. Kemunculan grup seperti Nirvana dan Sound Garden tak bisa lepas dari jasa Mudhoney. Hubungan mereka sangat dekat dan Peters misalnya pernah ikut membantu pengerjaan lagu Slivernya Nirvana. (yoyon)
Fuck Copyright © 2002 TotalFeedBack
Bangku Taman EDISI# III (for free!!!)
EDISI KHUSUS “POST GRUNGE”
“sorry…sorry dan sekali lagi sorry..apabila edisi ketiga ini benar-benar lambat dalam pengeluarannya karena beberapa hal yang tidak bisa di jelaskan terutama faktor ngak gablek modal dan faktor males sehingga bikin tambah molor dan molor. Terima kasih sekali atas tanggapan dan responden dari surat-surat yang telah masuk kepada kami dan kami tidak akan membalas apabila tidak disertai perangko balasan atau memang suratnya tidak sampai (terima kasih juga atas surat-surat yang disertai sumpah serapah karena tidak kami balas)”.
Pada Edisi kali ini kami akan mengemukakan tentang ‘post grunge‘. Post Grunge atau ada juga yang salah tulis dan salah sebut sehingga menjadi poss grunge(sengaja atau tidak tahu??) adalah suatu rekayasa dari perusahaan-perusahaan musik tertentu saja bekerja sama dengan media pers untuk mengangkat kembali demam musik Grunge yang sempat melanda dunia terutama di Amerika dan Australia(demam hal-hal yang berbau Grunge berawal pada akhir 80′an dan berakhir pada pertengahan 90′an). Sehingga Post Grunge sendiri diartikan secara harfiah adalah masa-masa sesudah Grunge. Lalu apakah Post Grunge itu sendiri ? walaupun mempunyai hampir semua ciri khas dari musik yang dibawakan oleh para grungies atau yang biasa disebut orang awam sebagai musik Grunge, tetapi pada kenyataannya Post Grunge tak jauh berbeda dengan Grunge atau bisa dikatakan secara tegas yaitu : Post Grunge tidak sama dengan Grunge!!! Kaget? Kalau kalian banyak informasi tentang Grunge tentu saja hal ini tidak membuat kaget sama sekali karena memang pada beberapa situs-situs Grunge diluar negeri sudah banyak yang menginformasikan mengenai masalah ini(makanya kalau lagi main internet/browsing jangan cuma chating gaul sama buka situs-situs porno aja yang diklik!!! ha ha haa). Dalam hal musik Post Grunge seperti halnya musik-musik yang dimainkan oleh para grungies, mempunyai persamaan dalam hal-hal tertentu seperti sound gitar dan effect yang kasar(over distorsi), lirik-lirik tentang kemuraman dan juga feedback bahkan mereka juga mengambil lirik-lirik tentang kehidupan sosial jalanan seperti halnya Grunge. Lalu apa bedanya? Kalo Band-band Grunge merupakan band-band alami yang terbentuk karena persamaan pandangan juga latar belakang kehidupan dan sosial yang dialami oleh para personilnya(walaupun rata-rata mempunyai keahlian yang sifatnya ‘otodidak’ tetapi menghasilkan nada-nada yang unik dan benar-benar fantastic sehingga dapat merusakan telinga siapa saja yang benci pada musik ini. Disamping itu lirik-lirik yang mereka hasilkan benar-benar suatu produk jenius yang benar-benar puitis dan tidak bisa dihasilkan begitu saja tanpa mengalami sendiri apa yang mereka rasakan dalam lirik tersebut). Nah setelah demam hal hal yang berbau Grunge mulai perlahan-lahan memudar hal ini tidak dibiarkan begitu saja oleh para perusahaan-perusahaan rekaman besar atau yang biasa disebut Major Label(Fuck,bangsat!!!) yang hanya memikirkan kantong pribadi, mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan demam Grunge dan salah satu upaya mereka adalah berusaha menciptakan suatu Trend(fuck again!!!) baru yang akhirnya disebut sebagai Post Grunge. Untuk lebih mempermudah penjelasannya marilah kita melihat bagan strukturnya sebagai berikut :
Demam Post Grunge sendiri ditandai dengan munculnya band-band baru baik dengan wajah-wajah atau personil band-band grunge yang lama maupun yang sama sekali baru dan merupakan bentukan dari Industri rekaman. Band-band tersebut antara lain adalah : Eel, Candle Box, Radish, Failurem Brat Mobile, Daisy Chainsaw, Love Battery, Chaterine Wheel, Silverchair, Live, Creed, dll. Benarkah band-band tersebut bangga/mengaku sebagai band-band Post Grunge???.Tidak sama sekali!!! Mereka tidak ada satupun yang mengakui bahwa band mereka adalah Post Grunge, sebagai contoh adalah SilverChair, band asal Australia yang telah hijrah ke Seattle tersebut membantah bahwa band mereka adalah Post Grunge. Daniel Johns sendiri mengatakan bahwa musik mereka adalah Alternatif Future Music. Sedangkan Chaterine Wheel mengaku band mereka beraliran Black Metallic(bukan Black Metal!). Live mengaku band mereka beraliran Modern Soul dsb. Lalu darimana kalian memperoleh informasi bahwa band mereka adalah Post Grunge??? Saya berani menyimpulkan dengan pasti disini bahwa kalian tentulah yang memperoleh informasinya dari media-media gaul(shit!! seperti : Hai, Kawanku dll, yang sering ngawur dalam mencari informasi musik karena mereka hanya mencari informasinya secara sepihak. Dan tentu saja agar majalahnya menarik dan laku dijual tanpa berfikir kalau kadangkala itu merupakan pembodohan besar-besaran!!(anak gaul mana yang mau tahu masalah ini!!). Kesimpulannya adalah bahwasanya tidak berguna sama sekali apabila kita bangga mengaku bahwa band kita Post Grunge karena hal tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan musik Grunge itu sendiri. Mereka hanyalah permainan komer-SIAL belaka dari para pihak-pihak industri rekaman yang didukung sepenuhnya/bekerja sama dengan mediapres dengan tujuan: uang!!! Mendukung sepenuhnya Post Grunge sama saja dengan membunuh sepenuhnya terhadap Grunge. Karena Grunge sendiri ada karena kepahitan hidup bukan karena trend atau gaul semata-mata. Kita musti mengingat bahwa pada kemunculan Era Grunge mereka ditolak mentah-mentah oleh pihak industri rekaman maupun sesama pencinta karena dianggap musik asal-asalan dan tidak jelas. Karena itulah band-band yang walaupun muncul setelah demam Grunge memudar menolak mentah-mentah band mereka dikatakan beraliran Post Grunge. Kalau sebelum News Letter ini beredar, kita bangga dengan Post Grunge saya dapat memaklumi karena kita semua sangat minim dalam pengetahuan tentang Grunge, bahkan saya dulunya bangga dengan menyatakan dalam News Letter ini pada edisi# ke 2 bahwa band asal Surabaya Klepto Opera beraliran Psychelic and agressive Post Grunge, tapi jangan pernah ada kata terlambat untuk belajar dan memberi tahu sesama pencinta musik Grunge, informasi apa saja yang berkaitan dengan Grunge(termasuk informasi tentang acara dimanapun tentu saja karena kita tidak berdiri sendiri dan kita butuh sesama teman untuk saling mendukung agar Grunge tetap eksis didunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya). Kita musti mengingat munculnya Grunge karena kemuakan dan dibenci oleh masyarakat. Nah, disinilah letak perbedaanyang mendasar dengan Era Post Grunge yang muncul karena perusahaan rekaman menghendaki kemunculannya, supaya mereka mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya dari jenis musik maupun trend ini. Biarkan Grunge tumbuh secara alami ditengah masyarakat.(yoyon)
AKAL SEHAT, JIWA SAKIT e-news Issue#1 D.I.Y GRUNGE STILL A LIVE
Hello… rockers!! , Salam dan sakit jiwa semua. Bagaimana kabar kalian semua apakah masih depresi atau semakin gila ? ha..haa..haa Untuk issue pertama kali ini aku akan membahas masalah POSEUR, BOROK dan FOLLOWERS. Masalah poesur mungkin oleh beberapa pihak sangat mengganggu bahkan bisa membunuh akan keberadaan suatu scene tersebut, atau mungkin sebuah proses perjalanan yang panjang untuk mencapai tujuan yang ideal. Tetapi menurut pandanganku sendiri poseur bukanlah suatu hal yang harus di penci atau pun di musuhi bahkan di jauhi. Kenapa aku bisa berkata seperti itu …? Karena menurutku dan kita tidak usah memungkirinya bahwa sebelum diri kita mengerti akan scene GRUNGE ini, pasti sebelumnya kita mengalami poseur terlebih dahulu. Poseur menurut aku itu merupakan istilah dimana untuk menyebut seseorang yang hanya sekedang ikut-ikutan saja tanpa mengetahui arti dari yang ia ketahui. Contohnya seperti seseorang memakai kaos band-band Grunge lokal mau pun luar, mendengarkan lagu/musik Grunge (kebanyakan hanya sebatas NIRVANA) lalu ia pun mengklaim dirinya sebagai grungies. Sedangkan dia sendiri tidak mengetahui apa artinya, apa arti Grunge itu sendiri, bagaimana gaya hidupnya, bagaimana etikanya, maupun hal-hal lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Sedangkan poseur sendiri dapat diakibatkan oleh minimnya pengetahuan atau informasi akan hal-hal yang ingin ia ketahui atau juga bisa dikibatkan oleh trend yang di eksploitasi besar-besaran oleh media gaul(hai, kawanku, mbs dll..) yang mencari informasi hanya sepihak saja, tanpa memikirkan akibatnya, yaitu merupakan pembodohan besar-besaran. Contohnya mereka ( majalah gaul ) selalu mencari informasi sepihak saja, selalu mementingkan segi komersialitas tanpa memikirkan dampak dari pemberitaannya dan selalu membahas Nirvana dan Kurt Cobain dan selalu mengatas namakan Grunge. Lagi-lagi menimbulkan kesan yang rancu di kalangan Grunge ada yang bilang Grunge adalah Nirvana.
Apakah kita harus menyalahkan media gaul tersebut akan masalah poseur ini, tentu tidak aku pikir disini merupakan salah kita juga kita tidak usah munafik akan keberadaan majalah gaul tersebut yang juga kadang dapat membantu untuk mendapatkan informasi yang berasal dari luar negeri (tetapi kebanyakan bohong yang dibesarkan) karena mereka selalu memikirkan segi penjualannya saja. Sekali lagi aku hanya ingin tekankan untuk setiap komunitas, band atau orang yang peduli kepada scene Grunge terutama yang mungkin lebih mengetahui atau memiliki informasi yang lebih atau artikel-artikel tentang Grunge atau juga pengalaman lainya, agar bersedia memberikan atau mensosialisasikan informasi kepada sesama Grungies. Tanpa ada maksud untuk menggurui tapi tetapi hanya agar sesama Grunge dapat terjadi komunikasi yang dinamis. Karena hal ini dapat membantu untuk kemajuan scene Grunge itu sendiri untuk menghilangkan rasa apatis, utopis dan kekurangan lainnya.
Sehingga perlahan-lahan kita membunuh scene Grunge itu sendiri dan ini aku rasa adalah hal yang paling jitu dari pada kita membenci poseur. Berilah mereka informasi sehingga mereka yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak mengerti menjadi mengerti. Dan kita perlu ingat sebelum kita mengetahui akan mengalami proses poseut terlebih dahulu. Dan juga kita pun perlu ingat, bahwa kita berdiri di scene ini tidak sendirian. Kita butuh sesama teman untuk saling bertukar fikiran atau diskusi dan saling mendukung agar para Grunge tetap tumbuh HIDUP SECARA ALAMI DI TENGAH MASYARAKAT. Sekali lagi aku mengingatkan, terlebih dari diriku sendiri untuk diriku sendiri dan bagi kalian sendri janganlah memberi sifat egois dan apatis serta utopis dalam tubuh scene Grunge ini, yang justru secara mau tidak mau akan membunuh kita sendiri. Mungkin tulisan aku ini bisa membantu. Dan aku tidak bermaksud menggurui kalian yang mungkin lebih mengetahui dari aku. Tapi aku mengajak kalian untuk berkomunikasi tentang masalah Grunge lainnya.
Newsletter ini di susun oleh Doyok(Imigrunge records) dari berbagai nara sumber dan koresponden. Terima kasih.
E-mail : imigrunge_isdead@yahoo.com
Corong Zine Issue#3 (What is Grunge ?)
Salam Pembebasan !!!
Pada edisi ini ada sedikit perubahan pada Newsletter ini, yang terlihat mencolok adalah perubahan nama dari LAWAN menjadi CORONG. Hal ini di lakukan untuk sekedar mempertegas bahwa newsletter ini adalah media perjuangan kawan-kawan underground serta mungkin bisa menjadi salah satu media untuk memperluas wacana tentang apa yang kita cita-citakan.
Pada edisi ini, kami mencoba untuk mengkritisi atau membedah kembali wacana kita tentang apa yang sering-sering di sebut “DEPRESION PEOPLE” atau biasa di sebut “GRUNGE”. Disini kami bukan maksud menggurui kawan-kawan lain yang mungkin lebih tahu mengenai hal ini tetapi kami hanya ingin mengajak kawan-kawan lainnya untuk berdiskusi tentang apa yang menjadi virus dan terus menggelembung didalam benak kita tentang apa sebenarnya GRUNGE tersebut dan bagaimana memaknainya.
Kami berharap newsletter ini bisa menambah wacana kita dalam berfikir dan kami pun mengajak kawan-kawan lain untuk bersama-sama mengembangkan wacana ini ke arahyang lebih progesif(maju). Satu hal lagi kami menerima tulisan atau pun sekedar hujatan dari kawan-kawan untuk kemajuan kita bersama (“Menggagas perubahan, membangun masyarakat tanpa penindasan”).
>>HISTORY OF GRUNGE
I. Sejarah Perkembangan Musik
