Feel Free For a Donation

Selasa, 23 Juni 2015

Ananta Rizky Pramudya : Antara Seni Rupa, Grunge dan Kurt Cobain

Biasanya kegelisahan itu datang ketika saya harus ikut merasakan bahkan memasuki rongga-rongga kehidupan Kurt Cobain yang penuh dengan permasalahan. Yang kadang mempunyai cerita kehidupan yang cenderung sama dengan apa yang saya alami

Ghenzoy diantara patung-patung Kurt Cobain karyanya.
Grungee Jumping. Sederhana, Senyum dan keriangan selalu nampak dari wajah pria bernama Ananta Rizky Pramudya atau akrab dipanggil dengan sebutan Ghenzoy. Pria kelahiran Kuningan 20 Maret 1989 itu dulu pernah aktif bermain musik dalam band  'Iritasi' dan 'Valium' di Kuningan dan di Cirebon Timur dengan mengusung musik bergenre Grunge .Tapi dunia musik sudah dia tinggalkan sekitar 8 tahun, dan lebih aktif dalam dunia  seni rupa khususnya seni patung.

Ketertarikannya terhadap seni patung berawal ketika memasuki perkuliahan di Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta (SR UNJ). Sebelumnya, ia lebih sering melukis atau drawing. Setelah jenuh, akhirnya memutuskan untuk beralih dan menekuni media patung. Bahkan pernah membuat  Pameran Perdana Seni Patung SR UNJ. Hingga pada akhirnya, seni patung lebih membuatnya merasakan kepuasan dalam berkarya dibandingkan ketika harus melukis atau membuat drawing. Karena baginya, secara visual seni patung dapat dirasakan dari berbagai hal secara nyata, baik dari bentuk, ruang, warna maupun teksturnya.

Dalam membuat patung, bahan-bahan yang biasa digunakannya bervariatif, dari mulai kayu, resin, styrofoam, sampai koran bekas. Waktu yang di butuhkannya dalam setiap pembuatan karya patung tidak bisa ditentukan, karena dalam setiap proses berkarya kapasitas karya yang akan di buat pasti berbeda, baik dari kesulitan maupun dari ukurannya, belum lagi ditambah dengan beberpa  kegagalan. Namun, jika dikerjakan dengan intens proses pembuatan satu karya patung biasa memakan waktu satu hingga dua bulan” ujarnya.

Proses pembuatan patung Kurt Cobain
Awalnya Ghenzoy lebih sering membuat karya patung dengan visual objek wanita dan beberapa karya lainya, serta membuat objek yang berhubungan denga kesukaannya. Namun, 7 (tujuh) karya terbarunya ini lebih mevisualisasikan objek yang berhubungan dengan “Kurt Cobain dan Grunge” dan ini adalah salah satu tema yang menjadi favoritnya dalam pengerjaan karya apapun.

Namun, kadang saya merasa gelisah dan khawatir. Biasanya kegelisahan itu datang ketika saya harus ikut merasakan bahkan memasuki rongga-rongga kehidupan Kurt Cobain yang penuh dengan permasalahan. Yang kadang mempunyai cerita kehidupan yang cenderung sama dengan apa yang saya alami, dan itu kadang membuat saya khawatir akan diri pribadi saya. Tapi sejauh ini apa yang saya rasakan masih mampu saya refleksikan secara positif, dengan memuntahkan segala kegelisahan dan kekhawatiran atau mungkin kebahagiaan saya melaluai media seni, khususnya seni patung..” Ghenzoy menceritakan kegelisahan pribadinya.

Patung Kurt Cobain karya Ghenzoy terpajang dalam salah satu pameran seni rupa.

Untuk kedepannya saya sangat berharap, semoga saya tidak berhenti sampai di sini  dalam menciptakan karya seni, baik seni patung maupun seni lainnya. Dari beberapa karya yang saya buat mudah-mudahan dapat dinikmati oleh semua orang, dan mempunyai kesempatan dipamerkan di Galeri-galeri seni, baik di Indonesia maupun di Mancanegara. Yahhhh.. syukur-syukur ada yang mau ngoleksi karya saya. Tapi yang paling penting itu tetap berkarya, berdoa dan berusaha dan jalani hidup dengan asa yang menggema dalam jiwa” demikian harapan pria berperawakan kurus dan berambut gondrong ini.

Saya akan merasa senang ketika saya mampu dan berhasil merefleksikan diri saya ke dalam karya-karya saya. Dan itu cukup mewakili perasaan pribadi saya. Untuk masalah karya gimanapun kondisinya kadang saya gak peduli, yang penting saya sudah merefleksikan perasaaan saya kedalam karya tersebut”. Imbuhnya. (Interview : YY. Photos taken from Ghenzoy's facebook)

Senin, 22 Juni 2015

Kebisingan Jalanan, Pertanyaan dan Latar Belakang

   "Jadi.. apa yang kalian lakukan sebenarnya.. mengapa kamu lakukan hal ini.. apa tujuannya"
demikian pertanyaan dari seorang Charles Esche menggugah nalar saya sore itu.

