Feel Free For a Donation

Opini Personal

Antara Kebisingan Jalanan, Pertanyaan dan Latar Belakang

   "Jadi.. apa yang kalian lakukan sebenarnya.. mengapa kamu lakukan hal ini.. apa tujuannya"
demikian pertanyaan dari seorang Charles Esche menggugah nalar saya sore itu.

Saya bersama Charles Esche sedang mempresentasikan kebisingan jalanan yang saya sebut "Melawan Kebisingan Kota"

  
   Pertanyaan itu membuat saya berpikir, "what i'm really doing?", saya menikmati melakukannya, kebisingan-kebisingan yang saya lakukan bersama-sama teman, kami menyebutnya Melawan Kebisingan Kota. Kami selama ini melakukan karena senang, itu saja tanpa alasan atau penjelasan lain. Analogi untuk "melawan" yang selama ini kami gunakan, tentu saja itu nirmakna, bukan sesuatu yang urgen tentu saja.

   Dan pria bernama Benny Wicaksono, arek Suroboyo yang pada 2015 ini didapuk sebagai salah satu kurator Jakarta Bienalle 2015, dia yang mempertemukan saya dengan Charles, "penting.." itu katanya via sms. Saya dan Benny, beberapa kali kami pernah perform bareng dalam beberapa proyek kebisingan di Surabaya. dan itulah awal janji saya untuk bertemu dengan Charles Esche, direktur Van Abbemuseum, sebuah museum Seni Modern dan Kontemporer di  Eindhoven. Pria ini juga baru saja meraih penghargaan, the Best Curator Award, sebuah penghargaan bergengsi bagi para kurator seni seluruh dunia.

   "Tentang karya seni, saya lebih ke eksibisi.. apa yang hendak ditampilkan kepada publik" demikian jelas Charles, "jadi.. apa yang hendak kamu sampaikan dari melakukan kebisingan di pinggir jalanan?" "perlawanan.. fight fire with fire.." demikian jawaban saya sekenanya dan juga selama satu jam berikutnya, beruntungnya Charles lebih tertarik dengan benda-benda pembuat kebisingan daripada 'bualan' saya tentang seni, kebisingan, dan perlawanan.

   Dalam perjalanan pulang, saya tak berhenti memikirkan jawaban, apa yang sebenarnya saya cari, dan dua hari setelahnya akhirnya saya menemukan jawabannya, jawaban yang selama ini tak pernah saya sadari, tak pernah saya hiraukan... jawaban yang paling mendasar dari semua kebisingan yang saya lakukan lebih dari separuh hidup saya.

(YY)


KENYAMANAN DALAM GRUNGE..
KESALAHAN-KESALAHAN DAN KETIDAK SEMPURNAAN YANG SUNGGUH MANUSIAWI

Tulisan kali ini sungguh personal, opini pribadi saya, tanpa tendensi bahwa apa yang saya sampaikan harus di-amin-i, karena ketika kita sudah memilih "grunge" maka kita pastilah menemukan suatu filosofi yang akhirnya melekat pada jati diri kita.

bahwa grunge tidak gahar.. justru itulah letak kerennya! bahwa grunge terkucil.. justru itu letak kerennya.. bahwa grunge tidak besar.. justru itu kerennya! bahwa grunge tidak keren.. justru itu letak utama kerennya!!

grunge pernah besar.. sekali! suatu waktu di periode 90an (beruntunglah orang-orang yang mengalaminya).
dan kemana orang-orang, audience sebegitu banyaknya, berjuta orang yang memakai baju flannel, celana dan sepatu belel, kemana mereka? HILANG! mereka hanyalah anak-anak penanda jaman, sama seperti halnya sekarang membeludaknya anak-anak di genre musik lain yang selalu berganti-ganti trend. berjuta orang ini adalah penikmat, mereka bukan pelaku, sehingga ketika mereka menghilang berganti trend, maka yang tersisa hanyalah para pelaku scene, yang jumlahnya sedikit, stagnan, jumlahnya tidak berubah, tidak berkurang-tidak bertambah, mereka hanya berganti orang, beregenerasi. itulah sedikit perkiraan mengapa scene grunge tidak lagi bisa membesar, karena hanyalah kumpulan para pelaku, perhatikanlah setiap gig grunge yang kalian datangi, berapa jumlah penonton/penikmat murni setelah dikurangi jumlah band (termasuk keluarga, crew, pacar personil dll) segelintir. pergilah ke gig sekitar tempat itu, apa yang kalian dapati? orang-orang yang sama lagi yang datang.