Pada jaman manusia mengenal peradaban, manusia telah mengenal apa itu musik. Pada jaman itu musik hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara-upacara adat dan ritual-ritual kepercayaan untuk menyembah dewa dan roh nenek moyang saja. Pada perkembangannya, setelah memasuki peradaban manusia modern, musik mengalami pergeseran fungsi dari sekedar pelengkap upacara-upacara adat dan berbagai macam ritual kepercayaan dan sebagai media untuk mengekspresikan ide-ide atau pikiran dan menjadi lahan yang subur untuk menncari uang sekaligus menjadi sebuah profesi atau lapangan pekerjaan.
Berdasarkan definisi musik yang merupakan hasil dari ide-ide dan pikiran manusia yang di tuangkan ke dalam sebuah susunan nada-nada yang menyatu menjadi sebuah irama, maka musik pun mengalami perkembangan yang sangat mempengaruhi pola pikir bahkan pola hidup manusia. Sampai saat ini sudah terdapat ratusan bahkan ribuan jenis musik, dari yang sangat sederhana sampai dengan yang penuh distorsi. Bahkan tidak mungkin di masa yang akan datang muncul jutaan bahkan milyaran lagi jenis musik baru seiring dengan perkembangan jaman yang sudah barang tentu mengubah pola pikir masyarakat dunia.
Pada edisi ini, kami akan membedah sedikit banyak tentang salah satu dari banyaknya musik di dunia yaitu GRUNGE, karena kami anggap jenis musik ini mempunyai peranan yang besar dalam mengubah wajah musik dunia.
II. Penyebab Munculnya GRUNGE
Pada era 80-an muncul sebuah gerakan penolakan oleh para musisi di kota Seattle-Washington yang lebih di kenal dengan isitilah “Seattle Sounds” terhadap tatanan atau aturan-aturan baku dalam bermain musik bahkan etika dalam bermain musik. Karena bagi mereka aturan tersebut sudah terlalu mengekang, menindas bahkan membunuh kreatifitas mereka dalam mengekspresikan idealisme yang mereka miliki ke dalam suatu bentuk syair dan aturan nada yang tertata dalam satu kesatuan yang indah untuk di dengarkan tanpa harus berpatokan pada suatu aturan yang baku. Bagi mereka sebuah musik bukan di nilai dari susunan iramanya tetapi di titik beratkan dari jiwanya, tentang apa yang mereka yakini atapun yang mereka lihat dan rasakan di lingkungan pribadi ataupun masyarakat dunia, bukan menjadi sebuah boneka seni yang terlalu kaku bahkan terkesan terlalu dipaksakan agar bisa di terima oleh pasar(komersil !!!).
III. NIRVANA=GRUNGE, Apakah GRUNGE=NIRVANA?
Kami kira disini harus ada sebuah pelurusan sejarah tentang bagaimana kita memaknai GRUNGE baik dari sisi pribadi sang pangeran Cobain yang kami yakin beliau tidak berfikiran sesempit yang selama ini kawan-kawan dunia yakini, serta dari sisi para pengusung Grunge yang lainnya (yang kami yakin juga punya pemikiran bahwa ini harus di luruskan). Dunia mungkin melihat bahwa Cobain adalah Grunge tetapi apakah Cobain ingin dirinya disebut seorang Grunge ? hal ini pun masih dalam sebuah tanda tanya besar, malah realitas yang ada Cobain mengaku beliau adalah seorang “Punkers“. Pertentangan ini mungkin bukan saja dibicarakan pada newsletter ini, bisa jadi diseluruh dunia pun memperdebatkannya. Kami kira tidak perlu diperpanjang lagi, mungkin kita mulai saja membedah Grunge dari sisi “Sang Pangeran Cobain“. Cobain pada awalnya adalah seorang anak muda yang merupakan produk Broken Home yang terbiasa dengan kehidupan jalanan. Berdasarkan referensi yang ada Cobain berkeinginan untuk menjadi seorang musisi seperti idola remaja pada waktu itu seperti sex pistols atau pun yang lainnya. Setelah mengalami berbagai macam pengembaraan (kami yakin kawan-kawan disini sudah sudah tahu bagaimana sejarah Cobain) akhirnya Cobain menemukan media untuk menumpahkan idealismenya kedalam suatu bentuk musik, media itu adalah bandnya yang bernama NIRVANA. Melalui Nirvana Cobain melakukan pertentangan dan perlawanan terhadap etika yang baku dalam bermusik, terbukti dengan sounds Nirvana yang keras, tak beraturan bahkan full of distortion, yang kalau orang awam mendengarnya akan mengatakan…(maaf)…tetapi itulah kebebasan yang Nirvana yakini. Tentang apakah NIRVANA adalah GRUNGE. !!!
Grunge, menawarkan sebuah kebebasan baru dengan memberikan ruang bagi para penganutnya untuk memuntahkan idealisme, kemarahan, kekecewaan lingkungan bahkan cinta kedalam sebuah hasil karya seni yang tidak hanya bisa dinilai dengan uang tetapi lebih dari itu. Bukan hanya kebebasan, Grunge juga menawarkan sebuah penolakan terhadap sebuah kemapanan yang mereka yakini akan menjebak mereka kedalam sebuah lautan kemersilitasyang dilakukan oleh para kapitalis atau lebih di kenal dengan Major Label.
Apabila kondisi yang terjadi ketika penganut Grunge cenderung depresif, mungkin di karenakan oleh perkembangan Grunge yang katanya di komandoi oleh NIRVANA dengan figur Kurt Cobain yang mati dengan sebutir peluru dikepalanya dan sepiring cocain serta surat wasiat yang bernada ‘kekalahan’. Kami kira Kurt Cobain tewas bukan karena depresi tetapi Sang Pangeran Cobain tewas bunuh diri karena beliau sudah jauh melenceng dari apa yang sudah diyakininya, tentang makna dari Grunge yang anti terhadap kemapanan dan nyatanya beliau terjebak dengan kedalam lingkaran kemapanan. Bisa jadi juga karena pengaruh drugs yang selama hidupnya dikonsumsi setiap hari.
Sudah jelas apakah ini sebuah resistensi atau depresi, tergantung kepada pemikiran dan cara kita memaknai arti sebuah gerak perubahan yang dinamakan GRUNGE tersebut. Dan kami yakin kita pun punya pemikiran yang berbeda, tinggal bagaimana kita nanti mendiskusikannya kedalam sebuah newsletter lagi atau forum-forum lain yang tersedia di berbagai media atau malah menjadi seorang hypocrite yang tetap berjalan dengan pemikiran sempit kita tentang apa arti sebuah gerakan perubahan. (COBAIN WAS DEAD BUT THE DAWN OF GRUNGE STILL SHINE ).
Ini sering menjadi sebuah perdebatan yang tidak pernah mencapai suatu kesimpulan yang memuaskan banyak pihak dan disini bukan kami punya kesimpulan tersebut tetapi kami mencoba menawarkan sebuah pemikiran tentang apa yang Cobain yakini dan apa yang para penganut Grunge lain yakini.
Pada awalnya Grunge lahir dari komunitas kaum seni yang tergusur oleh derasnya arus perkembangan budaya mainstream (budaya yang sudah baku) yang terkontaminasi oleh campur tangan orang-orang yang memanfaatkan seni tersebut menjadi sebuah komoditi yang mengutamakan keuntungan dengan mengikuti kondisi pasar yang ada, dengan kata lain pembunuhan idealisme seniman untuk berekspresi. Hal ini terbukti dengan banyaknya Major Label yang menawarkan jasanya untuk mengorbitkan seniman tersebut menjadi lebih populer dengan berbagai macam kriteria bahkan aturan agar seniman ini lebih mempunyai harga jual tinggi di pasaran (harga karyanya bisa jadi harga dirinya) dengan tidak memperhatikan bagaimana keinginan sang seniman untuk mengekspresikan hasil karyanya berdasarkan idealisme yang di yakini. Mari kita lihat Grunge dari sisi Seattle Sounds yang lain seperti The Melvins, T.A.D, SoundGarden, Mudhoney atau pun yang lainnya. Kami kira ini hanya permasalahan siapa yang paling populer, yang jelas Nirvana lebih mempunyai popolaritas yang lebih dibanding dengan band-band seattle lainnya yang juga menganut Grunge bahkan juga punya andil besar dalam mengangkat nama Grunge ke permukaan dan sekaligus men- Grunge – kan dunia. Oleh karena itu kami yakin kawan-kawan bisa menarik benang merah dari pembahasan diatas yang telah kita coba bedah bersama-sama.
IV. Grunge : Depresi atau Resistensi ?
Berdasarkan dari sejarah kemunculannya, Grunge di yakini merupakan sebuh gerakan penolakan / perlawanan terhadap pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Oleh karena itu kami mengajak kawan-kawan untuk membedahnya kembali makna dan apa sebenarnya Grunge itu. Apakah sekedar depresi sang pangeran Cobain atau resistensi (perlawanan) musisi-musisi Seatte Sounds.
Newsletter ini di terbitkan oleh:
Independent Youth Society, Palembang.
Untuk Kritik, saran & pengiriman artikel atau sekedar hujatan kirimkan ke :
Corong Press : Jl. May. Ruslan No.2059, 9 Ilir Palembang Sumatra Selatan 30113
Email : corong@justice.com
E. BER’DANSA’ ALA GRUNGE
‘Dansa’ ala grunge biasa disebut dengan moshing. Moshing pada dasarnya adalah sebuah ekspresi bermusik yang terdapat dalam suatu kerumunan konser atau gig (pertunjukan musik). Selain terdapat pada musik grunge, moshing juga seringkali terdapat pada konser rock, punk, dan metal yang sedang melangsungkan penampilan live.
Sebuah artikel yang berjudul “How Mosh Pit Change My View of Generation X” yang ditulis oleh Andrew Reding justru membuktikan bahwa tindakan moshing justru jauh dari unsur-unsur kekerasan yang sebenarnya. Dalam artikel tersebut, dengan gamblang Andrew memaparkan pengalamannya dalam melakukan moshing. Hal yang paling mengesankan baginya ketika melakukan moshing, maka pada saat itu terlihat begitu jelas betapa orang-orang disekitarnya sangat memperhatikan keselamatan rekannya saat berada di mosh pit. Menurut pengakuannya juga, saat moshing dilakukan, maka hilang batas usia, status sosial, kekayaan. yang ada adalah solidaritas dan kepedulian yang tinggi orang-orang disekitar, pada keselamatan temannya.
Ia juga memaparkan perubahan sikap seseorang di area mosh pit sebagai berikut: “sudah berkali-kali saya melihat orang yang bertampang kasar ternyata sangat bertanggung jawab”.
Sangat sulit untuk mendefinisikan sebuah arti “mosh” tanpa melihat dengan mata kepala sendiri atau mengalami sendiri.
Di suatu gig, kerumunan akan sangat bersemangat untuk saling berbenturan, menabrakkan diri satu sama lainnya ketika musik sedang dimainkan. Tetapi, sebenarnya tidak ada maksud sedikitpun untuk melukai diri sendiri ataupun melukai sesama penikmat musik lainnya, walaupun pada prakteknya banyak juga yang terluka. Tetapi hal ini cenderung lebih mengarah ke hasrat untuk menikmati musik dengan cara yang lain. Percayalah, ‘dansa’ dengan cara ini lebih menyenangkan daripada segala jenis dansa yang pernah ada, dan jauh lebih menyenangkan daripada hanya sekedar berjoget.
Moshing dimulai setidaknya sebelum era punk. Mungkin sekitar abad 18. ketika orang-orang mulai menari dengan saling menabrakkan diri dalam sebuah tarian artistik. bagaimanapun juga, para arkeolog pernah melakukan penelitian bahwasanya moshing pernah dilakukan semenjak jaman batu. Bukti-bukti otentik tentang hal ini masih dipertanyakan.
Jika kamu merencanakan untuk menerjunkan diri ke suatu area moshing, pastikan untuk memakai pakaian yang nyaman dan tidak melukai diri sendiri dan orang lain. Biasanya pakaian yang dianggap nyaman dan “sopan” adalah memakai t-shirt bergambar atau bertuliskan band favorit. Bagi yang sudah terbiasa moshing pasti tahu, tidak akan memakai pakaian yang bisa membuat kulit kepanasan. Karena moshing adalah sebuah aktifitas fisik intensif yang akan membuat kulitmu keringatan dan kepanasan. Tapi terserah selera kalian.
Memakai sepatu boot atau yang berbahan keras sangat disarankan untuk menghindari jari-jari kaki terluka, atau tergencet parah. Pastikan tali sepatu terikat kencang. Karena seandainya sepatu kalian copot, lupakan untuk mencarinya di sebuah mosh pit. Percayalah, itu mimpi buruk.
Jika area mosh pit lebar, maka itu akan membuatmu leluasa melakukan segala aktifitas moshing. tetapi jika areanya sempit, maka kamu harus benar-benar bisa menyesuaikan diri. Karena terutama di sebuah gig kecil, tidak akan kamu temui pihak keamanan atau pihak medis jika kamu sampai terluka. Maka kenalilah sekitarmu dahulu sebelum kamu melakukan moshing.
Berikut ini beberapa jenis moshing yng sudah kita kenal.
- BODY SLAM
Moshing ada berbagai cara. salah satunya adalah yang dikenal sebagai body slam. Yaitu gerakan melompat setinggi-tingginya ke udara, kemudian saling berbenturan badan satu sama lain, dan biasanya dikombinasikan dengan gerakan pogo. Hal ini akan mengakibatkan kontak badan dengan sesama mosher, tutama pada anggota tubuh bagian atas.
Metode lainnya adalah dengan saling menarik dan mendorong orang-orang ke dalam sebuah area, menggunakan kedua belah tangan. Ingat, harus saling mengkontrol agresi ini. Karena tujuannya bukan untuk saling melukai. Lakukanlah dengan sedikit perhitungan.
- STAGE DIVING
Aktifitas moshing yang satu ini biasanya dilakukan oleh sebagian besar mosher terutama jika disana lengkap ada sekuriti panggung yang bersedia membantu. Stage diving jauh lebih berbahaya daripada moshing biasa, tetapi benar-benar pengalaman yang menyenangkan. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah pit yang lebar dan sesak, serta pastikan beberapa temanmu ada di sana, untuk menangkap tubuhmu saat kamu melakukan stage diving.
Jika ingin melakukan stage diving di sebuah gig kecil, hal-hal yang perlu untuk diperhatikan, adalah pastikan ada beberapa hal berikut:
1. Panggung yang rendah, mudah dipanjat, dan hanya ada sedikit penonton yang melakukan lompatan brutal dari atas panggung.