Saya bersama Charles Esche sedang mempresentasikan kebisingan jalanan yang saya sebut "Melawan Kebisingan Kota"

  
   
Grungee Jumping. Pertanyaan itu membuat saya berpikir, "what i'm really doing?", saya menikmati melakukannya, kebisingan-kebisingan yang saya lakukan bersama-sama teman, kami menyebutnya Melawan Kebisingan Kota. Kami selama ini melakukan karena senang, itu saja tanpa alasan atau penjelasan lain. Analogi untuk "melawan" yang selama ini kami gunakan, tentu saja itu nirmakna, bukan sesuatu yang urgen tentu saja.

   Dan pria bernama Benny Wicaksono, arek Suroboyo yang pada 2015 ini didapuk sebagai salah satu kurator Jakarta Bienalle 2015, dia yang mempertemukan saya dengan Charles, "penting.." itu katanya via sms. Saya dan Benny, beberapa kali kami pernah perform bareng dalam beberapa proyek kebisingan di Surabaya. dan itulah awal janji saya untuk bertemu dengan Charles Esche, direktur Van Abbemuseum, sebuah museum Seni Modern dan Kontemporer di  Eindhoven. Pria ini juga baru saja meraih penghargaan, the Best Curator Award, sebuah penghargaan bergengsi bagi para kurator seni seluruh dunia.

   "Tentang karya seni, saya lebih ke eksibisi.. apa yang hendak ditampilkan kepada publik" demikian jelas Charles, "jadi.. apa yang hendak kamu sampaikan dari melakukan kebisingan di pinggir jalanan?" "perlawanan.. fight fire with fire.." demikian jawaban saya sekenanya dan juga selama satu jam berikutnya, beruntungnya Charles lebih tertarik dengan benda-benda pembuat kebisingan daripada 'bualan' saya tentang seni, kebisingan, dan perlawanan.

   Dalam perjalanan pulang, saya tak berhenti memikirkan jawaban, apa yang sebenarnya saya cari, dan dua hari setelahnya akhirnya saya menemukan jawabannya, jawaban yang selama ini tak pernah saya sadari, tak pernah saya hiraukan... jawaban yang paling mendasar dari semua kebisingan yang saya lakukan lebih dari separuh hidup saya.

(YY)

Kamis, 11 Juni 2015

CORELATION | Bising di Ruang Sempit




CORELATION | Bising di Ruang Sempit
 14 Juni 2015
Blue Note Studio, Turen - Malang

 
Grungee Jumping. Sebuah  acara dengan mengambil tema "Bising di Ruang Sempit" digelar oleh komunitas grunge di Turen, sebelah selatan kota Malang.  

 Agus Yusi Trifirmanto biasa dipanggil Yusi, salah seorang panitia, mencoba mendefinisikan acara tersebut sebagai berikut, " CORELATION = KORELASI, maksudnya kita berharap, dengan adanya mini event total grunge ini,, bisa menunjukkan trend positif dan hasilnya bisa dinikmati. Hubungan Timbal-Balik dengan seluruh kalangan yang merupakan sebagian kecil impian kami agar karya kita bisa didengar. CORELATION  bisa juga merupakan singkatan dari, reCOrding, REunion, compiLAtion, regeneraTIon.
- Recording : event dalam ruangan /studio, tidak memungkinkan untuk dinikmati dalam bentuk visual, maka rekaman secara live, merupakan opsi, agar kreativitas dan  karya tetap terekam.
- REunion : berkumpul, adalah salah satu cara ampuh untuk menunjukkan komunitas kita ada. Dalam prakteknya, event ini, ketika satu band sedang perform dalam studio, band yang lain bisa berkumpul, share, dan sebagainya.
- compiLAtion : bahwa hasil dari record ini, akan disatukan dalam satu kompilasi. Tidak menutup kemungkinan, band yang sudah mempunyai record dan ingin andil dalam event ini, bisa mengirim filenya untuk disertakan dalam kompilasi.
- regeneraTIon : band baru, yang biasanya minder untuk perform di suatu event, bisa melakukan debutnya, melatih percaya diri, untuk support di acara yang lebih besar kedepannya".

 
Lebih lanjut mereka berharap, "Semoga dengan adanya event ini, komunitas grunge tidak akan JATUH, SAKIT, SEKARAT,MATI! Dengan BERISICK di ruang sempit, COME TOGETHER meREKAM JEJAK, Kita tunjukkan bahwa GRUNGE MAKES GOOD, NOISE IS ART, dan  KAMI TETAP ADA!" ungkap Yusi, menutup wawancara ini.


|interview by: YY



Denah menuju lokasi