bagaimana cara meraih audiens sebanyak era 90an, tidak akan bisa, tapi setidaknya kita bisa menambah jumlahnya sedikit-demi sedikit dengan cara mengenalkan KESEDERHANAAN, KETIDAK SEMPURNAAN dalam grunge. ini adalah cara pemberontakan paling nyaman, pemberontakan dari diri kita sendiri, mari kita tidak berhenti mengenalkan bahwa dari sudut pandang tersebut, disitulah letak kerennya grunge.

ketika menulis ini, tiba-tiba saya teringat tentang video unplugged Nirvana, ketika Meat Puppets mengambil alih gitar, mereka terlalu lama nyetem sehingga Kurt Cobain mencandai dengan sinis, "apa sih yang sedang kalan tune? harpa? aku pikir kita ini band rock besar, harusnya punya sederet  gitar cadangan di belakang"
mana ada? mana ada musisi rock ternama yang ber-attitude seperti itu, mereka tidak meng-cut, tapi membiarkan video tersebut, sungguh ketidak sempurnaan yang keren, karena kita manusia.



atau juga saat Alice In Chains lupa lirik di lagu "Sludge Factory" dan mengumpat.. mereka membiarkannya begitu saja tanpa harus repot-repot menjaga image rockstar:



atau ketika label grunge terkemuka menggelar pesta ulang tahun akbar ke 25 yang mereka namakan Silver Jubilee dengan tema parodi pesta ulang tahun ala kerajaan.


untuk mempromosikan acara tersebut mereka membuat trailer yang berisi testimoni atau "petuah" dari para sesepuh grunge Seattle antara lain Kim Thayil, Tad Doyle, Mark Arm, dan Jack Endino.
dimana, dalam trailer "resmi" tersebut suara mereka banyak yang tenggelam dalam hiruk pikuk dan bisingnya jalanan kota Seattle. Alih-alih take ulang demi kesempurnaan iklan tersebut,mereka membiarkannya begitu saja. membiarkan hal tersebut ditonton berjuta orang diseluruh dunia, sungguh hal yang aneh di dunia entertainment bisnis yang bisa merusak citra, tapi orang-orang seperti saya akan bersorak "yeeaahhh inilah grunge!"

Justru dalam ketidak sempurnaan dan kesederhanaannya itulah nampak jati diri grunge yang sesungguhnya, lepas, bebas.
Inilah wajah grunge ketika menampakkan dirinya kembali ke dunia, dengan apa adanya, tanpa polesan atas permintaan bisnis hiburan.  fuck pencitraan!









Dan masih mimpi menjadi seorang rockstar? Duch, c'mon!


oleh Tokoh Antagonist (Catatan) pada 22 Mei 2010 pukul 13:04
Pasca penerbitan buku kedua yg terbilang "sukses", yaitu: Memulai Band Indie. Banyak pengalaman menarik yg saya alami, salah satunya menambah teman dari berbagai penjuru tanah air (terima kasih yg tulus, dari lubuk hati yg paling dalam), banyaknya email yg masuk untuk bertukar pikiran mengenai musik indie, maupun yg "tersesat", berharap bahwa saya bisa mengenalkan band mereka ke major label.
Untuk yg terakhir ini, saya berharap anda memikirkan beberapa hal sebelum berani mimpi direkrut major label dan menjadi seorang bintang rock.
Pertama, ketahui potensi anda/band anda, apakah layak untuk dijual. Analoginya begini. JANGAN PERNAH PERCAYA SIAPAPUN YANG MENYATAKAN LAGU ANDA BAGUS ATAU KEREN. Pendapat teman ibarat delusi yg menyesatkan. Anda mungkin mendapat ratusan pujian. Tapi tanyakan, berapa dari ratusan tsb yg mau membeli lagu anda apabila dijual dlm bentuk kaset/CD, tinggal puluhan orang. Dari puluhan orang tsb, lihat lagi, berapa yg langsung membayar tunai, tinggal beberapa orang teman dekat anda atau orang2 yg sedang ada keperluan dgn anda. Ohya, mungkin promosinya kurang, anda berpikir begitu. Ok, kumpulkan uang anda. 30juta adalah angka minimum sebuah band untuk promosi secara profesional. Anda tidak punya uang? BERHUTANGLAH! Gadaikan sertifikat rumah, tanah, BPKB mobil dll, untuk mendapatkan sejumlah uang tsb. Bagaimana? Anda berani mempertaruhkan uang hasil hutang tsb untuk berinvestasi pada lagu anda sendiri? Atau, anda mulai ragu2? Mulai takut kalau uang tsb tidak kembali modal, atau impas, atau Break Event Point, atau merugi, atau anda jatuh bangkrut.
Setelah analogi diatas, timbul pertanyaan, kalau anda sendiri ragu dgn kapasitas penjualan lagu anda dan tidak berani beresiko menanam modal pada lagu2 anda, bagaimana anda bisa membuat orang lain mau dan percaya untuk menggunakan uang mereka agar berinvestasi pada lagu anda?