2. Banyak keamanan panggung yang bersedia membantu melakukan stage diving.
3. Tidak ada pemisah antara panggung dengan arena untuk melakukan stage diving.
Ada kalanya kamu bisa melukai diri sendiri atau orang lain. Atau yang lebih buruk lagi, kamu bisa mempermalukan diri kamu sendiri di depan umum, jika kamu tidak sukses ketika melakukan stage diving. Hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah tetap tertawa, jangan perdulikan apapun. Jika kamu jatuh ke lantai, bangunlah secepat mungkin, jauhkan jari-jari tanganmu supaya tidak terinjak.
Bagaimana cara melakukan stage diving yang sukses: Pertama, kamu harus bisa mendekati bagian depan arena, sedekat mungkin dengan panggung. Adalah ide yang bagus apabila memeriksa terlebih dahulu kerumunannya seperti apa. Jika disana sudah banyak yang melakukan stage diving, berarti kerumunanny sangat asyik. Dibutuhkan waktu sesaat untuk menilai demi keamananmu sendiri, jangan memaksakan diri apabila keadaan kerumunan tidak memugkinkan. Waktu yang tebaik saat melakukan stage diving adalah saat bagian chorus lagu sedang dimainkan, karena kamu bisa lebih lama berada diatas.
Sekarang, yang perlu dilakukan hanyalah berdiri di pinggir panggung. Carilah kerumunan yang padat, jauh dari peralatan band. Waktu akan berjalan dengan sangat cepat saat kamu melompat untuk melakukan stage diving. Jadi, persiapkanlah diimu sebelumnya.
Yang perlu kamu pikirkan saat berada di atas, adalah bagaimana kamu bisa bertahan lebih lama diatas tubuh orang-orang tersebut. Cara terbaik adalah dengan merentangkan tubuhmu sehingga lebih banyak orang yang bisa menjangkau untuk mengangkat tubuhmu. Disarankan untuk telentang daripada melakukannya dengan telungkup, karena akan melindungi bagian tubuhmu yang rawan, semisal perut, dan lain-lain. Bernafaslah sebisa mungkin, nikmati rasanya seperti saat kamu menyelam di laut.
- CROWD SURFIN
Untuk membedakan, crowd surfin hampir sama dengan stage diving. Tetapi disini tidak perlu harus ke depan terlebih dahulu, atau naik dari pinggir panggung untuk melompat. Yang perlu dilakukan, hanyalah naik kepunggung yang lain, terus melompat, berguling-gulingan diatas orang lain, larut dalam kerumunan dan merentangkan tangan agar orang-orang bisa turut mendorong atau menarikmu.
Crowd surfin biasanya dilakukan hanya jika kerumunan benar-benar padat dan tanpa kamu sadari, saat melakukan crowd surfin dan kamu sedang berada di dalamnya, bisa saja tiba-tiba kamu nanti sudah berada di atas panggung. Jadi, kenapa tidak sekalian melakukan stage diving? akan menjadi suatu kombinasi yang menyenangkan. Tetapi, berhati-hatilah agar tidak tertangkap pihak keamanan panggung. Karena mereka akan menarik dan mendorongmu, tanpa sempat kamu mengetahui siapa yang melakukannya.
F. GRUNGE 10 TOP LIST MENURUT SITUS GRUNGE 101 HISTORY
1. the Melvins “Revolove”.
2. Alice in Chains “Junkhead”.
3. Mad Season “Artificial Red”
4. Mudhoney “Touch Me I’m Sick”.
5. Nirvana “Very Ape”.
6. Pearl Jam “Alive”.
7. Silverchair “Tomorrow”.
8. Soundgarden “Black Hole Sun”.
9. Gruntruck “Tribe”.
10.Tad “Jack Pepsi”.
G. ALBUM-ALBUM GRUNGE (SEATTLE SOUNDS) EDISI KOLEKTOR
Berikut ini daftar beserta penjelasan singkat deret album grunge (Seatle Sounds) terbaik yang banyak diburu oleh para kolektor;
1. Green River “Come on Down” (1985;EP)
Dirilis pada bulan September 1985, Green River tak dapat disangkal lagi, dibentuk pada waktu yang sama dengan band-band gelombang pertama Seattle (the Melvins, Soundgarden, dan Malfunkshun).
Pada tahun 1985, mereka menjadi band grunge pertama yang merilis rekaman, memulai tendangan pertama untuk scene musik Seattle dan kemudian berjasa dalam menentukan nasib label Sub Pop.
Bagaimanapun juga, Green River bahkan lebih terkenal setelah tumbuh dan berkembang pasca perpecahannya: menjadi Mudhoney dan Mother Love Bone, yang kemudian juga merupakan akar dari band bernama Pearl jam.
Green River berguna untuk diperdengarkan, tetapi bukan sesuatu yang menentukan masa depan cerah yang dapat dinikmati oleh para personilnya.
Track penting:
  • Swallow my Pride
2. Various Artists – Labels – Sub Pop “Sub Pop 100″ (1986; Compilation)
Diilis pada bulan Juli 1986, “rekaman pertama” Sub Pop dirilis. Rekaman ini hanya dibuat sebanyak 5000 copi. Membuatnya sangat populer di kalangan para kolektor. Tak satupun band grunge besar yang ikut serta dalam rilisan kompilasi tersebut.
3. Melvins “10 Songs” (1991; EP)
Dirilis pertama kali pada tanggal 8 Februari 1986. Rekaman pertama “the Melvins” ini menandai dimulainya beberapa album mereka setelah itu. Tetapi tidak lagi terjadi sampai pada tahun1993 ketika mereka beralih ke major label.
Ketika the Melvins telah tumpul dan menjadi sesuatu yang diulang-ulang, tempat mereka dalam sejarah rock sangatlah menarik, meskipun hanya dalam catatan kecil yang diucapkan oleh Kurt Cobain.
The Melvins merupakan band post-punk yang bersuka ria dengan sound lamban dan berat ala Black Sabbath.
“Musik mereka adalah kelambanan dan berat yang tidak dapat ditahan lagi, secara besar-besaran, telah memberikan gundukan lumpur hitam” -AMG.
4. Various Artists – Labels – C/Z Records “Deep Six” (1986; Compilation)
Dirilis pada Maret 1986. Kompilasi “Deep Six” (catalog#CZ001) merupakan rilisan pertama kali C/Z Records, beberapa bulan sebelum dirilisnya “Sub Pop 100″ oleh Sub Pop Records.
Rekaman ini juga tak dapat dibantah lagi, merupakan rekaman pertama yang ikut mempengaruhi apa yang kemudian dikenal sebagai “Seattle Sounds”, atau yang lebih dikenal oleh dunia sebagai grunge.
Daftar track “Deep Six”;
  • Green River – 10.000 Things
  • The Melvins – Scared
  • The Melvins – Blessing the Operation
  • Malfunkshun – With Yo’ Heart (Not Yo’ Hand)
  • Skin Yard – Throb
  • Soundgarden – Heretic
  • Soundgarden – Tears to Forget
  • Malfunkshun – Stars-N-You
  • The Melvins – Grinding Process
  • The Melvins – She Waits
  • Skin Yard – The Birds
  • Soundgarden – All Your Lies
  • Green River – Your Own Best Friend
  • The U-Men – They
“Album ini kemudian dirilis ulang atas kerjasama C/Z Records dengan A&M Records. Dirilis pada 6 April 1994″- Wiki.
5. Green River “Dry as a Bone” (1987; EP)
Dirilis pada Juni 1987 oleh Sub Pop. Dianggap sebagai rilisan pribadi Green River yang berkharakter paling kuat. “Dry as a Bone” telah menemukan bagi grup band tersebut kesempurnaan dari kerapuhan dileburkan dengan seraknya hard rock era 70an dan post-hardcore punk. “Dry as a Bone” kemudian dikombinasikan dengan “Rehab Doll”, yang mana mengingatkan orang akan nilai jual Green River.
6. Soundgarden “Screaming Life” (1987; EP)
Dirilis pada 1 Oktober 1987, “Screaming Life” adalah debut EP dari band grunge Seattle Soundgarden, dirilis pada Oktober 1987 oleh Sub Pop. Direkam di sebuah Studio Reciprocal oleh Jack Endino, yang juga memproduseri album-album dari Nirvana dan Mudhoney. “Screaming Life” kemudian dikombinasikan dengan EP selanjutnya dari band tersebut,”Fopp” dan dirilis sebagai “Screaming Life/Fopp” pada 1990.- Wiki.
Track penting:
  • Hunted Down
7. Green River “Rehab Doll” (1988)
Dirilis pada 1 Mei 1988.
Tak lama berselang setelah “Rehab Doll” dimunculkan, Green River secara resmi dibubarkan.
Arm bergabung kembali dengan Turner untuk membentuk Mudhoney yang lebih punk, ketika Gossard, Ament, dan Fairweather bergabung dengan mantan vokalis Malfunkshun- Andrew Wood dalam Mother Love bone yang lebih glam.
Rilisan akhir Green River merupakan sesuatu yang berada di tengah-tengah antara grunge dan metal/corp rock.- AMG.
Track penting:
  • Rehab Doll
8. Mudhoney “Touch Me I’m Sick/Sweet Young Thing Ain’t Sweet No More”
(1988; Single)
Dirilis pada Agustus 1988.
Nirvana mungkin adalah band yang memperkenalkan seluruh generasi pada Flannel, dan Pearl Jam serta Soundgarden diantara keduanya menjual rekaman dalam jumlah besar, tetapi Mudhoney adalah band yang memungkinkan pergerakan grunge rock era 90an terjadi. Mudhoney adalah kisah sukses pertama untuk Sub Pop Records. Scene indie mereka sukses meletakkan pondasi untuk pergerakan yang dalam waktu singkat membuat Seattle, WA, menjadi ibukota rock and roll dunia yang baru, dan mereka mengambil campuran dari rendaman – keringat – dan – tekanan – gas – penuh – bertenaga – bir, bercampur aduk dengan otot heavy metal dan garage rock primitif, yang kemudian lebih dikenal sebagai “grunge”. Memperkenalkannya kepada para pengejar trend untuk pertama kalinya, yang kemudian merubahnya sebagai harga jual tinggi untuk audiens massal yang telah bersiap untuk menerima sesuatu yang baru. Meskipun Mudhoney tak pernah menerima penghargaan finansial sebesar rekan-rekan mereka terdahulu, peran penting mereka bagi perkembangan scene Seattle tak bisa diremehkan.-AMG.
9. Soundgarden “Fopp” (1988; EP)
Dirilis pada Agustus 1988, “Fopp” adalah rilisan EP kedua Soundgarden. EP ini berisikan satu lagu orisinil Soundgarden , dua covers (lagu band lain yang dibawakan ulang), dan sebuah remix. “Swallow My Pride” adalah cover dari Green River, sedangkan “Fopp” adalah cover dari Ohio Players.-Wiki.
“EP kedua Soundgarden untuk pertama kalinya dirilis Sub Pop ini, terutama sangat tidak mengesankan saat didengar pertama kali, semenjak mereka berkubang terlalu berat dengan riff ala Sabbath dan Zeppelin, tetapi kedepannya, rekaman tersebut menunjukkan sebuah gejala bagus kemana arah yang dituju band ini.
Meskipun, Soundgarden belum sehebat seperti halnya mereka kemudian, atau juga terutama lagu-lagu mereka terlihat seperti dipaksakan, membuat album ini hanya menarik sebagai bagian dari rekaman bersejarah”-AMG
Track penting:
  • Fopp
  • Swallow My Pride
10. Mudhoney “Superfuzz Bigmuff” (1988; EP)
Dirilis pada 1 Oktober 1988, EP “Superfuzz Bigmuff” menjelaskan arti dari “Seattle Sound” dan akan seperti apa grunge selanjutnya. Mudhoney juga merupakan band kapal pemimpin Sub Pop sebelum Nirvana menjadi besar besar dengan hits “Nevermind”.
Lagu-lagu dalam EP ini kemudian dimunculkan dalam album kompilasi mereka pada 1990 “Superfuzz Bigmuff plus Early Singles (lagu-lagu awal mereka)”-AMG+Wiki.
Track penting:
  • In ‘N’ Out of Grace
11. Nirvana “Love Buzz/Big Cheese” (1988; Single)
Dirilis pada November 1988, “Love Buzz” adalah single pertama yang dirilis oleh Nirvana pada 1988 untuk Sub Pop Records, merupakan cover dari band Shocking Blue, dimana versi aslinya dirilis pada 1967 dan tidak masuk chart.
Single ini berisikan dua lagu dari debut album mereka “Bleach” (B-sidenya adalah “Big Cheese”). Single ini adalah rilisan terbatas hanya 1000 copi dan 7 yang dinomori manual dengan tangan.
12. Soundgarden “Ultramega OK” (1988)
Dirilis pada bulan November 1988, adalah merupakan ekspresi terbaik pada awal Soundgarden, Stooges/MC5 – bertemu – sound Zeppelin/Sabbath, Ultramega OK adalah sesuatu yang gelap, kegelapan, rekaman mendengung yng secara serempak merupakan tribute untuk heavy metal.
Momen terbaiknya adalah percampuran mengejutkan antara metal klasik, punk rock, dan psychedelia dari bermacam fuzz gitar, plus rasa lokal dari Green River dan te Melvins. -AMG
Track penting:
- Flower
- All Your Lies
13. Various Artists – Labels – Sub Pop “Sub Pop 200″ (1988; Compilation)
Dirilis pada bulan Desember 1988.
Dengan pengecualian the Melvins, ketika Sub Pop 200 dirilis, label ini telah memiliki hampir semua band penting Seattle dalam daftarnya. Disini terdapat 20 band yang memamerkan kemampuannya sebelum diperkenalkan pada dunia rock alternaternatif mainstream. Dan banyak band yang membantu perkembangan rock alternatif, meraih popularitasnya diperkenalkan dari siini, termasuk Soundgarden, Nirvana, Screaming Trees, dan Green River (dimana kemudian bermutasi menjadi Pearl Jam). -AMG
Daftar Track:
- “Sex God Missy” – TAD
- “Is It Day I’m Seeing?” – the Fluid
- “Spank Thru” – Nirvana
- “Come Out Tonight” – Steven J. Bernstein
- “The Rose” – Mudhoney
- “Got No Chains” – The Walkabouts
- “Dead is Dead” – Terry Lee Hale
- “Sub Pop Rock City” – Soundgarden
- “Swallow My Pride” – Fastbacks
- “The Outback” – Blood Circus
- “Zoo” – Swallow
- “Underground” – Chemistry Set
- “Gonna Find a Cave” – Girl Trouble
- “Split” – The Nights And Days
- “Big Cigar” – Cat Butt
- “Pajama Party In a Haunted Hive” – Beat Happening
- “Love or Confusion” – Screaming Trees
- “Untittled” – Steve Fisk
- “You Lost It” – The Thrown Ups
14. Mother Love Bone “Shine” (1989;EP)
EP ini dirilis pada taun 1989
Sebelum Pearl Jam, terlebih dahulu ada Mother Love Bone. Anggota Pearl Jam di kemudian hari, Stone Gossard (gitar) dan Jeff Ament (bass)adalah pendiri dari – berdasar glam/ dilengkapi punk – asal Seattle, yang mana dipimpin oleh penyanyi flamboyan Andrew Wood. Tetapi meskipun bukan karena mendapat berbagai tekanan yang tak terhitung jumlahnya, karir grup ini memang berumur pendek, bahkan sebelum benar-benar tiba waktunya tragedi itu datang. -AMG
Tack penting:
Chloe Dancer – Crown of Thorns
15. Tad “God’s Balls” (1989)
Dirilis pada awal 1989.
Tad ada diantara deretan band-band pertama yang menjalin kerja sama dengan Sub Pop Records dan merupakan pionir dari apa yang kemudian dinamakan grunge.
Debut album mereka “God’s Ball” dimunculkan pada awal 1989 dan di produseri oleh Produser Seattle yang kelak berkembang maju, Jack Endino. – Wiki
16. Babes In Toyland “Spanking Machine” (1990)
Dirilis pada tahun 1990.
Courtney Love dengan singkat menjadi anggota Babes In Toyland pada pertengahan 80an, dan mendengarkan debut album grup ini, Spanking Machine, lebih dari satu dekade setelah rilisan pertamanya keluar, mempunyai sounds yang bisa disamakan dengan blueprint (cetak dasar) dari musik yang kelak dibuat oleh Love selama penjelmaan pertama Hole. Semua kocokan gitar yang bergerigi, vocal yang menyemburkan ludah beracun, pukulan drum yang keras, dan kemarahan yang berasal dari rongga perut.
Tetapi tidak dapat didebat, bahwa Babes In Toyland-lah yang pertama kali mendapatkan sound seperti ini. dan Spanking Machine lebih memaksa dan berkekuatan emosi penuh dibanding semua yang pernah Hole rilis. -AMG
17. Mother Love Bone “Apple” (1990)
Dirilis pada tanggal 21 November 1990.
Mother Love Bone jelas-jelas adalah persembahan terhadap Led Zeppelin dan Aerosmith, dan sangat sulit untuk terleas dari pengaruh Robert Plant-nya Zeppelin dan Steven Tyler-nya Aerosmith saat penyanyi utama Andrew Wood terisak sebelum memasuki melodi hard rock yang keras.
Apple menawarkan sebuah kekokohan yang mampu berdiri pada kebaikannya sendiri. Meskipun jika Pearl Jam tak pernah ada, Apptle tetap akan mempunyai harga tinggi tersendiri.
Pada tanggal 16 Maret 1990, Wood ditemukan tak sadarkan diri di ranjangnya, karena over dosis obat-obatan. Meskipun telah ditempuh berbagai upaya untuk menghidupkannya, Wood pada akhirnya diputuskan telah meninggal dunia tiga hai kemudian. Usai sudah, grup ini memutuskan berhenti setelah merilis album Apple. -AMG.
Track penting:
- This is Shangrila
- Capricorn Sister
- Stardog Champion
18. Nirvana “Bleach” (1989)
Dirilis pada tanggal 1 Juni 1989.
Menghabiskan dana sekitar 600 dollars untuk sewa studio Jack Endino selama beberapa hari, rekaman ini “menangkap” bagaimana Nirvana saat masih mulai berkembang di panggung, masih berhutang pada kegelapan yang kemudian dikenal sebagai grunge, bahkan mereka belum menemukan suara khasnya dalam menuliskan lagu.
Bleach lebih dari sekedar sebuah sejarah aneh semenjak album tersebut menghasilkan lagu-lagu yang hebat, tetapi album ini juga bukan sebuah album klasik yang hilang. ini lebih merupakan sebuah debut dari band yang memperlihatkan potensinya tetapi tetapi belum mencapai kesana. -AMG
Track penting:
- Blew
- About a Girl
- Love Buzz
19. Soundgarden “Louder Than Love”(1989)
Dirilis pada tanggal 12 September 1989.
Bekerja sama dengan major label, Soundgarden melangkahkan kaki menuju manstream metal dengan Louder Than Love, yang lamban, menggerinda, melagukan “pegunungan” riff dari Sabbath/Zeppelin dan ratapan Chris Cornell.
Pembuatan album ini bahkan lebih gelap daripada biasanya tetapi tetap ada beberapa bagian penting Soundgarden yang dicampur disana. Hal ini berguna untuk menyaringnya melalui Louder Than Love, tetapi jangan berharap ada konsistensi pada karya mereka berikutnya.-AMG
Track penting:
- Loud Love
- Hands All Over
- Get on the Snake
- Big Dumb Sex
20. Mudhoney “Mudhoney” (1989)
Dirilis pada tanggal 1 November 1989.
Self-titled Mudhoney yang pertama, keluar sebagai bagian dari kekecewaan dari single inisial grup, dan dari selama satu dekade tersakiti oleh “pujian-pujian” pada diskografi mereka. Album ini bagus, yakinlah, tetapi tidak hebat.-AMG.
Track penting:
- You Got It
- When Tomorrow Hits
21. Tad “Salt Lick” (1990; EP)
Dirilis pada tahun 1990.
Pada bulan Maret 1990 mereka merilis EP Salt Lick, diproduseri oleh Steve Albini. Single “Wood Goblins” kemudian dirilis pada tahun yang sama, tetapi kemudian dicekal oleh MTV. -Wiki
22. L7 “Smell The Magic” (1990)
Dirilis pada tanggal 1 Agustus 1990.
Pada debut mereka yang dirilis oleh Sub Pop, Smell The Magic, L7 mulai menemukan cita rasa melodi sebagai pelengkap serangan distorsi punk mereka.
Band ini layak mendapat pujian untuk penulisan lagu dari sudut pandang perempuan yang lebih lengkap sepanjang waktu dan berterima kasihlah pada riff lagu yang berasal dari keteguhan hati, dan menandai langkah kedepan mereka melalui album ini. -AMG
Track penting:
- Shove
23. Alice in Chains “Facelift” (1990)
Dirilis pada tanggal 28 Agustus 1990.
Ketika debut album Alice in Chains “Facelift” dirilis pada tahun 1990, tumbuh suburnya scene Seattle baru saja terpantau dan terdaftar pada radar musik nasional diluar lingkaran bawah tanah, tetapi baru benar-benar berubah ketika MTV memutar video “Man In The Box”.
Meskipun pengaruh dominan mereka – Black Sabbath, the Stooges – merupakan hal yang sangat unik di scene Seattle, Alice in Chains tak dapat disangkal merupakan band grunge yang lebih menjurus ke metal, yang mana memberi mereka daya tarik tersendiri di luar lingkungan bawah tanah; semua hal, sikap sinis grup tersebut,perenungan, sound yang mencekik, memperluas terbukanyan jendela bagi scene hard rock tahun 1990.
Facelift merupakan salah satu rekaman terpenting yang turut serta menetfiapkan audiens untuk grunge dan rock alternatif diantara pendengar hard rock dan heavy metal, dan dengan sertifikat penjualan platinumnya, hal itu juga membuat Alice in Chains menjadi band Seattle pertama yang mendobrak jalan lebih lebar, sedikit lebih eksklusif dari audiens bawah tanah. -AMG
Track penting:
- We Die Young
- Man In The Box
- Sea Of Sorrow
24. Tad “8-Way Santa (Original Cover)” (1991)
Diriilis pada bulan Maret 1991.
Setelah melakukan tour bersama Nirvana, Tad kembali ke Seattle dan merekam album keduanya “8-Way Santa”. Diproduseri oleh Butch Vig (lebih dikenal karena Nevermindnya Nirvana). Album ini lebih berorientasi ke pop daripada pendahulunya “Jack Pepsi” yng kemudian menjadi lagu terkenal mereka, tetapi kemudian pepsi melayangkan tuntutan hukum berkaitan dengan pemasangan logo Pepsi pada cover single tersebut, yang mana mengganti logo Pepsi dengan “TAD” pada tempat tulisan “PEPSI”.
Tuntutan hukum kembali dilayangkan ketika cover “8- Way Santa” memuat gambar seorang pria sedang bermanja-manja di dada seorang wanita. Sub Pop kemudian merubah cover album tersebut. -Wiki
Track penting:
- Jack Pepsi
25. Temple of the Dog “Temple of the Dog” (1991)
Dirilis pada tanggal 16 April 1991.
Meibatkan personil dari Soundgarden dan apa yang kemudian menjadi Pearl Jam, album karya satu-satunya Temple of the Dog ini mungkin tidak akan pernah bisa menjangkau audiens yang lebih luas jika bukan karena Pearl Jam yang meraih kesuksesannya setahun kemudian. Karena itulah, dengan menyediakan pandangan sekilas mengenai langkah kedepan bagi Chris Cornell, dengan pengaruh sisi – Rock klasik, Temple of the Dog telah membantu menata panggung untuk album Soundgarden yang mendobrak mainstream “Superunknown”.
Album ini dimaksudkan sebagai penghormatan untukpenyanyi terakhir Mother Love Bone, Andrew Wood. -AMG
Track penting:
- Say Hello 2 Heaven
- Hunger Strike
26. Melvins “Bullhead” (1991)
Dirilis pada tanggal 3 Mei 1991,
Setelah merilis tiga album, memenuhinya dengan lagu cepat, meledak-ledak dan sesekali track yang lebih panjang, Kedelapan lagu lama Bullhead menemukan poin tersendiri bagi the Melvins, kali ini melibatkan sound melayang nan berat hampir sepanjang rentang waktu dan pada semua tempat. Jika grunge akhirnya menuju keberhasilan dengan mendobrak statusnya di Seattle, hal ini akan menjadi sempurna apabila menerima ke-mentah-an pada album ini. -AMG
Track penting:
- Anaconda
- It’s Shoved
27. Smashing Pumkins “Gish” (1991)
Dirilis pada tanggal 28 Mei 1991.
Meskipun tidak bermarkas di Seattle, band dari Chicago Smashing Pumpkins mempunyai sound yang berat ala grunge pada album pertamanya. Secara bersamaan mencampur adukkan riff-riff yang keras dan dream pop merupakan hal yang langka tetapi mendapat perlakuan khusus yang baik dalam komunitas bawah tanah sebagai sebuah langkah besar untuk menuju ke atas dan menjadi band yang akan datang.
Track penting:
- I Am One
- Siva
- Rhinoceros
- Bury Me
28. Hole “Pretty on the Inside” (1991)
Dirilis pada tanggal 1 Juli 1991
Dengan Assisten Produser Kim Gordon dan Don Fleming, Hole merekam sebuah debut brutal tanpa kompromi dengan Pretty on the Inside. Kocokan white noise dan gitar yang mendengung-dengung menguraikan perasaan-perasaan Courtney Love yang terpendam sebagus liriknya, dan apabila hal itu kemudian membuat album ini sangat sulit menyerap kemapanan, album ini juga membuat suatu prestasi tersendiri. -AMG
Track penting:
- Teenage Whore
29. Pearl Jam “Ten” (1991)
Dirilis pada tanggal 27 Agustus 1991.
“Nevermind”nya Nirvana mungkin adalah album yang telah berhasil membawa grunge dan rock alternative kepada mainstream, tetapi tidak dapat diremehkan kenyataan bahwa “Ten”nya Pearl Jam yang mebuatnya tetap bertahan disana.
Daya tarik Nirvana mungkin sangat besar, tetapi masih kurang menyeluruh; radio khusus rock saja masih menganggapnya terlalu mentah dan mirip punk, dan bahkan beberapa pecinta hard rock masih menganggapnya sebagai Misfit yang aneh.
Kedepannya, adalah mudah untuk melihat mengapa Pearl Bisa langsung datang dengan audiens yang besar. Mereka tidak se-metal Alice in Chains atau Soundgarden, dan “Empat Besar” Seattle lainnya, sound mereka berhutang pada sumbangan besar klasik rock.
Ten juga berperan selama masa persiapan yang panjang. selama band ini mengasah kemampuan materinya sebelum menuju bentuk yang fokus; hasilnya adalah suatu maha karya hard rock yang sempurna. -AMG
Track penting:
- Once
- Even Flow
- Alive
- Black
- Jeremy
30. Nirvana “Nevermind” (1991)
Dirilis pada tanggal 24 September, 1991.
“Nevermind” tidak pernah dimaksudkan untuk merubah dunia, tetapi tak ada yang pernah mengira ketika album tersebut akan menjadi hit, dan album kedua Nirvana inilah yang akhirnya merubah tempat dimana rock alternative kemudian menjadi mainstream. Hal ini merupakan sebuah kecelakaan, begitu juga, sejak Nirvana menanda tangani kontrak dengan major label, dan mereka merilis rekaman dengan sinar yang muncul ke permukaan, bagaimanapun tidak karuannya gitar mereka berbunyi.
Dan, ya, Nevermind kemungkinan sedikit lebih bersinar dari seharusnya, berkilauan dengan echo dan distorsi fuzz-box, terutama ketika dibandingkan dengan gelapnya hitam-dan-putih pada Bleach.
Hal ini bahkan tidak dihitung sebagai bagian dalam rekaman tersebut, sejak tidak hanya menjadi lebih besar dari mainstream rock manapun pada era 1991, kharakternya tidak nampak ke permukaan, ini adalah bagian dari kegembiraan musik mentah dan lagu-lagu yang menghantui. -AMG
Track penting:
- Smells Like Teen Spirit
- In Bloom
- Come as You Are
- Breed
- Lithium
- Drain You
- On a Plain
31. Mudhoney “Every Good Boy Deserves Fudge” (1991)
Dirilis pada tanggal 1 Oktober 1991.
meskipun ini adalah hasil produksi yang bagus, penambahan instrumen-instrumen pada gudang persenjataan Mudhoney, membunuh lagu-lagu yang brilian, atau kombinasi dari semua itu, Every Good Boy Deserves Fudge menemukan bagaimana Mudhoney menuju kebijaksanaan album mereka sendiri.
Ini bukan merupakan grunge yang terlalu bertenaga cepat-aneh, dan atas semua kebaikan itu ditujukan sebagai sindiran bagi Sub Pop yang kemudian mengambil alih gelombang udara. -AMG
Track penting:
- Let it Slide
- Into the Drink
32. Soundgarden “Badmotorfinger” (1991)
Dirilis pada tanggal 8 Oktober 1991.
Soundgarden tiba-tiba mengembangkan cita rasa karyanya, dengan hasil bahwa Badmotorfinger menjadi semakin jauh dari album-album terdahulunya untuk sampai pada titik ini.
Segala hal menarik tentang Badmotorfinger adalah sebuah langkah maju dari album-album terdahulu mereka- produksinya lebih tajam dan musiknya lebih berambisi, ketika penulisan lagu mengambil langkah kuantum dalam kefokusan dan kekonsistensian. Dalam melakukan ini, band ini melakukan penghapusan kegelapan berkelok-kelok sering menggoda mereka di masa lalu, merubah sandaran, set berotot yang menandai kedatangannya pada perkumpulan rock yang lebih besar.
Meskipun harapan sebagai mana biasanya adalah agar album tersebut mencapai penjualan platinum, Badmotorfinger hilang ditengah-tengah bom besar kesuksesan Nevermind dan Ten tetapi faktanya adalah, album itu semuanya adalah hasil rekaman yang bagus. Badmotorfinger termasuk susah didapat sebagai perbandingan.