Jadi.. Ehhmmm, berhentilah bermimpi ok? Bersenang2lah dgn bandmu, nikmati saja waktumu

regards,

(YY aka Jhonny Bedebah)






OMONG KOSONG TENTANG GRUNGE! 


oleh Tokoh Antagonist (Catatan) pada 26 Juli 2011 pukul 15:46
Tiba-tiba, saya punya analogi terbalik tentang grunge.

Begini, semua referensi tentang grunge, baik dari media maupun interview band-band Seattle yang pernah terlibat di dalamnya, mengatakan bahwa grunge adalah segala sesuatu yang terlalu dibesar-besarkan media, untuk menamai sebuah aliran musik/gaya hidup alternatif era itu, dan penamaan itu berkaitan erat dengan segi bisnis.

Dan SubPop mengakui, merekalah yang bertanggung jawab pertama kali membayar media untuk memberitakan tentang pergerakan tersebut, karena tentu saja, demi kelangsungan hidup label, SubPop dituntut untuk bisa menjual karya artis-artis yang bernaung dibawahnya.

Kemudian, yang diakui oleh Jack Endino berikutnya adalah, "semua tentang Grunge adalah lelucon, saya tidak pernah menyangka akan sejauh itu".

Kemudian, apa yang kita yakini? Apa yang kita ketahui tentang Grunge itu sendiri? Apa kita pernah berada di Seattle saat era itu berlangsung, dan melihat dengan mata kepala sendiri saat pergerakan itu berlangsung?

Karena jika jawabannya adalah tidak, maka kalian mendapat semua informasi dari media.

Dan seperti hal diatas, kita tahu, seperti apa peranan media. Blunderisasi berlanjut. Debat kusir, diskusi-diskusi, bantah membantah, pamer-pameran, aksi heroisme, semuanya adalah OMONG KOSONG!

Lebih baik simpan kebenaran "Grunge"mu untuk dirimu sendiri kawan!


NB. Catatan ini bukan doktrin, dogma, jargon dan sebagainya. Ini adalah ungkapan kegelisahan saya pribadi, seorang pecundang sejak lahir, yang sangat membutuhkan uluran kritik, saran, dan pengetahuan teman-teman sekalian. Please.

(YY)






Grunge = Frustasi?


oleh Tokoh Antagonist (Catatan) pada 21 Juli 2012 pukul 13:12
Grunge = Frustasi?
Beberapa waktu lalu seorang teman bertanya, mengapa kebanyakan di scene grunge adalah anak-anak yang frustasi, stress, dan broken home? Kemudian, seorang teman lain bertanya, mengapa teman dia yang dulunya mempunyai keluarga yang bahagia dan tenang-tenang saja, kemudian berubah drastis, dan menjadi berantakan setelah memilih grunge sebagai jalur hidup dan musiknya? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena dalam hati orang, hanya yang bersangkutan yang tahu pasti apa alasannya.
Namun, saya selalu mencoba mencari korelasi atau benang merah yang menghubungkan, “grunge” dengan “kefrustasian”. Tidak mudah memang, tapi setidaknya membuka sedikit wawasan. Kembali kepada kedua pertanyaan kawan tadi, pertanyaan yang sangat susah ditemukan jawabannya ketika kita hanya berdiri pada satu sisi, dan berpaling muka pada sisi yang lain. Intinya, jika pertanyaan selama ini adalah, “mengapa grunge melahirkan frustasi?” maka ada pertanyaan lain, dari sisi yang lain yaitu, “mengapa frustasi menciptakan grunge?”.
Kita terlahir sebenarnya membawa potensi musikal, terlepas dari apakah semakin besar kita mencoba untuk mengingkarinya. Apakah musikal itu? Musikal adalah sensitif dan responsif terhadap rangsang musik. Cuplikan dari blog ini membantu kita mencari jawaban, apakah kita musikal atau tidak. (http://kelaspsikologimusik.blogspot.com)
Bagaimana dengan Anda… Musikalkah Anda?
saya ingin membantu Anda menjawab pertanyaan tersebut dengan mengajukan pengertian dasar mengenai apa itu musikal.
Pengertian ini akan lebih mudah kita pahami dengan melihat bagaimana itu “sensitif dan responsif terhadap rangsang musik” melalui contoh berikut:
“Pada bagian awal lagu itu saya mendengar bunyi triangle yang teratur [sensitif], saya merasa riang mendengarnya sampai saya tersenyum sambil mengangkat alis [responsif]”
“Permainan kendang mereka berdua luar biasa, sahut menyahut [sensitif], tidak terasa kaki saya ikut bergoyang, kepala saya juga… asik! [responsif]”
Saya yakin kita pernah [setidaknya sekali] mengalami kejadian yang mirip dengan contoh di atas. Jika benar keyakinan saya tersebut, maka itu adalah bukti bahwa Anda adalah musikal, di mana musikal adalah bekal utama dalam menikmati musik dan berbagi pengalaman musikal kepada anak-anak.