Bukan hanya karena lebih melodik, tetapi album ini juga mempunyai sound yang membelit dan kenyal, penuh dengan riff yang tidak harmonis, tempo yang tidak mungkin, solo yang bertekstur gemilang, dan aneh, tuning bergemuruh. -AMG
Track penting:
- Rusty Cage
- Outshined
- Jesus Christ Pose
33. Screaming Trees “Sweet Oblivion” (1992)
Dirilis pada bulan Maret 1992.
Screaming Trees meleburkan psychedelia era 60an dan garage rock dengan hard rock era 70an dan punk era 80an. Setelah merilis beberapa album melalui indie label seperti SST dan Sub Pop. Screaming Trees pindah ke Epic Records pada 1989. Meskipun mereka adalah salah satu dari band Seattle pertama, yang menanda tangani kontrak dengan major label, grup ini tidak pernah meraih popularitas seperti halnya band dari Northwestern lainnya yang juga teman mereka, Nirvana dan Soundgarden.
Screaming Trees memulai debut major label dengan ke-mellow dan psychedelic-an mereka, Uncle Anesthesia, dengan solid, usaha yang sangat tidak diperhitungkan. Lagu-lagu terbaik disini secara mudah berada diantara yang terbaik dalam katalog mereka, dan penulisan lagunya belum konsisten. Rumpun empat tahun antara Sweet Oblivion dan pengikutnya, Dust, memastikan bahwa band ini akan turun status pemujaannya. -AMG
Track penting:
- Shadow of the Season
- Nearly Lost you
- Dollar Bill
34. Alice in chains “Sap” (1992; EP)
Dirilis pada tanggal 21 Maret 1992.
ketika dirlis, Sap adalah wahyu, serupa dengan dilemparnya EP dari 4 besar balada akustik (ditambahhkan dengan sebuah bonus track dungu) album ini melemparkan berkah melodik Alice in Chains ke relief yang menarik perhatian ketika membuka diri ke yang lebih lembt, ke sisi yang lebih melankolis dari sound mereka, sesuatu yang Facelift tak pernah mengisyarakatkan.
Disana ditemukan kedewasaan dalam kepelikan dan instrospeksi pengakuan dosa pada empat lagu pertama dimana menyajikan kesanggupan hebat Alice in Chains daripada debut yang telah mereka hasilkan. -AMG
Track penting:
- Brother
- Got Me Wrong
- Am I Inside
35. L7 “Bricks Are Heavy” (1992)
Dirilis pada tanggal 14 April 1992.
Meskipun mereka disembuhkan dari bersinarnya LA, L7 menjadi gadis poster bagi grunge, dan kemudian secara khusus lebih ke gerakan “riot grrrl” pada 1992, dengan kesuksesan seperti meteor pada album ketiga mereka, Bricks Are Heavily, ketika upaya mereka yang sebelumnya mempunyai sound kurang rapi dan tak rata, produser Nevermind Butch Vig membantu gadis-gadis tersebut memperoleh bentuknya, sound yang rapi pada Bricks, memaksa mereka untuk lebih memfokuskan pada penulisan lagu yang menendang.
Bricks Are Heavily dengan menyedihkan berusaha membuktikan untuk menjadi langkah yang memungkinkan untuk diikuti, dan band tersebut secara berangsur-angsur pudar menuju ketidak jelasan sebagai mana mereka dahulu berasal.
Track penting:
- Pretend We’re Dead
- Shitlist
- Everglade
36. Various Artists – Soundtracks – Film Soundtracks 1990-1994 “Singles” (1992; Compilation)
Dririlis pada tanggal 30 Juni 1992.
Soundtrack ini menandai grunge sebagai gerakan musikal. Ketika Nirvana telah hilang, Screaming Trees, Smashing Pumpkins, Mudhoney, dan Mother Love Bone memberikan isyarat. Rilisan awal dan sukses Alice in Chains “Would?” membantu membangun antisipasi bagi LP grup tersebut berikutnya. Film ini melibatkan cameo-cameo band-band kunci dari scene musik Seattle saat itu, seperti Pearl Jam, Alice in Chains, Soundgarden dan favorit grunge, Tad Doyle (vokalis utama band Seattle Tad dan Hog Molly).
Track grunge penting:
- Alice in Chains – Would?
- Pearl Jam – Breath
- Pearl Jam – State of Love and Trust
- Mother Love Bone – Chloe Dancer / Crown of Thorns
- Soundgarden – Birth Ritual
- Mudhoney – Overblown
- Screaming Trees – Nearly Lost you
- Smashing Pumpkins – Drown
37. Babes in Toyland “Fontanelle” (1992)
Dirilis pada tanggal 11 Agustus 1992.
Pernyataan yang lebih bertenaga dan fokus Babes in Toyland, Fontanelle, secara samar berhubungan dengan grunge selama dirilis, dan dilemparkan ke dalam gerakan riot grrrl yang berpusat di Pacific Northwest. Kenyataannya, diantaranya terdapat kebohongan, ini adalah amukan mentah ala punk dan metal yang menggerinda, membuatnya menjadi hal spiritual sekeluarga dengan L7. -AMG
38. Stone Temple Pilots “Core” (1992)
Dirilis pada tanggal 29 September 1992.
Stone Temple Pilots nenbangun fan basenya di bar-bar San Diego dalam rangka memegang kendali korporasi scene musik dan membangun tekniknya. Di tahun 1992, Stone Temple Pilots menanda tangani kontrak dengan Atlantic Records dan merilis Core di tahun yang sama. Meskipun album ini merupakan kesuksesan instan tetapi menghasilkan beberapa kritik hits yang besar sebagai hukuman terhadap Stone Temple Pilots karena mengubur yang memiliki kemampuan besar dan mengkopi band grunge lain seperti Pearl Jam, Nirvana, dan Alice in Chains. -Wiki
Track penting:
- Dead & Bloated
- Sex Type Thing
- Wicked Garden
- Plush
- Crackerman
- Creep
39. Alice in Chains “Dirt” (1992)
Dirilis pada tanggal 29 September 1992.
Dirt, adalah pernyataan artistik Alice in Chains terhadap Major, merupakan yang terpenting, kesakitan yang menderu-deru dari kedalaman kecanduan heroin Layne Staley, dan merupakan salah satu konsep album yang mengerikan yang pernah direkam. Tidak semua lagu dalam Dirt eksplisit tentang heroin,tetapi lebih mendekati setiap lagu diilhami oleh keadaan yang tidak sehat, kejijikan pada diri sendiri, dan atau pengunduran diri dari kewaspadaan diri sebelum kecanduan melemahkannya.
Dirt memberikan contoh beratnya grup ini, digerakkan oleh gitar, distorsi yang membasahi seluruh sound, dimana masih menyisakan ruang untuk Staley dan Cantrell meningkatkan kompleksitas harmoni vokal. Album ini berada diantara kritik dan kesuksesan komersial, menuju platinum pada akhir tahun dan mengingatkan band akan kesuksesan hari itu. -AMG & Wiki
Track penting:
- Them Bones
- Dam That River
- Sickman
- Rooster
- Dirt
- God Smack
- Hate to Feel
- Angry Chair
- Would
40. Mudhoney “Piece of Cake” (1992)
Dirilis pada tanggal 6 Oktober 1992.
Pada 1992, grunge telah menjadi cita rasa baru musik rock bulan ini, dan Mudhoney, secara alami merupakan kebalikan yang mana mereka menjadi sedikit bosan dengan hal itu.
Piece of Cake merupakan album debut major label band tersebut, tetapi kamu tidak akan mengiranya jika mendengarkannya. -AMG
41. Nirvana “Incesticide” (1992; Compilation)
Dirilis pada tanggal 15 Desember 1992.
Tetapi merupakan materi dari tahun 1989 hingga 1990, sepanjang rentang waktu dan melalui rintangan para bootleggers, Nirvana dan DGC merilis kompilasi yang jarang didapat, Incesticide, mendekati akhir tahun1992.
Seperti halnya banyak koleksi janggal dan dari dalam kubur, hal ini jarang terjadi, tetapi menjadi menarik sejak album tersebut menangkap kharakter Nirvana lebih baik daripada album-album resminya. Setelah semua itu, inilah band yang dilahirkan dari endapan metal era 70an, pop buble gum, kesenian post-punk, dan termasuk indie rock, semuanya ditampilkan dalam koleksi ini.
Disana tidak terdapat satu kesatuan, terlebih lagi pada sisi kedua, tetapi bagian metal yang menggerinda dengan berat dan lambat merupakan bagian yang menjadi identitasnya. -AMG
Track penting:
- Sliver
- Been A Son
- Dive
- Molly’s Lips
42. Melvins “Lysol” (1992)
Dirilis pada tanggal 15 Desember 1992.
Menjadi album Melvins yang asli dan terkenal sebagai Lysol sebelum perusahaan belakangan mengatakan bahwa produk rumah tangga ini mempunyai sesuatu untuk dikatakan sebagai permasalahan, Melvins/Lysol dalam berbagai cara merupakan puncak band pada titik itu. Disamping menjadi full-length ucapan selamat jalan pada label indie rock, setidaknya beberapa tahun, itu juga menunjukkan sebuah ambisi yang tak dapat dibantah lagi, mereka tidak akan memenuhinya ketika berada di Atlantic. Meskipun disana terdapat delapan lagu yang terpisah pada disc, album ini di mastering dan dirakit menjadi satu megakomposisi. -AMG
43. Candlebox “Candlebox” (1993)
Dirilis pada tanggal 20 Juli 1993.
Band Seattle, Candlebox mengendarai bandwagon grunge menuju kesuksesan multi-platinum di tahun 1993, meskipun menerima raungan protes dari para penganut Seattle yang mempertimbangkan musik mereka sebagai sebuah versi eceran dari artikel sebenarnya. mengambil beratnya sound dari Soundgarden dan Alice in Chains, dan menambahkan pada keduanya batasan-batasan lagu-lagu pop dan attitude album rock, Candlebox telah menjual lebih dari dua juta copy pada album pertamanya. -AMG
Track penting:
- You
- Far Behind
44. Smashing Pumpkins “Siamese Dreams” (1993)
Dirilis pada tanggal 26 Juli 1993.
Ketika Gish menempatkan the Smashing Pumpkins dalam jajaran “Artis yang Menjanjikan”, berbagai permasalahan mengancam perpecahan band. Sessi kedua usaha terbaik mereka, Siamese Dreams, ditempa dengan beraneka gesekan- Corgan seringkali harus memainkan semua instrumen sendirian. Sebagai gantinya dengan mengikuti rute punk rock yang telah ditempuh oleh Nirvana, Siamese Dreams menuju ke sisi yang berlainan. – gitar solo yang berlimpah, bersandar pada dinding sound, dengan tambahan seringnya melibatkan refleksi dan lirik yang sepenuh hati.
Debut album ini masuk ke dalam Billboard Top Ten dan menjual lebih dari empat juta copy selama tiga tahun. Siamese Dreams berdiri diantara Nevermind dan Superunknown sebagai salah satu album rock terbaik sepanjang satu dekade. -AMG
Track terpenting:
- Cherub Rock
- Quiet
- Today
- Hummer
- Rocket
- Disarm
- Mayonaise
45. Nirvana “In Utero” (1993)
Dirilis pada tanggal 21 September 1993.
Nirvana mungkin menyewa Steve Albini sebagai produser In utero dengan harapan dapat menciptakan Surfer Rosa versi mereka sendiri, atau setidaknya untuk menggalang keyakinan indie mereka setelah menjadi sebuah fenomena pop dengan sebuah rekaman punk yang mengkilat, dan itu sesulit seperti halnya catatan bunuh diri Cobain, semenjak Albini mengeluarkan kemampuan sebenarnya, sound yang tidak kompromi menyediakan setting yang semputna bagi kesuraman Cobain, meskipun dengan lirik, yang tanpa maksud. Bahkan meskipun album ini bukan sebagai catatan bunuh diri Cobain, hampir bisa dipastikan merupakan usaha menjadi sadar untuk menumpahkan audiens mereka.-usaha yang berhasil, tetapi, semenjak rekaman tersebut kehilangan momentumnya ketika Cobain meninggal pada musim semi 1994.
Meskipun band bertumpu pada taktik ekstrem Albini dalam mengolah rekaman, rekaman tersebut mengingatkan akan kebebasan dalam sebuah pengalaman asing. In Utero meninggalkan pendengar yang hancur, apakah itu dilihat sebagai surat perpisahan Cobain atau keterasingannya dengan para audiensnya. -AMG
Track penting:
- Serve the Servants
- Heart-Shaped Box
- Rape Me
- Dumb
- Pennyroyal Tea
- All Apologies
46. Pearl Jam “Vs.” (1993)
Dirilis pada tanggal 19 Oktober 1993
Band dengan sadar bekerja keras untuk menjadi lebih spontan, dengan mengagumkan telah menekan dirinya ke dalam suatu wilayah baru. – beberapa nomor dengan jelas nampak seperti punk, dan disana juga terdapat beberapa ballada yang diiringi akustik. Atas segala keberhasilannya, para rocker sering kali merasa ketakutan akan kehebatannya sendiri, dan lagu-lagu yang lebih merefleksikannya sungguh memikat.
Vs. mungkin tidak untuk menjangkau ketinggian dan penuh keagungan dari Ten, tetapi setidaknya merupakan separuh dari kerja terbaik yg pernah dihasilkan oleh Pearl Jam. -AMG
- Go
- Animal
- Daughter
- Dissident
- Rearviewmirror
- Elderly Woman Behind the Counter in a Small Town
47. Melvins “Houdini” (1993)
Dirilis pada tanggal 21 September 1993.
Debut album Melvins pada label besar, Houdini, berkisah tentang bagaimana dekatnya seseorang dengan perwakilan dari album Melvins, dan itu dengan jelas menangkap kekuatan band yang tidak terancang, pandangan-pandangan, dan kelainan musikal. -AMG
Track penting:
- Hooch
- Honey Bucket
48. Various Artists – Labels – Sub Pop “The Grunge Years” (1994; Compilation)
Dirilis pada tahun 1994 (adalah kesalahan apabila pernah disebut dirilis pada tahun 1991).
Berisi 13 track, dalam satu paket yang sinis (dilengkapi dengan deretan, berbentuk tas kantor eksekutif pada cover depan) kompilasi yang bermaterikan rekaman Sub Pop periode akhir 80an sampai dengan awal 90an, ketika perusahaan mulai memasang label (dan pelana-ungkapan untuk persiapan memulai perjalanan) dengan memakai grunge sebagai label.
Sebagian besar rekaman dalam album ini rilisan aslinya dalam bentuk vinyl 45, dan beberapa diantaranya sesudah itu dilapisi lagi ke dalam CD.
Track:
- Dive – Nirvana
- Shove – L7
- Stumblin Man – Tad
- Red Head Walking – Beat Happening
- Ugly Sunday – Mark Lanegan
- Change Has Come – Screaming Trees
- Tomorrow – Fluid
- Retarded – Afghan Whigs
- House – Babes in Toyland
- Come to Mind – Mudhoney
- Long Black Veil – The Walkabouts
- Between the Eyes – Love Battery
- Saddle Tramp – Dickless
49. Hole “Live Through This” (1994)
Dirilis pada tanggal 12 April 1994 seminggu sesudah bunuh dirinya Kurt Cobain.
Courtney Love secara lengkap merubah Hole sebelum merekam album kedua mereka, dengan alasan bersaing dalam arena rock alternatif komersial yang sama dengan suaminya, Kurt Cobain. Kenyataannya, banyak rumor-rumor yang mengklaim bahwa Cobain selayaknya penulis hantu tak terlihat namun terlibat dalam penulisan gumpalan-gumpalan penting dalam album tersebut, dan meskipun itu kurang disukai, tidak dapat disangkal bahwa paten dinamisnya “stop-start-stop”, kord-kord sederhana, dan punk-pop melodinya merupakan cetak biru bagi Live Through This. Love menambahkan kemarahan ciri khasnya dan retorika feminis ke dalam formula tersebut, tetapi lirik-liriknya benar-benar terdengar tanpa sengaja merupakan prediksi bunuh diri Cobain.-AMG
Track penting:
- Violet
- Miss World
- Doll Parts
50. Nirvana “MTV Unplugged in New York” (1994)
Dirilis pada tanggal 1 November 1994.
Apabila In Utero adalah sebuah catatan bunuh diri, MTV Unplugged in New York merupakan sebuah pesan dari dalam kubur, Album ini, dalam berbagai cita rasa, bukan hanya rekaman Nirvana yang tidak normal, sebagai hasrat ketertarikan mereka untuk menjadi Circa Automatic for the People-nya R.E.M, ini adalah rekaman Nirvana yang tak seorangpun, terutama Kurt, menginginkannya terungkap. -AMG
Track penting:
- About a Girl (from Bleach)
- The Man Who Sold The World (Bowie cover)
- Where Did You Sleep Last Night (Leadbelly cover)
51. Alice in Chains “Jar of Flies” (1994; EP)
EP ini dirilis pada tanggal 25 januari 1994.
Ditulis dan direkam selama kurang lebih seminggu, Jar of Flies mengeraskan aura pattern ganjil yang diusung oleh Alice in Chains sebagai album hard rock alternatif yang lebih banyak berformat akustik, EP yang berorientasi pada ballada. Jar of Flies merupakan salah satu kunci penarik perhatian, keindahan yang menyakitkan, dan penyiksaan terhadap kesengsaraan, semuanya menjadi satu. -AMG
Track penting:
- I Stay Away
- No Excuses
52. Soundgarden “Superunknown” (1994)
Dirilis pada tanggal 8 Maret 1994.
Waktu yang terbaik bagi Soundgarden, Superunknown adalah bentangan 70 menit maha karya opus yang menekan setiap batasan-batasan sebelumnya. Soundgarden sangat menyukai meniru permainan riff-riff dari Led Zeppelin maupun Black Sabbath, tetapi hutang yang harus dibayar Superunknown lebih kepada periode pertengahan lapisan aransemen dan epic yang terbawa serta dari Zeppelin. Pengaruh awal punk pada mereka jarang dapat dideteksi, tergantikan oleh sumbangan mereka yang sangat efektif dan mengejutkan terhadap musik pop dan psychedelia. -AMG
Track Penting:
- My Wave
- Fell on Black Days
- Superunknown
- Black Hole Sun
- Spoonman
53. Melvins “Stoner Witch” (1994)
Dirilis pada tanggal 18 Oktober 1994.
Masa-masa awal sampai dengan pertengahan era 90an adalah masa-masa keemasan bagi the Melvins dan ketiga albumnya yang sangat teguh memegang prinsip pada periode itu. Stoner Witch bagaikan perhiasan yang berada ditengan-tengahnya, hampir tidak bisa diserang dalam wilayahnya. Kedalamannya, kekuatannya, dan keberaniannya dari sisi eksperimental.
Mengambil bingkai dasar dari album Houdini, Stoner Witch memecahkan permasalahan ‘mudah diterima telinga’ dari tema klasik rock, penuh emosi, tentu saja, dengan sampling bijak perjalanan acid yang membelok. -AMG
Track penting:
- Queen
- Revolve
H. GODFATHER OF GRUNGE
- NIRVANA
Nirvana, grup musik ini berawal dari dua orang pioneer. Yang satu kurang begitu menyukai bangku sekolah. Seorang pengangguran.Tapi punya obsesi yang tinggi untuk membentuk grup musik band. Dan dia adalah Kurt Cobain. Satunya seorang yang super jangkung, Chris Novoselic namanya. Ia anak tukang salon kecantikan. Rumah ibunya akhirnya dijadikan tempat berlatih musik yang ditawarkan oleh Kurt Cobain. Setelah berbulan-berbulan ia baru menerima tawaran itu.
Sebelum menjadi Nirvana, Kurt Cobain telah mengganti nama grup itu dengan macam-macam nama. Mulai dari Skid Row, Ted Ed Fred, Bhss, Oyster, Pen Cap Chew, Randow Pane, dan Nirvana terakhir. Lahirnya Nirvana sendiri jauh dari asal Grunge sendiri, Aberdeen. Sebuah kota kecil dan penduduknya cenderung alergi dengan perubahan dan tidak suka pengaruh dari luar. Dan psikologis penduduk demikian terjadi juga di Seattle. Inilah alasan kenapa Nirvana kurang mendapat tanggapan dari penduduk Seattle ketika membutuhkan drummer. Dan kebetulan Nirvana manggung di Seattle. Setelah dikenalkan Jack Endino, engineer salah satu pemusik paling ngetop di kota Seattle.
Namun sebelum Nirvana mencapai puncak ketenarannya mulai ada tanda-tanda yang menunjuk kepada kehancurannya. Kurt Cobain vokalis Nirvana yang paling getol mulai kecanduan heroin. Mariyuana telah membawanya ke alam mimpinya sendiri. Ada yang berpendapat bahwa tingkah Cobain ini karena kecewa dengan penonton yang tidak berasal dari kalangan intelektual dan tidak tahu menahu soal musik yang dibawakan Cobain ini.
Kurt Donald Cobain (20 Februari 1967 – ± 5 April 1994) adalah penyanyi, penulis lagu dan gitaris dalam band grunge dari Seattle, Nirvana. Dengan sukses band ini, Cobain menjadi selebriti nasional dan internasional, suatu posisi yang disandangnya dengan berat hati.
Pada 1991, melejitnya lagu Cobain yang paling terkenal, Smells Like Teen Spirit, menandai bermulanya perubahan besar dalam musik pop dari jenis musik yang populer di tahun 1980-an seperti glam metal, arena rock, dan dance-pop, kepada grunge dan alternative rock.
Selain itu lagu-lagu tulisan Cobain lainnya misalnya About a Girl, Come as You Are, In Bloom, Lithium, Heart-Shaped Box, All Apologies, dan Rape Me.
Cobain menikah dengan Courtney Love pada 24 Februari 1992 di Waikiki Beach, Hawaii. Pada 18 Agustus, Frances Bean Cobain dilahirkan.
Pada 1 Maret 1994, setelah konser di München, Jerman, Cobain didiagnosa dengan bronchitis dan severe laryngitis. Ia diterbangkan ke Roma hari berikutnya untuk menjalani pengobatan, dan istrinya bergabung pada 3 Maret.
Pagi berikutnya, Love bangun dan menemukan Cobain sudah overdose dengan paduan dari champagne dan Rohypnol. Ia dilarikan ke rumah sakit dan setelah lima hari di sana diperbolehkan pulang. Karena masalah drugs ini, Cobain dimasukkan ke panti rehabilitasi pada tanggal 30 Maret. Pada malam 1 April, Cobain keluar untuk merokok dan kemudian kabur dari panti tersebut dengan memanjat pagar. Ia kemudian pergi ke Seattle dan menghilang.
Pada tanggal 3 April, Love menghubungi seorang private investigator, Tom Grant, dan menyewanya untuk menemukan Cobain. Pada tanggal 8 April 1994, jenazah Cobain ditemukan di sebuah ruangan di atas garasi rumahnya di Lake Washington oleh pegawai Veca Electric bernama Gary Smith. Otopsi kemudian memperkirakan Cobain tewas pada 5 April 1994.
- SOUNDGARDEN
Soundgarden adalah salah satu dari empat Godfather of Grunge, selain Nirvana, Pearl Jam, dan Alice In Chains, namun mereka sendiri menyangkal keterkaitan mereka dengan musik grunge. Namun demikian, penggemar mereka tetap memasukan mereka ke dalam genre ini.
Album Soundgarden yang paling sukses adalah Superunknown dengan hits seperti Black Hole Sun, Spoonman, dan Fell on Black Days.
Kekuatan utama Soundgarden terletak pada garukan sang gitaris, Kim Thayil, dan vokalis Chris Cornell.
Soundgarden bubar pada tahun 1997.
Cornell pernah memperkuat band Audioslave bersama para bekas anggota Rage Against The Machine. Musik Soundgarden diibaratkan sebagai kelahiran kembali Led Zeppelin. Drummer mereka, Matt Cameron akhirnya bergabung dengan Pearl Jam.
- PEARL JAM
Pearl Jam berdiri di atas fondasi sejarah panjang kultur Seattle Sounds yang populer di akhir 80-an. Pemain gitar Stone Gossard dan pembetot bass Jeff Ament lebih dahulu populer di ruang kultur tersebut melalui band bernama Green River, bersama dengan dua pentolan grup Mudhoney, Mark Arm dan Steve Turner. Gossard dan Ament lantas mendirikan Mother Love Bone, selepas pecahnya Green River, bersama vokalis flamboyan bernama Andrew Wood. Jelang rilis album mainstream perdana bersama major label, Andrew Wood meninggal dunia lantaran overdosis heroin. Untuk meneruskan karir bermusiknya, Gossard dan Ament lantas menggaet gitaris Mike McCready yang notabene merupakan teman se-almamater ketika sekolah menengah tingkat atas dengan Stone Gossard.
Ketiganya kemudian membuat beberapa demo lagu dengan bantuan penabuh drum dari band Soundgarden, Matt Cameron (saat ini menjadi drummer Pearl Jam). Untuk audisi vokalis, rekaman demo tersebut dikirimkan kepada remaja San Diego bernama Eddie Vedder melalui mantan drummer band Red Hot Chili Peppers, Jack Irons, yang nantinya juga sempat menjadi anggota Pearl Jam. Vedder kemudian mengisi tiga buah lagu, sebuah mini-opera dikenal dengan “Mamasan Trilogy” (di masa depan menjadi lagu Alive, Once dan Footsteps). Ketiga lagu tersebut akhirnya mengantarkan Vedder terbang ke Seattle, untuk menjalani sejumlah rehearsal bersama calon rekan band-nya. Salah satu di antara rehearsal tersebut adalah pada proyek vokalis Soundgarden, Chris Cornell untuk mengenang Andrew Wood, berupa album Temple of the Dog. Cornell mengajak Gossard dan Ament, sebagai rekan band Wood, beserta Mike McCready dan Matt Cameron. Eddie Vedder turut menyumbangkan vokal, salah satunya di hits Temple of the Dog berjudul Hungerstrike.
Selepas proyek tersebut, Eddie Vedder resmi menjadi vokalis dari band baru yang diberi nama Mookie Blaylock (merujuk pada nama bintang basket NBA pada saat itu). Karena permasalahan legalitas, tepat sebelum menandatangani kontrak dengan Epic Records, band berganti nama menjadi Pearl Jam.
- Alice in Chains
Alice in Chains adalah kelompok musik rock berpengaruh yang dibentuk pada akhir tahun 1980-an di Seattle, Washington. Bersama dengan Nirvana, Pearl Jam, dan Soundgarden, Alice in Chains adalah salah satu band paling berhasil dari era grunge.
Pada 1987, Layne Staley bertemu dengan gitaris dan penulis lagu Jerry Cantrell pada sebuah pesta dan mengajaknya untuk bergabung dengan bandnya yang bernama Diamond Lie. Setelah itu teman Cantrell, bassist Mike Starr juga bergabung. Mereka juga merekrut drummer Sean Kinney.
Kelompok ini kemudian mengubah namanya menjadi Alice in Chains, berasal dari salah satu bekas band Staley yang bernama Alice N’ Chainz. Setelah menandatangani kontrak dengan Columbia Records pada 1989, mereka merekam beberapa demo dan pada Juli 1990 merilis We Die Young EP.
Setelah merekam berbagai album yang berhasil di pasaran, vokalis Layne Staley terlibat dengan obat-obatan terlarang. Pada 20 April 2002 Staley ditemukan tewas di apartemennya karena overdosis heroin dan kokain. Diperkirakan ia telah meninggal pada tanggal 5 April, yang juga merupakan perkiraan tanggal kematian Kurt Cobain 8 tahun sebelumnya.
Pada 2005, Cantrell, Inez, dan Kinney bergabung untuk sebuah konser amal di Seattle untuk korban tsunami di Asia. Untuk konser ini mereka mengajak mantan vokalis Damageplan, Pat Lachman. Untuk formasi terakhir, Alice in Chains memilih William Duvall, mantan personil band Comes With The Fall sebagai vocalis.
I. SEJARAH SINGKAT ROCK ALTERNATIF (WIKIPEDIA)
Rock alternatif (bahasa Inggris: Alternative rock, disebut juga musik alternatif atau hanya alternatif) adalah aliran musik rock yang muncul pada tahun 1980-an dan menjadi sangat populer di tahun 1990. Nama “alternatif” ditemukan pada tahun 1980 untuk mendeskripsikan band-band punk rock yang tidak sesuai dengan aliran punk rock pada masanya. Sebagai jenis musik yang spesifik, rock alternatif mempunyai sub-aliran yang bervariasi, dari musik indie yang bermulai pada tahun 1980 dan menjadi populer pada tahun 1990; seperti indie rock, grunge, gothic rock, dan college rock. Aliran-aliran tersebut terkonsolidasi dengan ciri khasnya masing-masing.
Walaupun aliran alternatif terhitung sebagai aliran rock, tapi beberapa sub-alirannya terpengaruh oleh musik rakyat, reggae, musik elektronik, dan jazz. Dalam periode tertentu, istilah rock alternatif digunakan untuk menyebut musik rock dari band underground pada tahun 1980an, punk rock (termasuk punk itu sendiri), dan untuk musik rock itu sendiri pada tahun 1990an dan 2000an
Sebelum dikenal sebagai rock alternatif, aliran ini mempunyai banyak variasi nama yang umum digunakan. Pada tahun 1980an di Amerika Serikat, istilah yang umum digunakan adalah college rock (Rock Universitas). Istilah ini digunakan karena banyak mahasiswa yang menyukai aliran musik jenis ini pada zamannya. Di Inggris, istilah yang biasa digunakan adalah indie. Walaupun begitu, pada tahun 1985, istilah indie digunakan untuk menyebut sub-aliran dari alternatif, bukan sekedar penggantian istilah.
Istilah “alternative rock” atau “rock alternatif” ditemukan pada tahun 1990. Walau begitu, istilah “alternatif” sempat muncul pada pertengahan 1980an, sebuah istilah untuk “musik baru” dan “pasca modern”. Penggunaan asli istilah ini sebenarnya lebih luas daripada yang kebanyakan dimengerti, yaitu dengan meliputi punk rock, New Wave, post-punk, dan bahkan musik pop, juga indie. Tahun 1991, ketika penambahan kategori musik alternatif di Penghargaan Grammy dan Penghargaan musik video MTV, akhirnya istilah “alternatif” menjadi populer dan digunakan secara luas, bersamaan dengan suksesnya Lollapalooza.
“Alternative rock” secara esensial adalah istilah yang digunakan untuk menyebut musik underground yang muncul pada tahun 1980an. Band alternatif pada tahun 1980an umumnya dimainkan di klub-klub kecil, direkam untuk label indie, dan popularitasnya menyebar dari mulut ke mulut. Lirik yang digunakan dalam rock alternatif biasanya mengambil topik-topik sosial, seperti penggunaan obat terlarang, depresi, dan yang berhubungan dengan lingkungan. Hal ini merupakan sebuah pendekatan yang muncul akibat refleksi sosial dan ekonomi di Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1980an dan awal 1990an.
Pada awal tahun 1980an, beberapa stasiun radio kampus di Amerika Serikat memutarkan musik-musik rock alternatif. Rock alternatif kemudian menjadi populer di pertengahan 1980an. Namun stasiun radio komersial belum begitu mempedulikan aliran musik ini. Rock alternatif yang sering diputar di radio-radio Inggris, biasanya oleh DJ seperti John Peel, Richard Skinner, dan Annie Nightingale. Akhirnya, akhir tahun 1980an di Amerika Utara, stasiun radio komersial mulai memutar lagu-lagu rock alternatif, mengawali format radio modern rock. Diluar Amerika Utara, Double J, stasiun radio pemerintah di Sydney, Australia mulai menyiarkan rock alternatif. Tahun 1990, Double J yang sekarang dikenal sebagai Triple J, mulai menyiarkan secara nasional. MTV juga memutar video alternatif pada tengah malam. Tahun 1986, MTV Amerika Serikat menyiarkan program musik alternatif tengah malam, 120 Minutes.
Walaupun band-band alternatif pada tahun 1980an tidak pernah membuat album yang spektakular, mereka menimbulkan pengaruh yang besar bagi para musisi tahun 80an. Album Nevermind yang dibuat oleh band Nirvana pada tahun 1991 membuat rock alternatif menjadi musik yang paling digemari dan membentuk kemapanan komersial aliran musik tersebut. Hasilnya, rock alternatif menjadi bentuk musik rock paling populer dalam satu dekade ini dan banyak band-band alternatif menghasilkan sukses besar. Pavement, Guided By Voices, Blonde Redhead, Sebadoh
Dalam satu dekade pertama pada abad ke 21, aliran musik rock terus berevolusi dari awal alternatif musik yang muncul pada tahun 1980an. Musik rock yang populer pada zaman sekarang, terlihat dari grup modern rock seperti Linkin Park. Iri hati karena mengetahui kenyataan bahwa aliran musik tersebut merupakan pengaruh dari rock alternatif, sebagian besar fans menyatakan ini adalah bagian dari aliran nu metal. Bagaimanapun juga, pada tahun 2004 alternatif rock mendapat popularitas dari artis seperti Modest Mouse, Bloc Party, Enon, Liam Finn, Blood Red Shoes dan Franz Ferdinand.
J. FILM DOKUMENTER GRUNGE “HYPE!”
- Sutradara : Doug Pray – Produser : Steven Helvey – Dibintangi : Sejumlah Musisi
- Sinematografi : Robert Bennett – Editor : Doug Pray, Joan Zappata
- Distribusi : Lions Gate Entertainment – Tanggal Rilis : 18 November 1996
- Durasi : 87 Menit – Negara : Amerika Serikat – Bahasa : Inggris
Hype! (1996) adalah sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Doug Pray tentang popularitas grunge rock di Amerika pada awal hingga pertengahan 1990an. Film ini melibatkan wawancara-wawancara dan rekaman footage konser yang jarang didapat untuk melihat jejak-jejak langkah dari grunge, dari yang awalnya gerakan bawah tanah di sekitar rumah, menjadi ledakan pop kulutur yang sangat fenomenal. Hype! menunjukkan grunge dari sudut pandang orang-orang di dalam scene grunge, dan mencoba menghalau banyaknya mitos dari genre yang diumumkan resmi oleh publisitas (hype) media, itulah sebab judul tersebut.
Film ini secara garis besar melukiskan golongan akhir, dalam bentuk sindiran, meskipun mengakui bahwa publisitas media turut membantu mendorong beberapa band yang tidak jelas menjadi terkenal, hanya dalam waktu singkat.
Film ini pertama kali diputar di Sundance Film Festival pada bulan Januari 1996. Yang kemudian dibuka untuk audiens umum pada tanggal 8 November di tahun yang sama.
Hype! memasukkan wawancara-wawancara dan penampilan band-band (terutama berorientasi dengan Sub Pop sebagai porosnya) seperti: TAD, Mudhoney, Nirvana, Soundgarden, The Gits, Love Battery, Flop, The Melvins, Mono Men, The Supersuckers, Zipgun, Seaweed, Pearl Jam, 7 Year Bitch, Hovercraft, Gas Huffer, dan Fastbacks.
Tetapi DVD yang keluar bersamaan dengan Nirvana “With the Lights Out” merupakan salah satu dari sedikit film yang berisikan video footage dari penampilan pertama Nirvana dengan hitnya yang mendobrak “Smells Like Teen Spirit”.
Sub Pop merilis sebuah soundtrack untuk film ini di tahun 1996, dalam bentuk CD sebagaimana layaknya sebuah box set versi terbatas pada 7″ vinyl.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict R.O.G., Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism,London and New York, Verso, 1991
Baudrillard, Jean, La Society de Consommation,Gallimard, Paris, 1970
Bennett, Tonny and Mercer, Colin (eds.), Popular Culture and Social Relations, Milton Keynes Open University Press, Philadelphia, 1986
Brewer & Gardner,1996; Tajfel & Turner,1986. Psikologi, edisi ke9, jilid 1, Carole Wade, Carol Tavris, 309; 2008
Campbell, Don “Efek Mozart; Memanfaatkan Kekuatan Musik untuk Mempertajam Pikiran, Meningkatkan Kreatifitas, dan Menyehatkan Tubuh”, 1997. Hak cipta terjemahan Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama, alih bahasa: Drs. T. Hermaya, cetakan pertama, 2001
Ferrari, Marc, Rockstar 101 “Strategi Jitu Buat yang Mau Jadi Musisi Sukses, Marc Ferrari, 2002, PT Gramedia Pustaka Utama, 2004
Freind, Bill “St. James Encyclopedia of Pop Culture”
Friedman, Jonathan, Cultural Identity & Global Process, Sage Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi, 1994
Gane, Mike, “Radical Theory: Baudrillard and Vulnerability” dalam Theory, Culture & Society, Explorations in Critical Social Sciences, Volume 12, No. 4, November 1995
Gans, Herbert J., Popular Culture and High Culture: An Analysts and Evaluation of Taste. New York, Basic Books, Inc., 1975
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Penerbit Kanisius, 2002
Kleden, Ignas, “Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan”, dalam Prisma, No. 5, Th. XVI, Mei 1987a
Lowenthal, Leo, Literature, Popular Culture, and Society, Pacific Books, Palo Alto, California, 1968
MacDonald, Dwight, “The Theory of Mass Culture”, dalam Bernard Rosenberg dan David Manning White (eds.), Mass Culture, The Popular Arts in America, the Free Press, Glencoe, Illinois, 1957
Mukerji, Chandra, and Michael Schudson (eds.), Rethinking Popular Culture, Contemporary Perspectives in Cultural Studies, University of California Press, Berkeley, Los Angeles, Oxford, 1991
Mustopo, M. Habib, Ilmu Budaya Dasar, Penerbit Usaha Nasional
Rosenberg, Bernard, “Mass Culture in America”, dalam Bernard Rosenberg dan David Manning White (eds.), Mass Culture, The Popular Arts in Amerika, The Free Press, Glencoe, Illinois, 1957
Santosa Slamet, Drs,M.pd “Dinamika Kelompok; Edisi Revisi”, PT Bumi Aksara, cetakan kedua, Agustus 2006
William, Raymond, Keywords a Vocabulary of Culture and Society, Fontana/Croom Helm, London, 1976
Wipperfurth, Alex, Brand Hijack “Pemasaran Tanpa Pemasaran”, Alex Wipperfurth, 2005, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006
___,Benner Melissa, the History of Grunge
___,Description and Examples of Grunge, Grunge 101 History
___,”Kebudayaan Bukanlah Ideologi”, dalam Kompas, 25 Juni 1987c
___,Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987b
___,”The Analysis of Culture”, dalam Tonny Bennet, Graham Martin, et.all, (eds.), Culture, Ideology and Social Process, A Reader, Batsford Academic and Education bekerja sama dengan The Open University Press, London, 1981
___,http://galerialfa.blog.friendster.com; February 14th, 2008; “Budaya Pop, Perayaan tanpa Kemenangan”
___,http://grungecriminal.blogspot.com/search/label/Grunge; Pandoe (vokalis Sn’CC) ” YANG NGEBEDAIN VOKALIS ROCK & VOKALIS GRUNGE”
___,http://nicksinblossom.blogspot.com/; Enik Sulistyawati ”FENOMENA music televisions (MTV) dalam perspektif cultural studies”
___,http://pronx.squarespace.com/; Pengalaman Jadi Anak ‘Grunge’
___,http://raneeconstantine.blog.friendster.com/2006/10/lahirnya-psikologimusik/; raneeconstantine; “Lahirnya Psikologi Musik”;
___,http://tegis.wordpress.com/2008/11/08/financial-crisis-to-bring-back-grunge; “Financial Crisis to Bring Back Grunge”
___,http://threefoldzine.890m.com/articles_siklus.html; “Siklus Kematian Rock Mainstream”
___,http://www.desantara.org; Ahmad Mujib, “Grunge Sebuah Jalan yang Beda”
___,http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0609/22/jogja/28966.htm; MENGAPRESIASI KEBISINGAN “GRUNGE”
UCAPAN TERIMA KASIH:
Tuhan, beserta Seluruh keluarga tercinta.
Ferdinandus Moses beserta keluarga, Ahmad Taufiqqurakhman aka Dede Sunblind/Wasted Rockers, Gembi Sungsang Lebam Telak, Samack apokalip.com, Egy Total Feedback/The Bolong/Shock Breaker, Klepto Opera, Alibaba, ejip & Stoner Witch, theReza 337, Pincux & Sporadic Bliss
TERIMA KASIH ATAS KERJA SAMANYA:
Ahmad mujib, Uncal Revenge the painful, Arip Napkin, Keke & Lely UWK, Jimmie MotorHead, Dj Micko Sane Fermentation, Hardiansyah Suteja aka doyok Imigrunge, AHMAD RAMONA aka Amo D3pression, Fajar Agusta aka Bobon Cupitos Mosquitos, Rio Zuantoni Silver, Bara a.k.a Gembel Miniatur Bumi & RaSa, RYAN ANDRYAN D3pression, BHARATA DANUJINGGA aka ATOX’S d3pression & Drop OUT , Achmad Abdillah Anti-Kompeni, P. Eko Prihartono aka echolic Hyper Youth, Rendy Adam Fitriadi Asylum, Rhendra E. Prasetia Nir-X ,Andre Sitompul SHOCKBREAKER, Abd aziz zulhakim, S.Sos aka izul JALOERKIRI, Jimmy Mahardhika Seek Six Sick, Gede Robi Supriyanto aka Robi Navicula, Ichwan Kurniawan aka Byoe SC Solychip, qodam umm aka Billy GitarBekaz, Pandoe Smoke n’ Coffee Club, Roby R. Habibie aka Djawirs Nikotin, Miranti Boreel valium, Shinta Sonic death, William J. Samosir, AL HASYIM aka asimoshing, Aris Setyawan, Yana Hermina, Cjc Silentium/Potpuri, ibeng (slip tongue), arseto r munyux, TOPIK People Noid, mahesa agung aka dede noise!, yayan hidayat aka stoners Northside/Blackmouse recs., Enik Sulistyawati, serta seluruh rekan-rekan yang telah berpartisipasi dalam penulisan angket namun namanya tidak tersebutkan atau tidak mau disebutkan, saya mengucapkan banyak terima kasih!
BIODATA PENULIS
Pengarang bernama asli Yoyon Sukaryono A md, SH atau biasa dipanggil YY, kelahiran Bojonegoro 17 April 1977. Mengenyam pendidikan akhir di D3 Ilmu Pariwisata Unair dan Fakultas Hukum USBRJ Bandar Lampung.
Pengarang juga pernah dikenal sebagai seorang gitaris di sebuah band psychedelic noise asal Surabaya yang bernama Klepto Opera.
Saat ini masih aktif di band alternative Ballerina’s Killer. Dan pernah mendirikan sebuah record label/E.O. khusus musik bawah tanah di Surabaya, yang bernama Boneka Tanah Rec/Prod. Di mana telah memproduseri sekitar 10 band indie dan menggelar lebih dari 50an event bawah tanah.
Penulis juga adalah salah satu pelopor pergerakan musik grunge pada era masuknya ke Indonesia sampai dengan sekarang.
Pengarang telah menikah dengan seorang wanita bernama Eka Rina Wahyuni SH dan dikaruniai dua orang putra bernama Saint Dandelion dan Saint Gema
Beberapa tulisan yang telah dihasilkan antara lain;
- Berkunjung ke Negeri di Awan (kumpulan cerpen)
- Brutus – Brutus Selingkaran sang Waktu (cerpen dan seni instalasi)
- Kisah dari Sanatorium (kumpulan kisah-kisah pendek)
- Anthelope (kumpulan puisi dan flash story)
- Apostolik (novel/ Penerbit; FelixCulpa Semesta/Free Ebook; klub.apokalip.com)
- Memulai Band Indie (Penerbit; MASmedia Buana Pustaka)
- GRUNGE INDONESIA; Catatan Seorang Pecundang (Sedang Dikerjakan)
- Jurnal; Hidup-Mati-Hidup (novel/ Sedang D

19 komentar:

  1. Mantap, jd tambah tau tentang grunge.
    keep grunge_

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas atensinya

      Hapus
    2. https://soundcloud.com/tombstones-official/black-and-dangerous

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  2. never die grrrrrrrrrunge......
    kak,, nama anake lebai deh.... wkaka.... tapi sip.... sangar..... anakku meh tak jenengke saint draculla ahhh..... =)) ˘ºˇώκώЌώκ˚•☺•˚ώκώЌώκ˘ºˇ =))

    BalasHapus
  3. Bagus nih, cuma kalo ditambahin read more, kayanya enak tuh. saran aja bro.

    BalasHapus
  4. Sayang buku ini justru melupakan band yang PERTAMA KALI DI SURABAYA memainkan musik grunge dipanggung2 eksklusif dengan berbagai sponsor2 besar , berkeliling di hampir semua universitas di sby hanya demi memainkan idealisme mereka meski banyak menerima hujatan, ejekan bahkan lemparan sandal, botol dll pada masa itu, hingga akhirnya idealisme grunge mulai di pahami oleh banyak orang khususnya anak remaja waktu itu

    Band ini juga adalah pendiri SGC jauh sebelum boneka tanah terbentuk, SGC kemudian jg membentuk SURABAYA UNDERDOG karena grunge waktu itu tidak bisa diterima oleh kalangan Underground Musik
    Tapi dengan lobi dengan pihak Dewata Cafe SGC bisa semakin menancapkan idealisme mereka dgn jalan memainkan band band grunge sby smp luar kota pada tiap hari sabtu malam, sekali lagi grunge smakin dikenal banyak orang.

    Kemudian akhirnya terjadi konflik antara SGC dengan pihak Dewata Cafe yg waktu itu dikelola oleh Mas Janto dan Arief (Blingsatan) sbg PR nya, hingga kemudian SGC memilih pojokan Ruko RMI sbg tempat tonkrongan.
    Dari tempat ini pula lahir album kompilasi grunge pertama di surabaya dengan title "GRUNGE WAKE UP".

    Salah satu misi SGC adalah mengenalkan dan memainkan music grunge ditengah-tengah hingar bingar musik TOP 40 waktu itu ,jadi intinya adalah musik grunge jangan hanya bisa diterima oleh kuping musik komunitas grunge tapi juga diterima oleh berbagai macam kuping ketika di panggung.

    Jadi tidak ada yg salah dengan nirvanaisme atau bukan nirvanaisme karena SGC tidak pernah membahas itu, yang terjadi kala itu adalah kemunduran beberapa band grunge yang hanya menonjolkan aksi panggung yang berlebihan tanpa menjaga harmonisasi, tempo, irama, sound quality dll , gaya pokoknya brutal jadi andalan sementara art musiknya tidak bisa di dengarkan.

    Sekedar catatan musik Rock bukan hanya sekedar teriak2 tapi di situ ada harmoni, tempo, check sound yg bagus baru di dukung ole stage act.

    PLANET, LIBIDO, NAPKIN, 220 VOLT, dan beberapa Band termasuk dari Malang dan Sidoarjo yang mendirikan SGC, Jadi SGC waktu itu bukan ide dari satu dua band.

    Saya salut pada penulis karena bisa memberika wawasan baru pada penggemar grunge dan tanpa mengurangi rasa hormat dan salut saya , sebagai pelopor masuknya musik grunge seharusnya tahu akan siapa dan bagaimana Grunge bisa berbicara pada masa itu.

    Tidak usah saya menyebut nama band (seperti yg saya tulis di alinea pertama) karena pasti penulis tahu nama band tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yups! makasih bro, tentang dewata cafe, dan band yang dimaksud ada kok di buku itu, silahkan dibaca pelan2

      Hapus
  5. bang kujungan balik ke https://sayatanlirih.blogspot.com saya coba nulis semua yang berbau kurt,krist,dave dan nirvana juga band cadas masa lalu serta kehidupan mereka, thanks berat,

    BalasHapus
  6. Numpang mengenang ya bang, kali az tmn ane ad yg mampir...
    Salam Jg buat uncle (kurt)

    BalasHapus
  7. GRUNGE bukan hanya genre musik yang kuping kita dengar
    tapi seni yang harus di lestarikan

    BalasHapus
  8. GRUNGE adalah jiwa...& Bagi para penganut grunge, Grunge bukan hanya sekedar Moshing belaka krn pengaruh alkohol dll...tp bgmn kite bisa menikmati musik grunge dgn hatti jiwa dan paham apa makna yg ada dlm musik grunge....

    BalasHapus
  9. Ak malah berpikir grunge adl keroncongnya seatle..ahh kalian terlalu rumit dengan musik...kalian terlalu membatasi kuping kalian utk mendengarkan ...kalian msih berpikir yg asing itu keren...lalu ketika lagu smell like teen spirit dlm balutan keroncong /dangdut...bisakah para pemainnya disebut anak grunge...sudah saatnya kita membicarakan ttg novoselic bkn org yg gx berani dgn hidup ini...nevermind...

    BalasHapus
  10. keren bro... trims makasih atas catatan grungenya yg sangat berguna

    BalasHapus