Kini kita mengerti bahwa, semenjak bayi dan kanak-kanakpun kita sudah tercipta untuk menjadi musikal. Lalu, mengapa harus grunge? Jika ditelaah lebih lanjut, ternyata responsive terhadap bunyi dan musik berkaitan erat dengan psikologis dan Emotion Quality seseorang, dimana kondisi sekitar (lingkungan, pergaulan, dan keluarga) sangat berhubungan erat.
Seseorang yang tiap hari dihadapkan dengan banyaknya tekanan, dari semenjak kecil, remaja hingga dewasa, frekuensi emosi batinnya berada pada kisaran 14-100Hz atau pada gelombang beta, yang dipenuhi dengan keadaan psikis cemas, stress, kawatir, cartisol dan lain-lain. Maka dia, secara otomatis pula akan mencari getaran nada pada frekuensi/getaran gelombang yang sama, untuk menutup perasaan-perasaan tersebut. Dan secara kebetulan nada yang “klik!” satu frekuensi, orang-orang di kemudian hari menyebutnya sebagai “grunge”. Dan mungkin pula, “nada” disini tidak hanya ada pada sisi musiknya saja, akan tetapi juga pada kesamaan nasib di komunitas, perasaan yang sama ketika merasa tidak dibutuhkan atau diacuhkan. Dalam kata lain, “kita sudah menjadi grunge bahkan sebelum kita tahu apa itu grunge”. Dan hal-hal selanjutnya adalah melanjutkan apa yang sudah kita yakini tersebut, baik demi eksistensi scene, maupun eksistensi band dan diri sendiri.
(YY) 









MARI KEMBALI MENENGOK, APAKAH KONSEP ACARA GRUNGE  YANG SEBENARNYA, "KITA BUKAN ROCKSTAR!".


oleh Tokoh Antagonist (Catatan) pada 21 Januari 2012 pukul 7:55
"Band-band Seattle sangat konsisten dalam menjaga penampilan panggungnya, semenjak tujuan mereka tidak lagi menjadi penghibur, tetapi lebih sederhana lagi, untuk NGEROCK HABIS!" (Jack Endino; Hype! - 1996)

NGEROCK HABIS! Naik panggung, colokin jack, dan blast! Lupakan hal-hal lain diluar itu, lupakan jumlah penonton, persetan ada yang peduli atau tidak dgn apa yg kamu lakukan diatas panggung.

Saya tidak tahu dan tidak mengikuti perkembangan jaman, apakah konsep dasar tersebut telah bergeser, mengikuti selera pasar, kebutuhan eksistensi dan narsis band untuk dilihat dan diakui banyak orang.

Sampai saat ini, katakanlah saya orang kolot, saya grunge ortodox, yang "berpegang teguh dan mengimani" konsep dasar suatu gig grunge, saya membuat gig sesempat saya, semau saya, dimanapun dan kapanpun saya bisa dan sempat.
Saya tidak peduli penonton, saya tidak peduli sisi untung rugi, persetan juga disebelah saya saat itu ada gig pertunjukan musik hantu atau apalah.

Jadi, tolong beritahu saya, sejak kapan konsep gig grunge berubah? Sejak kapan gig grunge adalah masalah besar kecilnya acara atau jumlah penonton?


"It would be awesome if you joined a band, and you will still rock if you only play local gigs." (Wikihow; grunge tips)


#YY#

4 komentar: